23 April 2025
20:18 WIB
Direktur JAKTV Tersangka, Kejagung Diminta Berkoordinasi Dengan Dewan Pers
Penggunaan konten media sebagai alat bukti pidana perlu melibatkan Dewan Pers untuk memberikan penilaian
Penulis: Aldiansyah Nurrahman
Editor: Nofanolo Zagoto
Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu (kanan depan), bersama Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung, Harli Siregar (kiri depan) di Gedung Utama Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (22/4/2025). (ANTARA/Nadia Putri Rahmani)
JAKARTA - Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) berkoordinasi dengan Dewan Pers terkait seluruh konten media yang menjadi alat bukti penetapan tersangka perintangan penyidikan atau obstruction of justice. Hal ini disampaikan merespons penetapan Direktur Pemberitaan Jak TV, Tian Bahtiar, sebagai tersangka.
Koordinator KKJ Erick Tanjung mengatakan, penggunaan konten media sebagai alat bukti pidana perlu melibatkan Dewan Pers untuk memberikan penilaian.
“Pengabaian atas mekanisme penilaian etik akan berpotensi mengafirmasi indikasi praktik kriminalisasi terhadap ekosistem kebebasan berekspresi dan kemerdekaan pers,” kata Erick dalam keterangannya, Rabu (23/4).
Erick menjelaskan, Dewan Pers nantinya akan mengeluarkan penilaian terhadap muatan keseluruhan konten media pemberitaan, dan dapat memberikan petunjuk kepada aparat penegak hukum perihal indikasi pelanggaran etik atau pelanggaran pidana dalam proses dan muatan penyusunan berita yang disita sebagai alat bukti tersebut.
Sebagaimana diketahui, Kejagung menjadikan sejumlah topik pemberitaan yang dipublikasikan perusahaan media Jak TV sebagai alat bukti yang disita. Sejumlah konten publikasi pemberitaan tersebut telah dihapus dan sudah tidak dapat diakses oleh publik.
Erick mengatakan, publikasi pemberitaan media yang dinilai digunakan oleh aparat penegak hukum sebagai alat untuk merintangi dan menghalangi proses hukum tersebut menimbulkan kekhawatiran bagi para jurnalis, perusahaan media serta kelompok masyarakat sipil lainnya.
Penghalangan proses hukum, ia tegaskan, harus merupakan tindakan secara langsung/material menghalangi penyidikan, penuntutan dan persidangan. Pemberitaan, opini publik, penyampaian pendapat di muka umum jelas bukanlah tindakan perintangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Ada Kesewenang-wenangan
Fokus atau tidaknya konsentrasi penyidik akibat membaca pemberitaan media dan penilaian masyarakat dalam kinerja penanganan perkara jelas tidak berhubungan dengan penyidikan dan penuntutan, juga tidak menghalangi penyidikan dan penuntutan.
“Kami melihat terdapat kesewenang-wenangan kekuasaan di sini,” jelasnya menegaskan.
Ia mengatakan, konten publikasi yang dimaksud sebagai alat bukti harus bisa diakses publik dan pihak-pihak terkait, seperti Dewan Pers, agar dapat dinilai apakah konten tersebut melanggar kode etik jurnalistik atau kritik terhadap proses hukum yang sedang berlangsung.
Lebih lanjut, Erick menambahkan penggunaan sejumlah pasal seperti Pasal 21 UU Tipikor harus digunakan secara hati-hati karena berpotensi digunakan sebagai pasal karet terhadap kritik yang seringkali disampaikan publik pada proses penegakan hukum pada kasus tipikor.
Penggunaan Pasal 21 UU Tipikor secara serampangan juga akan mengganggu kebebasan berekspresi dan menyampaikan pendapat yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU lainnya.
Baca juga: Kejagung Tahan Direktur Pemberitaan JAKTV
Menurutnya, tindakan aparat penegak hukum harus dipandang sebagai tindakan pengawasan yang wajar untuk dijalankan oleh masyarakat sipil, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 dan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia sehingga tidak dapat dikenakan delik pidana apapun.
Selain itu, UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers memiliki mekanisme penyelesaian sengketa pers yang harus dilakukan melalui Dewan Pers. Ketentuan itu bahkan juga tertuang dalam nota kesepahaman (MoU) antara Dewan Pers dengan Kejaksaan RI nomor 01/DP/MoU/II/2019 dan KEP.040/A/JA/02/2019.
Di mana ketentuan MoU tersebut memandatkan institusi kejaksaan untuk terlebih dahulu berkoordinasi dan melakukan konsultasi perihal substansi pemberitaan yang digunakan oleh Kejagung sebagai alat bukti utama dalam indikasi tindak pidana obstruction of justice.
Oleh sebab itu, KKJ mendorong Kejagung untuk meninjau ulang penggunaan delik pidana obstruction of justice dan membuka akses atau menjelaskan substansi konten yang dijadikan alat bukti, agar publik dapat menilai apakah konten tersebut memenuhi unsur pidana atau sekadar kritik terhadap proses hukum.
Selain itu, mendesak Dewan Pers segera melakukan pemeriksaan etik terhadap oknum jurnalis yang diduga melakukan pelanggaran, termasuk menelusuri secara menyeluruh karya jurnalistik yang telah dipublikasikan oleh yang bersangkutan.
“Langkah ini penting agar publik mendapatkan kejelasan dan keadilan, serta untuk memastikan bahwa karya jurnalistik yang beredar benar-benar memenuhi prinsip dasar jurnalisme yang beretika, akurat, dan berpihak pada kepentingan publik,” jelasnya.