c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

18 Agustus 2025

09:55 WIB

Masyarakat Minta DPR Transparan Bahas Revisi UU Kehutanan

Transparansi revisi UU Kehutanan dinilai minim dan mengancam kriminalisasi rakyat terutama masyarakat adat.

Penulis: Aldiansyah Nurrahman

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Masyarakat Minta DPR Transparan Bahas Revisi UU Kehutanan</p>
<p>Masyarakat Minta DPR Transparan Bahas Revisi UU Kehutanan</p>

Masyarakat Badui di pedalaman Kabupaten Lebak, Banten merayakan peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-80 Kemerdekaan Republik Indonesia dengan sederhana, karena cinta Tanah Air, Minggu (17/8/2025). ANTARA/HO-Pemerintah Desa Kanekes.

JAKARTA - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Advokasi Undang-undang (UU) Kehutanan mendesak Panitia Kerja UU Kehutanan untuk lebih terbuka dalam proses revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Juru bicara koalisi sekaligus Program Manager Indonesia Parliamentary Center, Arif Adi Putro menilai, sejak masuk Prolegnas Prioritas 2024-2029, proses konsultasi revisi beleid itu tidak terbuka luas bagi publik dan tidak sesuai dengan prinsip partisipasi bermakna. 

Menurut Arif, partisipasi public penting dalam revisi UU Kehutanan karena UU Kehutanan telah melanggengkan praktik hukum kolonial yang keliru menafsirkan hak menguasai negara (HMN).

Arif mengungkapkan konsultasi RUU Kehutanan sudah berlangsung tiga kali. Namun dua di antaranya digelar tertutup dan tanpa dokumentasi publik. 

“Publik tidak tahu negosiasi Komisi IV dengan asosiasi pengusaha. Tidak dibuka dokumen rancangan undang-undang, proses legislasi ini jauh dari prinsip keterbukaan,” tegas Arif, dalam keterangannya, Minggu (17/8).

Koalisi mengkhawatirkan revisi UU Kehutanan tiba-tiba disahkan tanpa partisipasi publik. Jika ini terjadi, akan menimbulkan risiko besar pada rakyat. Seperti, masyarakat adat bisa kehilangan kebun, rumah, dan hutan mereka yang sepihak diklaim sebagai kawasan hutan negara.

Juru kampanye Forest Watch Indonesia (FWI), Tsabit Khairul Auni menegaskan bahwa UU Kehutanan masih mewarisi pola kolonial yang membelenggu rakyat. 

Konsep HMN dalam Pasal 4 ditafsirkan seolah menjadi hak kepemilikan mutlak negara, mirip asas domein verklaring era Belanda yang merampas tanah rakyat.

Baca juga: Revisi UU Kehutanan Jalan Untuk Melindungi Hutan 

Data FWI 2025 menunjukkan 65,26% daratan dan perairan Indonesia diklaim sebagai kawasan hutan negara. Proses penunjukan hingga penetapannya, ia katakan, berlangsung tanpa keterbukaan dan partisipasi. 

Sementara, hutan terus menyusut dengan rata-rata deforestasi 2,01 juta hektare (ha) per tahun periode 2017–2023. Tekanan meningkat, kerentanan dan bencana ekologis bertambah, sementara hak dan akses rakyat tetap diabaikan. 

“Fakta tersebut menegaskan, UU Kehutanan telah gagal melindungi hutan alam tersisa,” terang dia. 

Padahal, lanjutnya, dalam konsideran, UU ini dimaksudkan menjaga hutan sebagai penopang kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat. 

Peneliti Madani Berkelanjutan, Sadam Afian Richwanudin menegaskan, meski konsideran UU Kehutanan ditujukan untuk keberlanjutan hutan, faktanya deforestasi terus meningkat. 

Pada 2024, hutan yang hilang 216 ribu ha, sementara kebakaran hutan dan lahan hingga pertengahan tahun sudah membakar 115 ribu ha hutan, termasuk lahan gambut. 

“Akibatnya, rakyat di sekitar hutan kehilangan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagaimana dijamin Konstitusi,” lanjut dia.

Manajer Advokasi Hukum Rakyat Perkumpulan HuMa, Nora Hidayati menilai fungsi pengawasan dalam UU Kehutanan sangat lemah, padahal pengawasan adalah kunci untuk melindungi hak rakyat dan menjaga kelestarian lingkungan.

Nora menilai, akses dan kontrol atas hutan harus diberikan secara luas, terutama bagi petani gurem, buruh tani, masyarakat adat, dan perempuan yang kehilangan sumber hidupnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar