05 Juni 2025
11:48 WIB
MK Tolak Jadikan DKPP Lembaga Mandiri
DKPP tetap ada di Kemendagri. MK tak punya kewenangan mengubah kedudukan administratif DKPP.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi-Sidang kode etik penyelenggara Pemilu oleh DKPP. AntaraFoto/Moch Asim.
JAKARTA - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak uji materiel Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang meminta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dijadikan sebagai lembaga mandiri seperti penyelenggara pemilu lainnya, yakni KPU dan Bawaslu.
“Mengadili, menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya,” ucap Ketua MK Suhartoyo membacakan amar Putusan Nomor 34/PUU-XXIII/2025 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (5/6).
Perkara ini dimohonkan oleh empat orang mantan komisioner DKPP, Muhammad, Nur Hidayat Sardini, Ferry Fathurokhman, dan Firdaus. Mereka memohon agar DKPP dipisahkan dari Kementerian Dalam Negeri dan nomenklaturnya diubah dari “sekretariat” menjadi “sekretariat jenderal” serta “sekretaris” menjadi “sekretaris jenderal”.
Para pemohon menguji konstitusionalitas Pasal 162 dan Pasal 163 ayat 1,2,3, dan 4 UU Pemilu karena dinilai menimbulkan ketidakmandirian dan ketergantungan DKPP terhadap pemerintah. Khususnya, terkait prosedur pengangkatan sekretaris DKPP melalui Kemendagri, pengelolaan anggaran, dan status administratif di bawah Kemendagri.
Dalam pertimbangan hukum yang diucapkan Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur, dikutip dari Antara, DKPP berada dalam “satu napas penyebutan” dengan KPU dan Bawaslu, sebagaimana diatur pada Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 7 UU Pemilu. Namun, pengaturan satu napas penyebutan itu tidak secara otomatis menjadikan semua lembaga penyelenggara pemilu didesain secara seragam.
Baca juga: DKPP Terima 790 Aduan Pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu
Dalam konteks DKPP, sekretariat merupakan unit organisasi untuk mendukung atau membantu pelaksanaan tugas DKPP.
Menurut MK, UU Pemilu sejatinya telah mengatur unit pendukung berupa sekretariat DKPP yang disesuaikan dengan susunan dan kedudukan DKPP sebagai salah satu penyelenggara pemilu.
Lebih lanjut, Ridwan mengatakan, keinginan para pemohon agar “sekretariat DKPP” ditafsirkan menjadi “sekretariat jenderal DKPP” sama halnya dengan memaksa MK menganalisis tentang ruang lingkup kewenangan kelembagaan dan jabatan-jabatan yang melekat. Padahal, hal itu bukan kewenangan MK.
“Dengan kata lain, menegaskan bahwa ‘sekretariat DKPP’ ditingkatkan menjadi ‘sekretariat jenderal DKPP’ bukan menjadi kewenangan MK,” ucap Ridwan.
Ia pun menegaskan, hingga saat putusan ini diucapkan, berkenaan dengan pengubahan "sekretariat" menjadi "sekretariat jenderal" atau "sekretaris" menjadi "sekretaris jenderal", Mahkamah belum memiliki alasan untuk bergeser dari pertimbangan hukum dalam perkara serupa, yakni Putusan Nomor 54/PUU-XVIII/2020.
Kendati demikian, MK menegaskan dalam perubahan UU Pemilu nantinya, pembentuk undang-undang harus mengatur ulang DKPP dan unit organisasi pendukung. Hal ini agar, tidak seolah-olah berada dalam cabang kekuasaan lain yang berpotensi menggerus independensi DKPP sebagai salah satu penyelenggara pemilu.
“Sebagai contoh, dalam pengisian sekretaris DKPP, proses seleksi calon sekretaris atau sebutan lain menjadi kewenangan DKPP dan secara administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, Presiden atau menteri dalam negeri menetapkan sekretaris DKPP di antara nama-nama yang diajukan atau diusulkan oleh DKPP,” ucap Ridwan.