c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

16 Juni 2025

13:20 WIB

Menbud Fadli Luruskan Pernyataan Kerusuhan Mei 1998

Menbud Fadli sebut tak ada perkosaan 

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Menbud Fadli Luruskan Pernyataan Kerusuhan Mei 1998</p>
<p>Menbud Fadli Luruskan Pernyataan Kerusuhan Mei 1998</p>

Menteri Kebudayaan Fadli Zon saat memberikan pidato dalam diskusi publik "Sastra Mendunia" di Kantor Kementerian Kebudayaan, Jakarta, Rabu (11/6/2025). ANTARA/Livia Kristianti.

JAKARTA - Menteri Kebudayaan Fadli Zon menjelaskan pernyataannya tentang tidak ada bukti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perkosaan massal dalam peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998. Dia juga mengklaim bahwa informasi tersebut hanyalah rumor dan tidak pernah dicatat dalam buku sejarah.

Mengutip Antara, Senin (16/6) Fadli dalam keterangan tertulisnya menegaskan, dia mengutuk dan mengecam keras berbagai bentuk perundungan dan kekerasan seksual pada perempuan yang terjadi pada masa lalu dan bahkan masih terjadi hingga kini.

"Apa yang saya sampaikan tidak menegasikan berbagai kerugian atau pun menihilkan penderitaan korban yang terjadi dalam konteks huru-hara 13-14 Mei 1998,” tulis Fadli.

Menurut dia, peristiwa huru-hara 13-14 Mei 1998 memang menimbulkan sejumlah silang pendapat dan beragam perspektif termasuk ada atau tidak adanya “perkosaan massal”. Liputan investigatif sebuah majalah terkemuka juga tak dapat mengungkap fakta-fakta kuat soal 'massal' ini.

Demikian pula, laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) ketika itu hanya menyebut angka tanpa data pendukung yang solid baik nama, waktu, peristiwa, tempat kejadian atau pelaku. Sehingga, perlu kehati-hatian dan ketelitian karena menyangkut kebenaran dan nama baik bangsa sehingga tidak beredar narasi-narasi yang sampai mempermalukan nama bangsa sendiri.

Pernyataan Fadli dalam sebuah wawancara publik menyoroti secara spesifik perlunya ketelitian dan kerangka kehati-hatian akademik dalam penggunaan istilah “perkosaan massal”, yang dapat memiliki implikasi serius terhadap karakter kolektif bangsa dan membutuhkan verifikasi berbasis fakta yang kuat.

Menurut dia, pernyataan tersebut bukan dalam rangka menyangkal keberadaan kekerasan seksual, melainkan menekankan bahwa sejarah perlu bersandar pada fakta-fakta hukum dan bukti yang telah diuji secara akademik dan legal.

“Penting untuk senantiasa berpegang pada bukti yang teruji secara hukum dan akademik, sebagaimana lazim dalam praktik historiografi. Apalagi menyangkut angka dan istilah yang masih problematik,” kata dia.

Istilah "massal" menurut dia juga telah menjadi pokok perdebatan di kalangan akademik dan masyarakat selama lebih dari dua dekade, sehingga sensitivitas seputar terminologi tersebut harus dikelola dengan bijak dan empatik.

“Berbagai tindak kejahatan terjadi di tengah kerusuhan 13-14 Mei 1998, termasuk kekerasan seksual. Namun terkait "perkosaan massal" perlu kehati-hatian karena data peristiwa itu tak pernah konklusif,” ujar Fadli.

Menanggapi kekhawatiran terkait penghilangan narasi perempuan dalam buku Sejarah Indonesia, Fadli menyampaikan bahwa tuduhan tersebut tidak benar.

"Justru sebaliknya, salah satu semangat utama penulisan buku ini adalah memperkuat dan menegaskan pengakuan terhadap peran dan kontribusi perempuan dalam sejarah perjuangan bangsa," tegasnya.

Baca juga: Jokowi Diminta Lakukan Ini Sebelum Umbar Masalah Pelanggaran HAM Berat

Dalam perkembangan penulisan hingga Mei 2025, pembahasan mengenai gerakan, kontribusi, peran, dan isu-isu perempuan telah diakomodasi secara substansial dalam struktur narasi sejarah.

Tema-tema yang dibahas mencakup antara lain kemunculan organisasi-organisasi perempuan pada masa kebangkitan nasional, termasuk Kongres Perempuan 1928 serta peran organisasi perempuan sebagai ormas.

Lalu ada pembahasan tentang kontribusi perempuan dalam perjuangan diplomasi dan militer; dinamika perempuan dari masa ke masa; penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberdayaan dan kesetaraan gender dalam kerangka pembangunan berkelanjutan (SDGs).

Fadli mengajak masyarakat untuk terlibat dalam dialog secara sehat dan konstruktif, sebagai bagian dari upaya bersama membangun narasi sejarah Indonesia yang berkeadaban, berkeadilan, reflektif, dan terus berkembang.

Dia juga menyatakan kesiapan untuk berdialog secara langsung dengan berbagai kelompok masyarakat, untuk mendengarkan aspirasi dan masukan lebih lanjut.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar