22 September 2025
13:47 WIB
Komnas Protes Menkeu Purbaya Soal Cukai Rokok
Pernyataan Menkeu Purbaya tentang cukai rokok bisa melemahkan upaya pemerintah menaikkan cukai rokok.
Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi
Editor: Leo Wisnu Susapto
Ilustrasi sebungkus rokok dengan pita cukai. Validnews/Hasta Adhistra.
JAKARTA - Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) mengkritik pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Yudhi Sadewa, yang menyebutkan tarif cukai rokok sebesar 57% terlalu tinggi dan mengibaratkannya sebagai kebijakan Firaun. Pernyataan itu dinilai merupakan langkah mundur upaya peningkatan kesehatan masyarakat.
Ketua Umum Komnas PT, Hasbullah Thabrany menjelaskan, pernyataan ini berbahaya karena berpotensi mendorong pemerintah untuk tidak menaikkan cukai rokok, bahkan menurunkannya. Hal ini mengancam upaya pengendalian konsumsi rokok yang merupakan faktor risiko utama penyakit-penyakit mematikan.
"Sebanyak 200.000 lebih rakyat Indonesia meninggal karena rokok setiap tahunnya, sehingga perlu kita tekan dengan cukai yang tinggi. Maka cukai rokok harus dinaikkan lagi, bukan diturunkan," tegas Hasbullah melalui keterangan resmi, Senin (22/9).
Dia menjelaskan, cukai rokok harus ditetapkan setinggi mungkin untuk menekan keterjangkauan rokok. Hal ini akan menurunkan prevalensi konsumsi dan meningkatkan kesehatan masyarakat. Dalam jangka panjang, langkah ini dapat meningkatkan produktivitas yang berdampak pada ekonomi.
Baca juga: Rata-rata Cukai Rokok 57%, Menkeu: Pengambilan Kebijakan Aneh
Hasbullah juga menyampaikan, cukai rokok sebesar 57% sudah sesuai ketetapan Undang-Undang (UU) Nomor 39 Tahun 2007 tentang Cukai. Angka itu merupakan persentase maksimum dan lebih rendah dari besaran cukai negara-negara lain. Contohnya, Singapura yang menetapkan cukai rokok sebesar 67,5% dan Australia dengan cukai rokok sebesar 72%.
Menurut dia, cukai rokok maksimum 57% dengan kenaikan rata-rata 10-11% per tahun pun masih belum mampu mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia. Hal ini terlihat dari masih tingginya prevalensi perokok yaitu 27% berdasarkan Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023.
Selain itu, Hasbullah menyoroti pernyataan Purbaya tentang cukai rokok yang terlalu tinggi bisa melemahkan industri dan memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Menurut Hasbullah, tidak ada fakta cukai tinggi menyebabkan pekerja menganggur. Sebab, PHK di industri rokok disebabkan oleh mekanisasi atau penggantian pekerja tenaga manusia dengan mesin.
Menurut dia, cukai rokok justru bisa menjadi bagian dari upaya mitigasi PHK di industri rokok. Langkah ini menjadi win-win solution baik untuk sektor kesehatan maupun ekonomi.
"Sebagian uang dari cukai hasil tembakau dapat dipakai untuk membuka lapangan kerja baru dan memberikan program pada petani untuk menanam hasil pertanian yang lebih sehat,” tutup Hasbullah.