03 Mei 2025
17:15 WIB
Menanti Formula Adil Royalti Musik
Royalti bagi musisi belum menyejahterakan dan menyuguhkan rasa adil. Tuntutan revisi menggema mencari keadilan bagi musisi Tanah Air.
Penulis: Aldiansyah Nurrahman, Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Rikando Somba
Penonton menyaksikan penampilan grup musik Bromo Jazz Camp pada acara Jazz Gunung Bromo 2024 di Jiwa Jawa Resort, Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (19/7/2024). Antara Foto/Irfan Sumanjaya.
JAKARTA – Setelah diundangkan pada 16 Oktober 2014, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima tujuh permohonan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta. Uji materi UU Hak Cipta pertama diterima MK tahun 2015. Lalu, pada 2025 yang belum berjalan setengahnya ini, setidaknya ada tiga uji materi UU Hak Cipta, antara lain tentang royalti.
Nah, salah satu permohonan uji materi UU Hak Cipta menunjukkan terbelahnya sikap musisi Tanah Air tentang royalti. Salah satu perwakikan kubu, yakni VISI yang diwakili oleh Panji Prasetyo, menyebut UU Hak Cipta saat ini sudah cukup. Hanya saja, perlu pemaknaan lebih luas agar pemahanannya lebih jelas. Salah satunya, soal izin performing rights.
Performing rights atau hak pertunjukan adalah hak hukum yang dimiliki oleh pencipta lagu atau pemegang hak cipta atas penggunaan karya musik mereka di ruang publik.
Panji menjelaskan, VISI yang dimotori musisi Armand Maulana dan Nazril Irham atau dikenal Ariel NOAH ingin penegasan, UU membolehkan tidak perlu izin pencipta sepanjang pengguna atau penyelenggara acara pertunjukan membayar ke Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Selain itu, ditegaskan tidak boleh ada orang yang menagih royalti di luar LMK, terlebih dengan tarif yang ditentukan sendiri.
Jika UU menegaskan itu, menurut dia, akan memudahkan penegak hukum ke depannya dalam menangani kasus performing rights. Para penyanyi juga tak akan menjadi korban seperti Agnez Mo yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, dan diwajibkan membayar denda karena membawakan lagu ciptaan Ari Bias tanpa izin. Padahal, Agnez adalah penyanyi yang mempopulerkan lagu-lagu si pencipta.
Baca juga: Para Penyanyi Ajukan Uji Materi 5 Pasal UU Hak Cipta ke MK
Sebaliknya, kata dia, jika royalti dibayarkan tanpa perantara LMK seperti sistem lisensi langsung atau direct license, akan menimbulkan ketidakpastian tarif royalti. Hal ini akan memengaruhi kemampuan promotor dan penyanyi. Industri musik bisa mati karena masyarakat takut membawakan suatu lagu.
Direct license merupakan sistem yang mewajibkan penyanyi mendapatkan izin langsung dari pencipta lagu sebelum menampilkan karyanya di atas panggung. Jika pencipta tak mengizinkan, atau biayanya tak disepakati, lagu tak bisa dibawakan.
Walaupun VISI menegaskan royalti dibayarkan melalui LMK Negara (LMKN), namun lembaga itu memiliki masalah dalam laporan royalti.
“Bukan si pencipta lagu dapat Rp10 juta atau Rp100 juta, tapi kenapa sebesar itu? Karena itu LMKN mesti diperbaiki. Bahkan, VISI sempat ngomong ‘yaudah, kalau emang kebanyakan LMK-nya digabung, supaya lebih efektif, lebih cepat bayarnya,” tuturnya dalam perbincangan dengan Validnews, Senin (28/4).
Sementara itu, Sekjen AKSI, Doadibadai Hollo atau Badai eks Kerispatih mengatakan, uji materi VISI ke MK membuat pencipta lagu tidak punya eksklusivitas. Padahal, eksklusivitas pencipta lagu merupakan meruah UU Hak Cipta.
Menurut Badai, Pasal 9 menyatakan setiap yang melaksanakan aktivitas komersial perlu izin pencipta. Sementara itu, Pasal 23 Ayat 5 tidak berbicara masalah performing rights, namun fonogram.
AKSI tidak mau lagi lewat metode royalti melalui LMKN. Pasalnya, LMKN dinilai tidak membantu dan transparan kepada pencipta. AKSI ingin menerima langsung royalti dengan sistem yang baru. Terlebih, dalam Pasal 81 UU Hak Cipta menyatakan, pencipta bisa melaksanakan sendiri skema royaltinya.
“Laporan yang kita terima masa lagu sekelas Piyu PADI yang PADI-nya saja sudah kelihatan banget manggungnya setiap bulan mungkin 20 kali main, masa cuma Rp150 ribu tidak logis. Lagu saya yang dibawa kemana-mana masa menerimanya cuma Rp500 ribu setahun performing right,” tuturnya kepada Validnews, Rabu (30/4).
Selama ini, kata Badai, hasil royalti ditransfer LMK ke rekening pencipta lagu masing-masing, tanpa penjelasan detail. Misalnya, detail pemakaian lagu atau konser di mana, waktunya kapan, dan penyelenggaranya siapa. Oleh sebab itu, wajar jika pengelolaan royalti tersebut dipertanyakan AKSI.
Badai mengatakan AKSI sedang menyiapkan metode baru dalam urusan penagihan dan pendistribusian royalti performing rights, berupa aplikasi digital direct licensing (DDL). Aplikasi ini diharapkan menjadi solusi agar royalti menjadi transparan dan efisien.
AKSI juga sudah membuat perhitungan direct license, yakni menarik 10% dari jumlah kontrak artis. 10% ini bukan dari satu lagu yang dibawakan, tapi dibagi rata sesuai jumlah lagu yang dibawakan.
“Katakanlah artis itu dibayar Rp50 juta. Dan 10% nya setara Rp5 juta dibagi 10 lagu adalah Rp500 ribu. Kalau pencipta lagu punya satu lagu, Rp500 ribu diterima, kalau tiga lagu Rp1,5 juta,” tutur Badai.

Revisi UU Hak Cipta
DPR memasukkan revisi UU Hak Cipta dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas 2025. Ketua Dewan Pembina AKSI, Ahmad Dhani menyebut UU Hak Cipta sekarang tidak bermasalah. Namun, dalam revisi UU Hak Cipta perlu ditegaskan mengenai peran penyelenggara dan penyanyi terkait pembayaran royalti ke pencipta lagu.
"Sebenarnya undang-undangnya tidak ada masalah, cuma interpretasi daripada pelaku-pelaku ekosistemnya ini yang salah, sehingga perlu ada penjelasan yang lebih detail,” kata Anggota Komisi X DPR ini di kawasan Senayan, Jakarta, Jumat (21/3).
Komisioner Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) Bidang Kolektif Royalti dan Lisensi, Yessi Kurniawan mengatakan UU Hak Cipta tak akan pernah bisa adil bagi semua pihak. Akan ada benturan keinginan dari sisi penyanyi, pencipta, penyelenggara, atau produser.
“Kalau tidak adil bagaimana? Ya, paling tidak kita tidak tertinggal dari negara-negara yang sudah maju menerapkan hak ciptanya,” jelasnya, kepada Validnews, di Tangerang Selatan, Banten, Jumat (25/4).
Perbedaan UU Hak Cipta Indonesia dengan negara maju, kata Yessi, hanya di tarif royalti. Tarif Indonesia disesuaikan dengan keekonomian Asia Tenggara. Hal ini juga sudah dikonsultasikan dengan Umbrella International dan World Intellectual Property Organization (WIPO).
Meski begitu, bukan berarti UU Hak Cipta tak perlu perbaikan. Dalam RUU Hak Cipta kelak, Yessi berharap terdapat mekanisme penyelesaian masalah-masalah pembayaran royalti dalam bentuk semacam peradilan sederhana dan cepat.
Pasalnya, tingkat kepatuhan membayar royalti di Indonesia sangat rendah karena penerapan hukum untuk menciptakan kepatuhan tersebut membutuhkan biaya besar dan waktu sangat lama.
Yessi mencontohkan, penagihan royalti yang harus dibayarkan pihak yang bermasalah hanya Rp12 juta, tapi proses untuk menegakkan hukum ini bisa menelan biaya hingga Rp50 juta.
Selain itu, ke depan dalam UU Hak Cipta, mulai dari pencipta, LMK, LMKN, pengguna, dan penyelenggara diatur supaya terkoneksi dengan teknologi. Hal ini berkaitan dengan transparansi.
LKMN sendiri tengah menggodok aplikasi agar pencipta maupun publik yang menggunakannya bisa mengetahui dan mengawasi proses royalti dalam tiap acara musik atau konser dilangsungkan. Aplikasi ini akan memuat konser-konser yang telah didaftarkan ke LMKN.
Pengguna nantinya tak hanya mengetahui konser musik yang terdaftar, tapi juga mengetahui lagu yang dibawakan, pencipta dari lagu yang dibawakan, dan artis yang menyanyikan dalam tiap konser.
Selain itu, dengan aplikasi ini bisa diketahui dari konser yang diadakan, penyelenggara sudah membayar royalti atau belum ke LMKN. Jika sudah, berarti LMKN akan mentransfernya ke LMK. Setelah itu, pencipta bisa meminta hak royaltinya ke LMK yang menaunginya.
Dalam aplikasi ini juga terdapat kolom khusus untuk melaporkan acara musik yang diketahui menyanyikan suatu lagu, tapi tidak melaporkannya.
Yessi mengatakan, hal lainnya yang perlu ada dalam UU Hak Cipta adalah norma-norma dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik dimasukkan dalam UU untuk penguatan LMKN.
Tak cukup lewat UU, upaya yang lain diperlukan. Pasalnya, potensi royalti musik yang bisa dihimpun dalam negeri diyakini sebetulnya lebih dari Rp500 miliar. Jika hal ini mampu dilakukan, maka akan lebih besar dari royalti Malaysia yang berjumlah Rp300 miliar.
Lalu, bagaimana kinerja LMKN? Yang jelas, pada 2024 royalti yang dihimpun LMKN baru Rp77,15 miliar. Jumlah ini meningkat dari tahun sebelumnya yang berhasil menghimpun Rp55,15 miliar. Untuk 2025 ini, LMKN menargetkan mampu menghimpun royalti Rp126,16 miliar.
Saat ini, per harinya rata-rata baru tiga acara yang membayar royalti ke LMKN, padahal semestinya lebih dari ini. Karena itu, agar potensi royalti bisa dikumpulkan secara maksimal, Yessi mengatakan dibutuhkan suatu lembaga di tiap provinsi yang dapat menagih royalti dari penyelenggara.
Selain itu, ia berharap dinas pariwisata turut andil dalam mengawasi hotel-hotel yang melakukan aktivitas musik. Cara lainnya agar potensi royalti tak hilang adalah bekerja sama dengan Polri.
Dia ungkapkan, LMKN sedang menyiapkan formula kerja sama dengan Polri yang intinya setiap penyelenggara mengurus izin keramaian, maka penyelenggara juga harus mengurus royalti untuk pemanfaatan lagu. Jadi, saban ada penyelenggaraan keramaian yang mencantumkan pertunjukan musik, lagu yang dibawakan juga dicatatkan dalam perizinan.
Skema izin keramaian ini, lanjut Yessi, sudah didiskusikan LMKN dengan AKSI yang diwakili Ahmad Dhani.
Kemudian, kata Yessi, dalam pertemuan itu juga dibicarakan kemungkinan kenaikan tarif royalti konser musik dengan skema seperti saat ini lewat perhitungan tiket dan dibayarkan ke LMKN.
Pertemuan dengan AKSI masih akan dilakukan untuk menemukan titik temu. Namun jika ujung dari pertemuan ini direct licence tetap ingin diterapkan, bahkan benar-benar masuk dalam UU Hak Cipta, LMKN siap mematuhinya.
Pembagian Royalti
Pakar musik Institut Seni Indonesia (ISI) Solo, Aris Setiawan mengatakan pokok persoalan dari perseteruan terkait dengan royalti para musisi ini adalah karena dianggap pembagian royalti tidak adil. Terutama royalti diberikan kepada para pencipta lagu.
“Selama ini pencipta lagu hanya menjadi orang kedua saja setelah lagunya dinyanyikan. Yang pertama menikmati adalah para penyanyinya. Maka tidak jarang pencipta lagu itu mendapatkan sangat sedikit kompensasi dari hak cipta yang dinyanyikan oleh orang lain,” jelasnya, Selasa (29/4).
Sementara penyanyi, kata dia, mendapatkan keuntungan secara finansial lebih banyak karena menyanyikan lagunya. Masalah transparansi pembagian royalti oleh LMKN juga sebabkan kegaduhan. Oleh karena itu, manajemen pembagian royalti perlu diperbaiki.
Aris berpesan, saat ini sorotan musik hanya menyoroti musik pop. Padahal, ada musisi tradisi yang juga patut untuk mendapatkan perhatian.
“Bagaimana nasib mereka? Misalnya musisi tradisi yang selama ini hanya menjadi pemain di pinggir, kan nasibnya juga harus diperhatikan! Apa yang terjadi ketika karya mereka itu diunggah tanpa izin di akun YouTube-nya, digunakan sebagai banyak hal, iringan tari dan sebagainya, musik background-nya, tetapi tidak ada penghargaan kepada mereka,” tukas Aris.
Musisi berbasis tradisi selama ini tidak terjamin oleh pemerintah. Banyak sekali pertunjukan musik yang juga memainkan lagu daerah, baik secara live ataupun sekadar diputar melalui pemutar lagu. Ini juga harusnya menjadi perhatian, bukan?