11 Maret 2023
11:16 WIB
Editor: Leo Wisnu Susapto
JAKARTA – Hukum positip Indonesia, mengatur sejmlah pengampunan bagi terpidana mati. Yakni, grasi, amnesti, dan abolisi.
Mengutip, artikel Mekanisme Hukuman Mati di Indonesia oleh Satria Perdana di laman Mahkamah Agung, kata grasi berasal dari bahasa latin Pardonare atau pardon dalam bahasa Inggris.
Grasi diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi yang telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2010. Pasal 1 UU 20 Tahun 2002 tertulis, grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana baru, pidana mati disebutkan akan otomatis menjadi pidana seumur hidup apabila sepuluh tahun setelah keputusan penolakan grasi dikeluarkan oleh Presiden, dan jaksa belum melaksanakan eksekusi pidana mati tersebut.
Hal ini berarti jaksa harus melaksanakan pidana mati sebelum sepuluh tahun setelah adanya penolakan kasasi Sedangkan, Pasal 7 ayat 2 UU 5 Tahun 2010, tertulis, permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan paling lama dalam jangka waktu satu tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Baca juga: Presiden Diminta Beri Grasi Anak Di Penjara
Sementara, menurut artikel yang sama, amnesti adalah pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan UU tentang pencabutan semua akibat dari pemindanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana. Dalam kaitannya dengan hukum pidana, kewenangan memberikan amnesti yang dimiliki Presiden ini sesungguhnya berbicara tentang hapusnya kewajiban seseorang menjalani pidana, khususnya berkaitan dengan alasan pemaaf dalam hukum pidana.
Dengan pemberian amnesti sesungguhnya Presiden menyatakan bahwa sifat melawan hukum dari perbuatan seseorang ditiadakan. Karena, Presiden menggunakan hak untuk memaafkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan seseorang dan sekelompok orang.
Hak Presiden ini mempunyai kesamaan ide dengan hapusnya hak menuntut yang dikenal di dalam KUHP. Secara umum penuntutan dihentikan atau dicabut apabila; telah ada putusan hakim yang tetap (de kracht van een rechter lijkgeweijsde) mengenai tindakan yang sama (Pasal 76).
Lalu, terdakwa meninggal dunia (Pasal 77); perkara telah kedaluwarsa (Pasal 78). Terjadi penyelesaian di luar pengadilan (Pasal 82).
Pasal 4 UU Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi menyatakan, dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana dihapuskan.
Baca juga: Saran Bagi Gagasan Amnesti Napi Narkotika
Sedangkan untuk pemberian abolisi maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan. Amnesti dan abolisi pernah dilaksanakan sebagaimana dalam UU 11 Tahun 1954 sehubungan pada saat itu terjadinya sengketa politik antara Indonesia (Yogyakarta) dengan Kerajaan Belanda (Pasal 2). UU ini merupakan pelaksanaan dari UUD Sementara Tahun 1950. Menurut Pasal 1, Presiden memberikan amnesti atau abolisi dengan pertimbangan dari MA berdasarkan permintaan dari menteri kehakiman.
Lalu, abolisi adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana. Penghentian eksekusi apabila putusan tersebut telah dijalankan. Merupakan hak prerogatif Presiden yang hanya diberikan setelah meminta nasihat MA.
Selain pengampunan, ada beberapa perubahan penting terkait hukuman mati. Terutama pembaharuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022.
Yakni, Pasal 100 UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, tertulis, hakim menjatuhkan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun.
Pasal 100 ayat 2 tertulis, pidana mati dengan masa percobaan, ketika terpidana menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji selama masa percobaan tersebut, pidana mati dapat diubah menjadi pidana penjara seumur hidup dengan Keputusan Presiden (Keppres). Presiden harus mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (MA) lebih dahulu.
Pasal 100 ayat 5, pidana penjara seumur hidup dihitung sejak Keppres ditetapkan. Lalu, pada ayat 6 tertulis, jika terpidana selama masa percobaan tidak menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji serta tidak ada harapan untuk diperbaiki, pidana mati dapat dilaksanakan atas perintah jaksa agung.