12 Juli 2025
17:37 WIB
ODOL; Retakan Kecil Sektor Logistik
Setelah 2023 gagal, target zero ODOL mundur ke 2026 saat regulasi dan sikap pemerintah terlihat kian tegas terhadap aturan yang tertunda 16 tahun ini.
Penulis: James Fernando
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi-Aksi para pengemudi truk menolak kebijakan zero ODOL, di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta, Rabu (2/7/2025). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha.
JAKARTA – Kementerian Perhubungan (Kemenhub) memasang lagi tekad menerapkan zero ODOL (Over Dimension Overloading) pada 2025. Menurut catatan, ini upaya ketiga untuk menerapkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mulai dijalankan pada 2017.
Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan (IPK) Agus Harimurti Yudhoyono alias AHY mengatakan pemerintah berkomitmen menghapus ODOL pada 2026. Sebelumnya, pada 2017 kebijakan itu mulai dijalankan agar target zero ODOL terlaksana pada 2023.
Selain alasan menegakkan UU LLAJ, upaya Kemenhub untuk mengakhiri laju truk ODOL di jalan raya adalah untuk mencegah lerusakan infrastruktur jalan yang kadung terjadi. Serta, untuk mengurangi korban akibat kecelakaan lalu lintas yang disebabkan truk ODOL.
Kemenhub mencatat, pada 2024, terjadi tak kurang 27.337 kecelakaan yang melibatkan kendaraan angkutan barang. Dari jumlah tersebut sekitar 6.000 korban jiwa meninggal dunia akibat kecelakaan akibat ODOL.
Mengutip data Korps Lalu Lintas (Korlantas) Polri, kecelakaan lalu lintas yang disebabkan truk ODOL pada 2023 mencapai 200 kasus. Jumlah itu melonjak disbanding kejadian per tahun periode 2017-2021, yakni 2017 ada 107 kasus kecelakaan. Tahun 2018 ada 82 kasus. Kemudian pada tahun 2019 tercatat 90 kasus, 20 kasus pada 2020, dan kemudian 50 kasus pada 2021.
Lalu, apa saja penyebab kecelakaan truk ODOL? Biasanya yang terjadi adalah rem blong akibat muatan berlebih dan gangguan pada sistem pengereman, serta manuver kendaraan.
Sejumlah peraturan turunan dari UU LLAJ tegas dan jelas menguraikan ketentuan mengenai batas dimensi dan muatan kendaraan angkutan barang. Seperti, panjang maksimum 12 meter untuk truk trailer standar, lebar maksimum 2,5 meter, dan tinggi maksimum 4,2 meter.
Bagi yang melanggar ketentuan tersebut, seperti tertulis pada Pasal 307 UU LLAJ, ada sanksi pidana kurungan paling lama dua bulan dan membayar denda paling banyak Rp500 ribu.

Minim Solusi
Namun, di tengah upaya menegakkan peratuan, Asosiasi Pengusaha Truk Indonesia (APTRINDO) mengkritik langkah tersebut tak jelas dan tak ada skenario baru.
“Menteri Perhubungan Dudy Purwagandhi, menegaskan pemerintah, hanya melanjutkan pekerjaan sebelumnya,” urai Agus, Jumat (11/7).
Program sebelumnya dinilai Asosiasi, gagal. Tapi, pemerintah melanjutkan tanpa evaluasi mendalam dan belum terlihat rencana yang bisa diterapkan.
Agus menilai, pemerintah terkesan menutup masukan dari bawah. Seperti perbedaan pandangan kelebihan dimensi dan muatan. Menurut dia, kendaraan yang kelebihan muatan belum tentu kelebihan dimensi.
Dia mengutarakan, ada peran pemerintah akan maraknya truk ODOL. Pertama, pemerintah tidak menentukan tarif batas atas maupun bawah untuk tarif jasa angkutan barang. Sehingga, terjadi ‘tarung bebas’ antarpelaku berlomba-lomba memberikan harga murah dengan kapasitas besar.
Mengacu Pasal 184 UU LLAJ tertulis, tarif angkutan barang ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan perusahaan angkutan umum. Sehingga, ketentuan tarif angkutan barang berbeda dengan angkutan umum yang memiliki tarif dasar berupa tarif batas atas dan batas bawah yang ditetapkan pemerintah.
Baca juga: Pelanggar Larangan Truk ODOL Bisa Dipenjara 1 Tahun
Masalah lainnya, pemerintah tidak menjelaskan secara rinci soal batas usia kendaraan angkutan barang yang boleh melintas. Hal ini juga membuat pengusaha terpaksa membawa muatan berlebih demi menutup biaya operasional.
Agus mengaku, pihaknya sepakat dengan kebijakan zero ODOL ini. Bahkan, beberapa tahun lalu, APTRINDO telah mencoba untuk normalisasi kendaraan.
Namun, setelah normalisasi, pemilik kendaraan sulit mendapatkan legalitas kendaraannya. Oleh sebab itu, Agus minta pemerintah mempermudah kepengurusan dokumen kendaraan hingga KIR.
Tak jauh beda, Ketua Umum Asosiasi Rumah Berdaya Pengemudi Indonesia, Ika Rostianti menuding ODOL justru muncul akibat pemerintah membuka keran impor mobil truk bekas pada periode 2001-2004 dengan kapasitas lebih besar.
Persaingan jadi tak seimbang. Pengemudi pun terkena imbas karena sulit dapat muatan.
“Akibatnya, pemilik truk membuat truknya bisa muat melebihi kapasitas dan banyak ODOL di jalan,” ungkap dia.
Penataan Logistik
Menanggapi tuntutan pengemudi dan Direktur Jenderal Hubungan Darat Kemenhub, Aan Suhanan menyatakan, pemerintah menghargai semua usulan pengemudi dan pengusaha untuk penataan logistik dalam negeri.
Niat pemerintah menegaskan kebijakan zero ODOL adalah untuk meningkatkan aspek keselamatan seluruh pengguna jalan. Sekaligus, menciptakan sistem logistik nasional yang tak hanya mementingkan aspek ekonomi.
Aan paham, pelanggaran ODOL selama ini tak lepas kaitannya dengan keuntungan ekonomi dari pemilik barang dan kendaraan. Semakin banyak muatan, biaya yang dikeluarkan kian ekonomis.
Namun, menurut Aan, keuntungan tersebut tidak sebanding dengan risiko kerusakan infrastruktur dan kehilangan nyawa orang.
“Data kecelakaan kepolisian, dalam sejam terdapat tiga korban kecelakaan lalu lintas yang meninggal dunia, mayoritas karena moda angkutan barang,” ungkap dia, Jumat (11/7).
Aan menguraikan, penertiban truk ODOL ini sudah dilakukan sejak 2017. Akan tetapi, mundur karena pemerintah mempertimbangkan permohonan asosiasi pengemudi dan pelaku usaha. Kemudian, coba diupayakan lagi namun kembali tersendat karena pandemi covid-19. Kali ketiga kembali tak jadi terlaksana karena pertimbangan menjaga situasi dan kondusifitas pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 maupun 2024.
Namun, strategi itu malah mendatangkan kerugian bagi negara.
Tak lain karena kerusakan infrastruktur akibat beban kendaraan yang mempercepat usia jalan. Ada pula, hilanganya nyawa masyarakat akibat kecelakaan yang dipicu oleh truk ODOL.
Strategi kali ini, lanjut Aan, dikuatkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Penguatan Logistik Nasional yang akan dilaksanakan pada kurun waktu 2025-2029. Tertuang rencana aksi mencakup berbagai aspek.
Sarana pendukung disiapkan untu zero ODOL. Yakni, mengoperasikan 89 Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) yang tersebar di sejumlah wilayah.
Alat penimbangan yang digunakan di UPPKB Sebagian dipasang tetap, namun bisa dipindahkan untuk penindakan di jalan bersama Polri. Tersedia pula penimbangan digital (Weigh in Motion/WIM) yang dipasang di 13 lokasi secara tetap.
Juga, Dishub kabupaten/kota setiap enam bulan sekali wajib menyisir kendaraan untuk uji berkala (KIR) secara gratis. Penerapan zero ODOL juga diperkuat dengan ETLE Polri.
Bila masih ada truk ODOL, maka sanksi dibebankan kepada pemilik kendaraan sesuai dengan UU LLAJ, tegas Aan.
Direktur Sarana dan Keselamatan Transportasi Jalan Kemenhub, Yusuf Nugroho memaparkan, sejak 2009, tantangan menangani ODOL masih cukup besar. Namun, dia berharap kolaborasi dengan instansi lain, menjadikan penghapusan ODOL tak lagi hal yang sulit.
Serius dan Tegas
Pengamat transportasi sekaligus Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno sebaliknya, menilai optimistis bahwa kali ini pemerintah serius menghapus ODOL.
“Karena banyak pihak yang dilibatkan,” urai Djoko pada Jumat (11/7).
Bahkan setahu Djoko, pemerintah telah merancang peraturan presiden (perpres) untuk menanggulangi masalah ODOL ini. Aturan ini kelak akan menjelaskan secara detail regulasi kendaraan angkut. Hanya saja, aturan ini belum dipublikasikan oleh pemerintah.
Tak hanya itu saja, berdasarkan informasi yang diperolehnya, Kementerian Ketenagakerjaan pun telah merancang standar upah bagi para sopir. Hal ini untuk memastikan para sopir kendaraan angkut membawa barang sesuai dengan aturan yang berlaku.
Lalu, kata Djoko pemerintah sudah menentukan batas tarif atas dan bawah untuk jasa angkutan barang. Dengan begitu, ekosistem logistik nasional bisa terkelola dengan baik.
Djoko menekankan pentingnya roadmap logistik nasional yang mencakup jangka pendek, menengah, dan panjang hingga 2045. Roadmap ini harus mencakup program, indikator keberhasilan, serta penanggung jawab yang jelas. Salah satu tahap awal yang bisa dimulai dari seluruh proyek pemerintah dan BUMN wajib bebas dari praktik ODOL.
Djoko terang menyebut ,Jepang dan Korea Selatan harusnya menjadi rujukan karena berhasil membuktikan bahwa ekosistem logistik yang efisien dan adil hanya dapat tercapai melalui sistem digital terpadu.
Di Jepang, Freight Information Management System memantau rute, muatan, dan durasi truk secara real-time. Sementara Korea Selatan memiliki ILIS (Integrated Logistics Information System) yang menghubungkan seluruh pemangku kepentingan logistik dalam satu platform.
Pemerintah pun telah menggunakan WIM sebagai sistem elektronik yang bisa mengawasi dimensi dan muatan kendaraan. Perlu ada optimalisasi penggunaan sistem ini. Dengan begitu, kebijakan pemerintah pun bisa dilakukan secara optimal.
Sementara itu, untuk penerapan sanksi pelanggaran pun tak boleh hanya menyasar sopir, melainkan seluruh mata rantai pelaku. Mulai dari pemilik barang, penyedia jasa, hingga pemilik armada. Sistem ini memungkinkan transparansi sekaligus kepatuhan berbasis data.
Dia mendesak, pemerintah harus berani bertindak menyeluruh. Keadilan tak berarti menyamaratakan, tapi menempatkan tanggung jawab sesuai posisi. Jangan sampai hukum hanya tajam ke bawah kepada para sopir, tapi tumpul ke atas yakni pemilik modal.
Tak kalah penting, pemberantasan pungli, perbaikan standar upah pengemudi, peningkatan insentif petugas penguji kendaraan, serta digitalisasi sistem pengawasan mesti menjadi prioritas. Dia memperkirakan, pungli pada pengemudi truk telah membebani 10-20% biaya operasional. Ini juga yang menjadi pemicu ODOL.
“Langkah-langkah ini perlu diperhatikan pemerintah agar jika kebijakan zero ODOL diterapkan tidak merugikan banyak pihak,” tandas Djoko.