c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

NASIONAL

24 September 2025

12:02 WIB

FSGI Desak Pemerintah Evaluasi Total MBG

Evaluasi total program MBG dan harus melibatkan sekolah, pendidik, peserta didik dan orangtuas siswa untuk menyerap masukan berdasarkan kondisi lapangan. 

Penulis: Ananda Putri Upi Mawardi

Editor: Leo Wisnu Susapto

<p>FSGI Desak Pemerintah Evaluasi Total MBG</p>
<p>FSGI Desak Pemerintah Evaluasi Total MBG</p>

Petugas Dinkes dan orang tua siswa saat di kantor kecamatan Cipongkor sebagai posko penanganan keracunan MBG Foto: Rahmat/RRI.

JAKARTA - Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendesak pemerintah untuk mengevaluasi total program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan melibatkan pihak-pihak yang terdampak. Selama evaluasi dilaksanakan, pemerintah dinilai perlu menghentikan sementara program MBG.

"FSGI mendesak pemerintah untuk mengevaluasi total program MBG dengan melibatkan sekolah, pendidik, peserta didik, dan orangtua peserta didik agar mendapatkan masukan berdasarkan kondisi lapangan," jelas Ketua Umum FSGI, Fahmi Hatib, melalui keterangan tertulis, Selasa (23/9) malam.

Dia melanjutkan, MBG tidak disertai perencanaan yang jelas dan terukur, sehingga dalam pelaksanaannya menimbulkan banyak masalah. Ini mencakup keracunan MBG dengan korban hampir 6.000 peserta didik, makanan berbelatung, makanan tak layak gizi, hingga potensi korupsi dan dugaan konflik kepentingan sebagian anggota DPR/DPRD. 

FSGI juga mendata kasus MBG bermasalah melalui jaringan FSGI di 14 provinsi. Hasilnya, setiap daerah dan setiap sekolah mengalami masalah yang beragam.

Contohnya, Kabupaten Garut mengalami kasus keracunan massal MBG dengan jumlah korban tertinggi dibandingkan kasus-kasus sebelumnya di daerah lain, yaitu 657 korban. Mereka terdiri dari pelajar SMP, SMA dan MA. Jika mengacu pada jumlah korban menurut rilis pemerintah yaitu 5.360 korban, maka korban di Garut mencapai 12% dari total korban.

Baca juga: JPPI Temukan 6.452 Kasus Keracunan MBG    

Fahmi menyampaikan, MBG juga memberikan risiko kesehatan dan ekonomi kepada guru maupun sekolah. Contoh kasusnya, guru di Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, diminta mencicipi MBG sebelum diberikan ke siswa. Hal ini untuk mencegah keracunan pada anak, namun menimbulkan risiko kesehatan pada guru.

Lalu, di Ngawi, Jawa Timur, sekolah diminta ganti rugi ketika ada wadah makan MBG yang rusak atau hilang. Sekolah diwajibkan mengganti sebesar Rp80.000, padahal harga jual wadah makan serupa di platform daring hanya sekitar Rp40.000.

Di beberapa kota besar termasuk Jakarta, FSGI belum menemukan kasus keracunan. Namun, setiap harinya terdapat makanan yang terbuang karena anak tidak mau mengonsumsi MBG. Kalau pun dikonsumsi, mereka hanya mengambil buah atau lauknya saja. Ini membuat banyak guru mengaku setiap hari harus mengonsumsi MBG agar tidak terbuang.

Selain itu, Fahmi menyoroti adanya anggaran MBG 2025 yang belum terserap optimal. Dia pun mendorong Menteri Keuangan (Menkeu), Purbaya Sadewa, untuk mengalihkan anggaran MBG yang tidak terserap itu ke sektor pendidikan.

Dia menjelaskan, pengalihan anggaran dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan guru. Khususnya, tunjangan bagi guru honorer dan tunjangan profesi bagi guru-guru yang sudah memperoleh sertifikat pendidik.

Selain itu, anggaran bisa digunakan untuk meningkatkan kompetensi guru melalui berbagai pelatihan. Terlebih, pada tahun ini pelatihan pembelajaran mendalam untuk kepala sekolah dan guru sasaran ditanggung oleh sekolah masing-masing menggunakan dana BOS. Hal ini terasa memberatkan bagi sekolah tertentu.

"Anggaran tidak hanya untuk pelatihan pembelajaran mendalam, tetapi juga untuk pelatihan-pelatihan bagi guru mata pelajaran," pungkas Fahmi.

Pengalihan Anggaran MBG

Sementara, JPPI meminta, agar lebih dari separuh anggaran program MBG direalokasikan ke sektor pendidikan. Sebelumnya, DPR mengesahkan RAPBN 2026 pada Selasa (23/9). Di dalamnya, anggaran untuk MBG ditetapkan sebesar Rp335 triliun, di mana sebanyak Rp223 triliun di antaranya diambil dari pos pendidikan.

"Realokasi kembali Rp223 triliun untuk kepentingan esensial pendidikan, peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru, infrastruktur sekolah, serta akses pendidikan tanpa dipungut biaya," tegas Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, melalui keterangan tertulis, Rabu (24/9).

Dia menjelaskan, anggaran MBG yang diambil dari anggaran pendidikan merupakan bentuk pengkhianatan UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 mengamanatkan minimal 20% APBN dialokasikan untuk pendidikan. Anggaran pendidikan ini harus digunakan murni untuk kebutuhan dasar pendidikan, bukan untuk program makan.

"Setelah dipangkas, anggaran pendidikan tinggal 14% dari total APBN, jauh di bawah amanat konstitusi 20%," tambah Ubaid.

Menurut dia, mengambil anggaran MBG dari pos pendidikan berarti menyingkirkan kebutuhan dasar pendidikan yang hingga kini belum terpenuhi. Misalnya, penanganan bangunan sekolah dasar yang rusak, jumlah sekolah menengah yang sangat kurang, minimnya sarana penunjang sekolah, dan sertifikasi serta peningkatan kesejahteraan jutaan guru.

Ubaid juga berkata, alokasi anggaran pendidikan untuk MBG membuat kenaikan anggaran pendidikan 2026 menjadi Rp 757,8 triliun semu belaka. Sebab, kenaikan anggaran pendidikan tidak digunakan untuk menjamin dan melindungi hak anak atas pendidikan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar