18 Agustus 2025
13:02 WIB
KPK Bicara Grasi Setya Novanto
KPK ingatkan korupsi e-KTP beragam dampaknya sehingga tergolong dalam kejahatan luar biasa.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Arsip foto- Setya Novanto (ANTARA/Desca Lidya Natalia.
JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengingatkan kasus dugaan korupsi pengadaan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el) merupakan kejahatan serius. Pernyataan itu merespons narapidana kasus tersebut, Setya Novanto yang mendapatkan bebas bersyarat.
“Bicara perkara itu, kita kembali diingatkan sebuah kejahatan korupsi yang serius, dan dengan dampak yang benar-benar langsung dirasakan hampir seluruh masyarakat Indonesia,” ujar Juru Bicara KPK Budi Prasetyo dikutip dari Antara dari Jakarta, Senin (18/8).
Dia menjelaskan alasan lain kasus tersebut menjadi termasuk kejahatan yang serius, karena tidak hanya dilihat dari besarnya kerugian negara, melainkan degradasi kualitas pelayanan publik.
“Namun, kejahatan korupsi selalu menjadi pengingat sekaligus pembelajaran untuk generasi berikutnya agar sejarah buruk itu tidak kembali terulang,” lanjut dia.
Sementara itu, dia mengatakan di momen HUT Ke-80 RI, butuh persatuan dan kedaulatan seluruh elemen masyarakat untuk melawan korupsi demi perwujudan cita-cita dan tujuan bangsa.
Baca juga: Putusan PK MA Pangkas Hukuman Setya Novanto
Sebelumnya, Kepala Kantor Wilayah Ditjen Pemasyarakatan Jawa Barat, Kusnali saat dikonfirmasi di Bandung, Minggu (17/8), mengatakan Setya Novanto mendapatkan bebas bersyarat.
Akan tetapi, dia mengatakan Setya Novanto baru bebas murni pada 2029, sedangkan saat ini yang bersangkutan dalam masa pembebasan bersyarat, dan wajib lapor sampai April 2029.
Sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan oleh mantan ketua DPR RI, Setya Novanto, dalam kasus korupsi proyek KTP Elektronik (e-KTP). Putusan ini memangkas hukuman pidana penjara Setya Novanto dari 15 tahun menjadi 12 tahun dan 6 bulan.
Berdasarkan amar putusan MA yang tertuang dalam perkara Nomor 32 PK/Pid.Sus/2020, Setnov dinyatakan terbukti melanggar Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) jo. Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Selain pidana pokok, ia juga dijatuhi denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.
Putusan PK ini diketok oleh majelis hakim yang terdiri dari Ketua Majelis Surya Jaya serta dua hakim anggota, Sinintha Yuliansih Sibarani dan Sigid Triyono, pada Rabu, 4 Juni 2025.
Selain pidana pokok dan denda, MA tetap membebankan pembayaran uang pengganti sebesar US$7,3 juta kepada Setnov. Jika tidak dibayar, makan akan digantikan dengan tambahan pidana penjara selama dua tahun.
MA juga menjatuhkan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik Setnov, yakni larangan menduduki jabatan publik selama dua tahun enam bulan setelah ia menyelesaikan masa pidananya.