c

Selamat

Kamis, 6 November 2025

NASIONAL

30 Juni 2025

11:12 WIB

Komnas Nilai Putusan MK Picu Pemilu Jadi Ramah HAM  

MK putuskan pemilu nasional dan daerah dipisah dan harus ada jeda minimal dua tahun.

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>Komnas Nilai Putusan MK Picu Pemilu Jadi Ramah HAM&nbsp;&nbsp;</p>
<p>Komnas Nilai Putusan MK Picu Pemilu Jadi Ramah HAM&nbsp;&nbsp;</p>

Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) warga Suku Badui menunjukkan surat suara pemilihan De wan Perwakilan Daerah (DPD) di TPS 26 Desa Kanekes, Lebak, Banten, Rabu (14/2/2024). Antara Foto/Muhammad Bagus Khoirunas.

JAKARTA - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengharuskan jeda pemilu nasional dan daerah , menjadi langkah mewujudkan pemilu lebih ramah HAM.

Menurut Komnas HAM, putusan MK ini menjadi representasi kehadiran negara dalam pemenuhan hak hidup dan hak atas kesehatan yang lebih baik bagi petugas pemilu sehingga pengalaman buruk di pemilu sebelumnya tidak terulang.

"Komnas HAM mengapresiasi putusan MK sebagai langkah progresif untuk mendorong terwujudnya pemilu yang lebih ramah HAM," ungkap Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dikutip dari Antara di Jakarta, Senin (30/6).

Anis menjelaskan bahwa putusan MK tersebut akan membagi beban pekerjaan para petugas pemilu. Terutama, pada tahapan pemungutan suara oleh petugas tempat pemungutan suara (TPS) sehingga pekerjaannya menjadi lebih terarah dan terukur.

Komnas HAM berkaca dari Pemilu 2019 dan 2024 dengan metode lima kotak, yakni pemilu serentak untuk DPR, DPD, presiden/wakil presiden, serta DPRD provinsi dan kabupaten/kota.

Menurut Komnas HAM, pemilu serentak yang demikian menjadi salah satu penyebab utama tingginya petugas TPS yang meninggal dunia maupun jatuh sakit.

"Pemungutan dan penghitungan lima surat suara pada umumnya berakhir pada pagi hari berikutnya. Petugas pemilu memikul beban kerja yang melebihi batas kewajaran dan dengan waktu istirahat yang sangat terbatas," urai Anis.

Baca juga: Menkes: 84 Petugas Pemilu Meninggal   

Kondisi tersebut, imbuh dia, diperburuk dengan tingginya tekanan psikis dari pendukung peserta pemilu maupun partai politik serta kekhawatiran terhadap kesalahan teknis yang mungkin terjadi pada saat pemungutan dan penghitungan suara di tingkat TPS.

Maka dari itu, pemisahan pemilu nasional dan lokal dipandang Komnas HAM sejalan dengan pemenuhan hak atas pekerjaan yang layak. Karena, signifikan akan mengurangi beban kerja petugas pemilu, mendorong waktu kerja menjadi lebih pendek, dan memungkinkan waktu beristirahat yang lebih panjang.

Komnas HAM menilai desain pemilu nasional dan lokal akan memberi kesempatan bagi pemilih untuk mendapatkan hak atas informasi kepemiluan yang lebih baik. Dengan desain tersebut, pemilih akan lebih fokus pada isu-isu pusat saat pemilu nasional dan pada isu-isu kedaerahan saat pemilu lokal.

"Hal ini akhirnya akan berkontribusi pada pelaksanaan pemilu yang lebih demokratis, salah satu prasyaratnya adalah pemilih yang terinformasi dengan baik sehingga mampu memilih secara rasional, bukan karena sentimen SARA atau terpapar hoaks," kata Anis.

Sebelumnya, Kamis (26/6), MK mengabulkan sebagian permohonan Perludem dalam Perkara Nomor 135/PUU-XXII/2024. MK memutuskan bahwa pemilu anggota DPRD dan kepala/wakil kepala daerah (pemilu lokal) digelar 2 atau 2,5 tahun sejak pelantikan anggota DPR, DPD, dan presiden/wakil presiden terpilih (pemilu nasional).

Dalam pertimbangan hukum, MK salah satunya menyoroti pelaksanaan Pemilu 2019 yang menyebabkan penyelenggara pemilu jatuh sakit dan meninggal dunia karena rumitnya teknis penghitungan suara dan terbatasnya waktu untuk rekapitulasi suara.

Selain itu, MK juga menyoroti tenggelamnya masalah pembangunan daerah di tengah isu nasional karena pemilu nasional dan lokal digabungkan.

Menurut MK, masalah pembangunan di setiap provinsi dan kabupaten/kota harus tetap menjadi fokus dan tidak boleh dibiarkan tenggelam di tengah isu nasional.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar