04 Juni 2025
08:09 WIB
Istana Sebut Rangkap Jabatan Wamen Dibolehkan Secara Aturan
Rangkap jabatan wamen tertulis dalam UU Kementerian Negara yang kini digugat warga ke MK.
Editor: Leo Wisnu Susapto
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi memberikan keterangan pers di Kantor PCO, Jakarta, Selasa (3/62/2025). ANTARA/Mentari Dwi Gayati.
JAKARTA - Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi mengatakan, secara aturan wakil menteri boleh merangkap jabatan.
"Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 80 Tahun 2019, tidak ada pernyataan bahwa wakil menteri tidak boleh merangkap jabatan," ujar Hasan saat memberikan keterangan di Kantor PCO, Jakarta, Selasa (3/6).
Hasan menjelaskan, berdasarkan Putusan MK Nomor 80 Tahun 2019 tidak ada ketentuan yang secara eksplisit melarang wakil menteri merangkap jabatan.
Meskipun dalam pertimbangan putusan terdapat frasa yang mengarah ke sana, bunyi putusan tidak melarang hal tersebut.
"Pada Putusan MK Nomor 80 Tahun 2019 tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear. Dalam pertimbangan, ada kata-kata yang seperti itu, tetapi dalam putusan tidak ada," ujar dia dikutip dari Antara.
Baca juga: Kemenkeu Klaim Rangkap Jabatan Pejabat Tidak Salahi Aturan
Hasan menyilakan pihak-pihak yang keberatan akan putusan MK itu untuk mengajukan gugatan. Akan tetapi, secara hukum, keputusan yang berlaku saat ini tidak bertentangan dengan aturan.
Hasan menambahkan, anggota kabinet seperti menteri maupun dirinya memang tidak dibolehkan untuk merangkap jabatan. Namun, untuk wakil menteri secara aturan masih dibolehkan.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Indonesia Law & Democracy Studies Juhaidy Rizaldy Roringkon yang mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2008 tentang Kementerian Negara di Mahkamah Konstitusi meminta agar wakil menteri (wamen) dilarang merangkap jabatan.
Juhaidy menguji materi Pasal 23 UU Kementerian Negara lantaran merasa dirugikan hak konstitusionalnya. Menurut dia, pasal tersebut hanya mengatur larangan rangkap jabatan terhadap menteri, sementara terhadap wakil menteri tidak diatur larangan serupa.
Pasal 23 UU Kementerian Negara tersebut tertulis, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai, pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan; komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau perusahaan swasta; atau pimpinan organisasi yang dibiayai dari APBN dan/atau APBD.
Pemohon menilai, ada enam wakil menteri saat ini yang merangkap jabatan sebagai komisaris dan/atau dewan pengawas BUMN. Padahal, wakil menteri merupakan satu kesatuan unsur pemimpin dalam kementerian yang tidak dapat dipisahkan dengan menteri.
Dalam hal ini, Juhaidy mengutip pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan wakil menteri semestinya dilarang merangkap jabatan, seperti layaknya menteri.
Pada pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 80 itu, MK menyatakan pengangkatan dan pemberhentian wakil menteri merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana halnya pengangkatan dan pemberhentian menteri.
Oleh sebab itu, menurut MK, wakil menteri harus ditempatkan statusnya seperti menteri sehingga seluruh larangan rangkap jabatan yang diatur dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara berlaku pula bagi wakil menteri. Namun, ketika itu, MK memutuskan permohonan tidak dapat diterima karena para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.
Menurut Juhaidy, norma tersebut harus hidup dalam undang-undang agar mengikat bagi seluruh pihak. Atas dasar itu, melalui permohonan yang teregister dengan Nomor 21/PUU-XXIII/2025 ini, dia meminta MK menambahkan frasa "wakil menteri" setelah kata "menteri" dalam Pasal 23 UU Kementerian Negara.
Sidang pemeriksaan pendahuluan Perkara Nomor 21/PUU-XXIII/2025 telah digelar di MK, Jakarta, Selasa (22/4). Pemohon diberikan waktu 14 hari jika ingin memperbaiki permohonannya sampai dengan 5 Mei 2025.