01 Oktober 2025
09:43 WIB
KY Saran Dukungan Psikologis Bagi Hakim
Dukungan psikologis dibutuhkan untuk kesehatan mental hakim di tingkat pertama dan banding.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi Palu Hakim. Shutterstock/Sebastian Duda.
JAKARTA - Komisi Yudisial (KY) mendorong adanya dukungan psikologis yang berkelanjutan bagi hakim tingkat pertama dan banding untuk menjaga kesehatan mental mereka.
Saran tersebut mengacu hasil Survei Kesejahteraan Hakim di Indonesia yang menyoroti kondisi kesehatan mental hakim tingkat pertama dan tingkat banding di seluruh lingkungan peradilan.
Anggota KY sekaligus Ketua Bidang Pencegahan dan Peningkatan Kapasitas Hakim, Sukma Violetta memaparkan, sebanyak 43,53% hakim pernah mengalami stres atau kelelahan emosional berulang dan 15,63% di antaranya mengaku cukup sering mengalami itu.
“Ini menunjukkan mayoritas hakim pernah menghadapi tekanan emosional yang berulang dan ini dapat berdampak pada kesehatan mental dan kinerja, untuk itu, memang diperlukan dukungan psikologis bagi para hakim,” kata Sukma di Jakarta, Selasa (30/9) dikutip dari Antara.
Survei KY mendapatkan hasil paradoks, yakni sebagian besar hakim responden mengaku beban kerja telah proporsional (59,77%), tetapi di saat yang bersamaan mayoritas hakim juga pernah mengalami stres berulang di masa lalu.
Baca juga: Jumlah Hakim Di Indonesia Belum Ideal
Kondisi tersebut, tutur Sukma, mengisyaratkan faktor penyebab stres tidak hanya terkait jumlah perkara yang ditangani hakim, tetapi juga aspek lain meliputi kompleksitas perkara, tekanan waktu, ekspektasi publik, atau intervensi eksternal maupun internal.
Dalam survei dimaksud, KY menemukan bahwa faktor dominan penyebab stres para hakim adalah beban kerja yang tinggi. Kondisi ini disebut menunjukkan persepsi proporsionalitas belum berlaku merata di setiap satuan kerja.
Selain itu, kekhawatiran terkait lokasi penugasan juga menjadi salah satu faktor stres di kalangan hakim. Mereka mengaku khawatir lantaran waktu mutasi tidak pasti, lokasi penugasan yang jauh dari keluarga, atau fasilitas yang kurang memadai di tempat baru.
Kurangnya bantuan staf pendukung juga menjadi faktor yang menyebabkan hakim stres dan lelah secara emosional. Kekurangan dukungan administratif atau teknis berdampak pada efektivitas penyelesaian tugas serta memperbesar beban kerja yang sudah tinggi.
Faktor-faktor lainnya, yaitu tekanan pihak eksternal (29,67%), beban ganda karena tanggung jawab domestik khususnya bagi hakim perempuan (27,27%), isolasi sosial karena harus menjaga citra independensi (19,38%), tekanan moral dan dilema etik (15,07%), serta terpapar perkara traumatis (10,77%).
“Stres pada hakim tidak hanya bersumber dari beban kerja secara kuantitatifnya, tetapi juga dari ketidakpastian karier, juga dari kurangnya dukungan struktural, juga adanya tekanan eksternal, dan adanya dilema psikologis,” ucap Sukma.
Menyikapi data tersebut, KY dalam dua tahun terakhir telah memfasilitasi pelatihan sebagai bagian dari dukungan psikologis dan konseling bagi hakim. Dalam pelatihan itu, KY bekerja sama dengan Asosiasi Psikologi Forensik yang tersebar di berbagai daerah.
“Pelatihan itu memberikan gambaran bahwa setiap hakim perlu menyampaikan apa yang membuat mereka stres dalam penanganan perkara, dan kemudian apa hal-hal yang bisa mereka lakukan untuk mengatasi hal tersebut,” jelas Sukma.
Survei tersebut dilakukan KY dengan metode campuran, kuantitatif dan kualitatif, terhadap 567 responden yang merupakan hakim tingkat pertama dan tingkat banding di seluruh lingkungan peradilan.
Survei dirancang untuk mencapai batas galat lebih kurang lima persen pada tingkat kepercayaan 95%, dengan responden yang merepresentasikan seluruh tingkatan peradilan dan wilayah di Indonesia.
Hasil survei disampaikan Sukma Violetta dalam webinar internasional bertajuk Status dan Kesejahteraan Hakim: Perbandingan Indonesia, Italia, dan Negara-Negara Lain pada Selasa (30/9).