c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

26 September 2025

19:30 WIB

Mengupayakan Dunia Gim Ramah Perempuan

Banyak perempuan pemain gim memilih untuk menyembunyikan identitas mereka saat bermain atau berpura-pura menjadi pria agar tidak terkena pelecehan atau diskriminasi.

Penulis: Gisesya Ranggawari

Editor: Rikando Somba

<p>Mengupayakan Dunia Gim Ramah Perempuan</p>
<p>Mengupayakan Dunia Gim Ramah Perempuan</p>

Ilustrasi seorang perempuan bermain gim online. Shutterstock/dok

JAKARTA - Gim daring digemari banyak orang karena fitur interaksinya. Melalui gim yang tanpa batas wilayah, teman baru bisa didapat. 

Pemain bisa berasal dari satu negara, bisa juga dari belahan dunia lainnya. Sayangnya, keseruan ini kadang terganggu. Banyak gamer atau pemain gim mengalami beragam tindakan tak menyenangkan dari pemain gim lainnya. 

Ada gamer yang bersikap merendahkan gamer lain. Ada pula yang melecehkan, bahkan menjurus ke tindak pidana. Biasanya, gamer perempuan rentan menerima perlakuan seperti ini. 

Kejadian seperti ini cukup sering terjadi di saat semakin banyak perempuan tertarik bermain gim. Padahal, menurut laporan All Correct Games bertajuk The Indonesian Gaming Market pada 2021, jumlah gamers perempuan di Indonesia sudah 49%, berbanding tipis dengan laki-laki yang mencapai 51%.

Terang ini tak membuat perkembangan yang menguntungkan. Dari kenyataan ini,  menurut laporan dari hasil survei lembaga riset di Amerika, Reach3 pada tahun 2021, sebesar 59% responden yang merupakan gamer perempuan memilih untuk menyembunyikan identitas mereka saat bermain gim. Kebanyakan juga berpura-pura menjadi pria agar tidak terkena pelecehan atau diskriminasi.

Hasil survei Bryter, sebuah lembaga advokasi pelaku pasar juga di Amerika, pada tahun 2025 ada sekitar 59% gamer perempuan dan anak perempuan pernah mengalami beberapa bentuk perilaku toksisitas dari gamer laki-laki. Mirisnya, 28% di antaranya mengalami secara teratur lewat daring.

"Banyaknya jumlah gamer perempuan ini tidak sejalan dengan kesempatan yang ada. Biasanya perempuan hanya dianggap pelengkap, padahal banyak yang memang jago. Makanya kami bikin tim khusus perempuan," papar salah satu gamer perempuan bernama Debora Imanuella, kepada Validnews.

Tim khusus perempuan yang dimaksud Deb, sapaan akrabnya,  adalah bernama Luna Nera. Tim ini dibentuknya karena beberapa temannya kerap mengalami diskriminasi dan pelecehan saat bermain gim daring. 

Deb dan teman-temannya mulanya hanya ingin membuktikan bahwa kesempatan perempuan di dunia gim itu sama terbukanya dengan laki-laki. Namun, tujuan Luna Nera kini meluas. Luna Nera bukan hanya tim khusus perempuan, tapi menjadi komunitas yang menyuarakan kesetaraan bagi perempuan di dunia gim.

Sejak itu, Deb mulai melakukan pendampingan kepada para korban Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO), khususnya di dunia gim.

Minta Blokir Akun
Kebanyakan, pengaduan yang diterima Deb berupa pelecehan pada saat bermain gim daring, baik berupa verbal maupun teks di kolom chat. Selain itu, komentar merendahkan juga kerap diterima, contohnya menganggap perempuan hanya sebagai pelengkap di dalam tim. Deb heran dengan hal ini. Sebab setahunya perempuan tidak sedikit yang menjadi pro player e-sports.

Saat mendapat informasi ada pelecehan, Deb yang merupakan bagian dari federasi biasanya langsung meminta perusahaan gim untuk memblokir akun pelaku. 

Di samping itu, Deb juga memberikan edukasi dan pemahaman kepada para gamer perempuan untuk tetap menjaga kehormatannya. Tidak memberikan peluang sedikit pun kepada laki-laki untuk bertindak melakukan pelecehan. 

Pasalnya, Deb pernah menemui perempuan yang menghubunginya setelah dilecehkan saat bermain gim. Namun, saat Deb melihat isi percakapan keduanya melalui aplikasi messenger, ada kesan si perempuan itu rupanya memang memancing agar si laki-laki tertarik. 

"Kalau gitu saya ingetin, jangan samain. Ini korbannya yang mancing, jadi gak bisa disebut pelecehan dong," ucapnya.

Deb mengaku cukup banyak gamer perempuan yang menghubunginya saat menerima pelecehan. 

"Jadi dari mulut ke mulut akhirnya para gamers perempuan tahu kalau mendapat kejadian seperti itu mengadu ke saya, langsung cari saya," ungkap Deb. 

Pendampingan korban pelecehan dan KBGO kebanyakan dijalankan Deb seorang diri. Sebab Deb sering mendapat curhatan melalui direct messages Instagram atau chat langsung ke saluran pribadi. 

Hal pertama yang dilakukannya hanya mendengarkan. Sebab, para korban dan penyintas kebanyakan hanya ingin didengar serta divalidasi.

Setelahnya, Deb baru menilai sejauh mana pelecehan yang dilakukan. Kalau soal interaksi mesum atau merendahkan, Deb langsung meminta federasi dan perusahaan gim untuk memblokir akun pelaku. 

"Kalau kayak gitu kan susah melacaknya, maka biasanya di-banned saja sih selamanya, dan nggak bisa masuk ke skena gim lagi, ya," tegas Deb yang juga Ketua Bidang Hubungan Masyarakat dan Komunikasi PB ESI.

Dia rela repot melakukan pendampingan demi mewujudkan dunia gim yang aman bagi perempuan. Goal-nya adalah untuk membuat para pelaku jera dan berpikir dua kali untuk melakukan pelecehan.

Baca juga: GG:GO! Hadirkan Wadah Aman Untuk Perempuan Gamers

"Sekarang sepertinya perlahan sudah mulai berkurang sih, karena kita lapor-laporin biar pada takut juga kan," cetus dia.

Di Komunitas Luna Nera, Deb juga tak hentinya memberikan pemahaman kepada para gamer perempuan untuk lebih menjaga kehormatannya. Dia menegaskan, agar tak memancing terjadinya tindakan yang merendahkan. Deb juga meminta agar para gamer perempuan untuk tidak takut bercerita soal pelecehan yang menimpanya.

"Jangan takut untuk speak-up, bisa lewat Luna Nera atau ke saya langsung boleh. Kami akan dampingi," beber Deb.

Pekerja Industri Gim
Di gerakan ini, Deb tak sendiri. Trianingsih Atmadja bersama Dewan Kerja Indonesian Women In Game (IWIG) juga memperjuangkan agar dunia gim ramah perempuan. Hanya saja, Tria, bersama IWIG, lebih fokus pada pekerja perempuan di industri gim dengan menyusun Pedoman Ruang Ramah Perempuan Dalam Industri Game.

Proses penyusunan pedoman ini memakan waktu hampir setahun. Sebab diawali dengan survei yang dijalankan bersama Asosiasi Game Indonesia (AGI) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). 

Survei pada 2021 yang melibatkan 29 studio gim itu mengungkap 80% studio game di Indonesia memiliki karyawan perempuan, sementara 20% lainnya sama sekali tidak memiliki representasi perempuan.  Data survei juga menunjukkan keragaman posisi perempuan di industri game, mulai dari produser, project manager, hingga programmer. 

Namun, survei juga membuka tabir hambatan yang mereka alami. Utamanya adalah kurangnya regulasi untuk pekerja perempuan yang sudah berkeluarga, keterbatasan dukungan, hingga rendahnya keberterimaan suara perempuan di ruang kerja.

Di balik angka-angka itu, ada cerita yang lebih getir. Beberapa kasus kekerasan, baik di ruang kerja maupun di ranah digital, muncul ke permukaan. Dari pelecehan verbal yang merendahkan, hingga kekerasan berbasis teknologi.  Semua itu menegaskan bahwa masalah yang dihadapi perempuan tidak hanya struktural, tetapi juga personal dan emosional. 

Perhatian pada isu ini juga berangkat dari keyakinan Tria, bahwa perempuan adalah manusia dan hak perempuan adalah hak asasi manusia. Menurutnya, tidak ada satu pun bagian dari hak itu yang seharusnya dinegosiasikan atau dikompromikan. 

Dua tahun kemudian, riset BRIN menegaskan kembali masalah ini dengan menunjukkan bahkan kepuasan kerja dan work-life balance perempuan masih jauh dari ideal. 

"Fakta ini menjadi pijakan bagi Indonesian Women In Game (IWIG) untuk bergerak. Jadi, tujuan utama pedoman ini bukan sekadar mencatat masalah, melainkan menghadirkan pedoman yang memberi harapan, bahwa ruang kerja ramah perempuan bukan mimpi, melainkan kebutuhan yang nyata," kata Tria kepada Validnews di kesempatan terpisah, Kamis (25/9).

IWIG berkolaborasi dengan Komnas Perempuan, IBCWE (Indonesia Business Coalition for Women Empowerment), Agate, dan AGI. Draf pedoman juga sempat dibagikan ke berbagai komunitas pengembang gim di sepuluh kota untuk ditinjau ulang.  Komunitas pengembang gim yang terlibat berasal dari: Medan, Batam, Palembang, Lampung, Tangerang, Bandung, Jogja, Bali, Malang, dan Surabaya. 

"Proses ini demi memastikan bahwa pedoman bukan hanya ideal di atas kertas, tetapi juga relevan dengan pengalaman nyata para pengembang di lapangan," ungkap Tria.

Penyusunan pedoman tersebut bukan tanpa tantangan. Tantangan terbesar bukan semata soal teknis, melainkan bagaimana menjembatani beragam perspektif; suara perempuan, pandangan komunitas, hingga standar lembaga advokasi. 

Tria dkk dihadapkan dengan kenyataan bahwa isu kekerasan dan diskriminasi seringkali dianggap tabu untuk dibicarakan, terlebih industri kreatif yang masih didominasi laki-laki.

"Menyatukan bahasa yang sensitif, legal, sekaligus aplikatif, itulah pekerjaan paling pelik yang harus kami lalui," cetus dia.

Tria menyebut, tidak ada donatur di balik kerja ini. Semua dilakukan mandiri. IWIG berdiri dengan semangat gotong royong. Semua yang terlibat bekerja secara sukarela, tanpa bayaran.

IWIG sendiri dikelola oleh 12 anggota komite inti, bekerja sama dengan mitra, seperti Komnas Perempuan, IBCWE, Agate, dan AGI.  "Inilah bukti bahwa gerakan perempuan bisa tumbuh bukan karena dana, melainkan karena tekad kolektif untuk mendorong perubahan," tegas Tria.

Tria mengungkapkan, beragam kasus pelecehan yang muncul di industri game berlapis bentuknya. Ada pelecehan verbal berupa komentar seksual, lelucon ofensif, atau rayuan yang tidak diinginkan. 

Ada pula pelecehan fisik yang menyerang tubuh perempuan secara langsung. Lalu, ada kekerasan seksual berbasis elektronik, mulai dari pengambilan gambar tanpa izin, penyebaran konten bermuatan seksual, hingga pelacakan daring untuk tujuan pelecehan. 

Dampaknya tidak berhenti pada trauma psikologis, tetapi juga menghantam karier perempuan di industri game. Banyak yang akhirnya memilih mundur, bukan karena kurang kemampuan, melainkan karena lelah menghadapi lingkungan yang tidak aman.

IWIG sejatinya bukan lembaga advokasi atau penyedia layanan krisis, melainkan fasilitator pengetahuan. Fokus IWIG ada pada penyusunan, diseminasi, meningkatkan kesadaran publik tentang pentingnya menciptakan ruang kerja yang aman bagi perempuan.

Kendati demikian, jika ada aduan yang masuk, Tria memastikan tidak tinggal diam. Tria dkk akan menghubungkan korban dengan lembaga resmi yang memang memiliki mandat, seperti Komnas Perempuan, Komnas HAM, LBH, atau layanan pemerintah seperti SAPA 129. 

"Kami juga berusaha memastikan informasi itu tersebar agar perempuan tahu ke mana harus melapor," imbuhnya.

Sayangnya, keadaan belum sepenuhnya membaik. Kasus KBGO terus meningkat. Komnas Perempuan mencatat hampir dua ribu kasus pada 2024, dengan mayoritas korban perempuan. SAFEnet juga melaporkan angka serupa, menyoroti maraknya ancaman penyebaran konten intim dan pemerasan seksual. 

"Di tengah situasi ini, Pedoman Ruang Ramah Perempuan dalam Industri Game hadir sebagai upaya pencegahan. Kami sadar, perubahan sistemik butuh waktu. Namun setiap langkah kecil, dari edukasi hingga literasi digital, membuka jalan menuju industri yang lebih aman," paparnya.

Tria menilai perubahan sistemik membutuhkan ekosistem yang utuh. Komunitas, perusahaan, lembaga, hingga pemerintah harus bekerja sama. 

Komunitas menurut dia bisa menjadi penggerak kesadaran, menyebarkan informasi, dan membangun solidaritas. Namun untuk advokasi dan pendampingan korban, lebih baik kerja sama dengan lembaga resmi seperti Komnas Perempuan, LBH, dan KemenPPPA. "Karena melindungi perempuan bukan sekadar isu komunitas, melainkan tanggung jawab kolektif sebuah bangsa," ucap Tria.

Edukasi Sejak Dini
Kasubdiv Digital at Risks SAFEnet, Ellen Kusuma, menilai potensi KBGO terjadi memang sejalan dengan perkembangan teknologi yang memungkinkan interaksi langsung. Pada gim daring, interaksi lewat mikrofon tidak terhindarkan.

Menurutnya, fenomena ini memiliki akar besar dari sisi historis. Akar utamanya karena besarnya patriarki di kehidupan sosial manusia. Mereka yang memiliki kuasa bisa lebih senang setelah melakukan pelecehan terhadap seseorang, ditambah tidak ada konsekuensi yang didapat.

Meskipun berharap, secara realistis menghilangkan KBGO di dunia maya itu bagaikan punguk merindukan bulan. Ellen ragu ada satu solusi yang bisa menyelesaikan seluruh persoalan yang ada. Menurut dia masalah ini memang perlu dilihat dari hulu ke hilir. Misalnya dari edukasi terkait KBGO sejak dini dan pencegahan serta pelindungan korban-korban KBGO.

"Nah itu perlu disosialisasikan, lewat media atau tempat-tempat kumpul banyak org. Bisa dimulai dari anak-anak. Agar mereka perhatian akan hal ini," ucap Ellen saat dikonfirmasi Validnews, Kamis (25/9).

Dia menilai, edukasi seperti yang dilakukan Deb bersama Luna Nera dan Tria bersama IWIG dengan caranya masing-masing bisa menjadi solusi nyata. Sebab, rating gim yang sudah dilakukan saat ini tidak cukup mengurangi kasus KBGO di gim daring, karena hanya bersifat imbauan.

"Tapi kalau saya pribadi edukasi adalah salah satu hal yang prioritas untuk didorong. Imbauan tidak cukup, larangan juga tidak cukup, tapi edukasi dan kampanye soal KBGO," paparnya.

Untuk urusan regulasi, Ellen mengimbau perusahaan gim, baik yang ada di luar negeri maupun di Indonesia, bisa memperketat saringan akses kata-kata, baik itu di mikrofon maupun kolom chat. Kemudian, mekanisme pelaporannya juga mesti dipermudah.  Harapannya agar para korban bisa langsung melapor dan pelaku di-banned tidak lama setelah kejadian. Ia meyakini dengan begitu, ada efek kejut bagi pelaku.

Ia menilai memang untuk menurunkan kasus KBGO perlu regulasi yang lebih komprehensif, tapi tidak mesti lebih tegas daripada yang ada saat ini.

Karena penyebab utamanya ada pada implementasi atau penerapannya yang tidak konsisten, kadang-kadang justru berat sebelah mengkriminalisasi korban. 

"Ini yang perlu diperbaiki daripada membuat regulasi yang lebih tegas sanksinya. Dampaknya khawatir menyingkirkan kebebasan berekspresi dan sebagainya," tandasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar