29 Agustus 2025
09:43 WIB
KPK: Kesepakatan LPEI-Debitur Menimbulkan Kerugian Negara
LPEI abaikan kondisi debitur yang tak layak mendapatkan fasilitas kredit sehingga menimbulkan kerugian negara.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Pemilik PT Sakti Mait Jaya Langit, Hendarto berjalan mengenakan rompi tahanan usai diperiksa di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (28/8/2025). ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/bar.
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi menguraikan kesepakatan yang menyebabkan kerugian negara dari fasilitas kredit Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia.
Pelaksana Tugas Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Kamis (28/8) malam menguraikan, PT Sakti Mait Jaya Langit (SMJL) mengajukan kredit ke LPEI. Padahal, aset yang diagunkan adalah lahan kebun sawit di atas kawasan hutan lindung dan hutan konservasi. Sedangkan, izin pembukaan lahan dan izin usaha perkebunan PT SMJL telah dicabut, dan tidak akan terbit sertifikat hak guna usaha (HGU).
Meski tahu bermasalah, lanjut Asep, LPEI tetap memroses Memorandum Analisis Pembiayaan (MAP) pada 2014. Isi MAP tersebut juga mengabaikan ketentuan dan prinsip pembiayaan yang diatur dalam peraturan LPEI.
LPEI mencairkan fasilitas kredit berupa kredit investasi ekspor (KIE) pada Oktober 2014-Oktober 2015 untuk PT SMJL ydalam dua tahap dengan total Rp950 miliar. Ditambah, kredit modal kerja ekspor (KMKE) senilai Rp115 miliar untuk pembiayaan.
Sementara, LPEI menyetujui fasilitas kredit untuk PT Mega Alam Sejahtera (MAS) pada grup PT Bara Jaya Utama (BJU), pada April 2015 mendapat fasilitas kredit sebesar US$50 juta. Padahal, proyeksi arus kas (cash flow) perusahaan tahun 2016-2019 mengalami kerugian dan dinilai tidak dapat melunasi pinjaman bank, tetapi dapat kredit dari LPEI.
Baca juga: KPK Terima Limpahan Dari OJK Terkait Korupsi LPEI
“Pihak LPEI sebagai kreditur melakukan penghitungan cash flow berdasarkan hasil konsolidasi dengan grup PT BJU, sehingga dalam penghitungan, debitur dinyatakan layak mendapatkan persetujuan pembiayaan atas pengajuan permohonan pembiayaan,” jelas Asep dikutip dari Antara.
Selain itu, kata dia, LPEI bahkan memasukkan PT Kalimantan Prima Nusantara (KPN) yang belum beroperasi, dan baru pada tahapan akuisisi oleh grup PT BJU ke dalam analisa proyeksi.
Setelah fasilitas kredit cair, Asep menjelaskan pemilik PT SMJL dan PT MAS, Hendarto (HD), tidak menggunakan pembiayaan dari LPEI untuk kedua perusahaannya, tetapi dipakai untuk kepentingan pribadi seperti pembelian aset, kendaraan, kebutuhan keluarga, hingga berjudi.
Peruntukan fasilitas kredit untuk kebutuhan operasional PT SMJL hanya sebesar Rp17 miliar atau sekitar 3,01% dari total pinjaman. Kemudian, kebutuhan operasional PT MAS senilai US$8,2 juta atau sekitar Rp110 miliar berdasarkan kurs dolar di tahun 2015, atau sekitar 16,4% dari total pinjaman.
Asep melanjutkan, penyidik KPK telah menyita aset berupa uang tunai, tanah bangunan, kendaraan bermotor, perhiasan, tas mewah dan barang mewah lainnya senilai total mencapai Rp540 miliar. Berdasarkan penghitungan awal penyidik, perkara ini diduga merugikan keuangan negara hingga Rp1,7 triliun.
Sebelumnya, pada 3 Maret 2025, KPK telah menetapkan lima orang tersangka kasus dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh LPEI, yakni masing-masing dua orang dari LPEI dan tiga orang dari pihak debitur PT Petro Energy.
Dua orang tersangka dari LPEI adalah Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi dan Direktur Pelaksana IV LPEI Arif Setiawan.
Tiga orang tersangka dari pihak debitur PT Petro Energy (PE), yakni Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal/Komisaris Utama PT PE Jimmy Masrin, Direktur Utama PT PE Newin Nugroho, dan Direktur Keuangan PT PE Susi Mira Dewi Sugiarta.
KPK pada 28 Agustus 2025, menetapkan Hendarto sebagai tersangka untuk klaster debitur PT Sakti Mait Jaya Langit dan PT Mega Alam Sejahtera pada grup PT Bara Jaya Utama.
Total terdapat 15 debitur yang diberi kredit oleh LPEI terkait dengan perkara tersebut, dan diduga mengakibatkan kerugian negara hingga mencapai lebih dari Rp11 triliun.