01 Oktober 2025
14:06 WIB
BNPT Sebut Ada 13 Anak Terhubung Jaringan Teroris Karena Game Online
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengingatkan masyarakat agar mewaspadai radikalisasi yang kini menyusup melalui game online
Editor: Nofanolo Zagoto
Ilustrasi anak bermain game online. Shutterstock/Din Mohd Yaman
JAKARTA - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengingatkan masyarakat agar mewaspadai radikalisasi yang kini menyusup melalui dunia gim daring (game online).
Kepala BNPT Komisaris Jenderal Polisi Eddy Hartono mengatakan, fenomena tersebut semakin mengkhawatirkan, lantaran menyasar anak-anak dan remaja, kelompok usia yang paling rentan terhadap paparan ideologi ekstrem.
"Sedikitnya 13 anak dari berbagai daerah di Indonesia telah terhubung melalui permainan daring Roblox, yang kemudian menjadi pintu masuk bagi jaringan simpatisan teroris," ucap Komjen Pol. Eddy, saat mengikuti Rapat Koordinasi Lintas Kementerian dan Lembaga Dalam Rangka Membahas Upaya Pencegahan Radikalisasi di Dunia Maya di Jakarta, seperti dilansir Antara, Rabu (30/9).
Dari ruang permainan itu, lanjut dia, interaksi bergeser ke platform komunikasi tertutup, seperti Telegram dan WhatsApp. Di situ proses indoktrinasi lebih intens berlangsung.
Ia menilai hal tersebut merupakan pola rekrutmen baru, di mana anak-anak tidak lagi hanya menjadi target propaganda di media sosial, tetapi juga dalam gim daring yang mereka mainkan sehari-hari. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi semua pihak.
Eddy mengungkapkan, fenomena serupa juga terjadi di berbagai negara. Pada 2024, seorang remaja 16 tahun di Singapura ditangkap karena membuat simulasi zona militer Afghanistan di Roblox.
Permainan itu menarik banyak pengikut, sebelum kemudian dipindahkan ke grup tertutup untuk penyebaran ideologi radikal.
Di Amerika Serikat dan Jerman, sambung dia, gim daring juga dipakai untuk mengangkat isu kebencian, termasuk narasi Nazi, guna melawan pemerintah dan aparat.
Dia pun berpendapat pola itu selaras dengan peringatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa ancaman terorisme global kini semakin adaptif.
"Meski pengaruh Al-Qaeda dan ISIS di Asia Tenggara menurun, faktor lokal seperti ketidakadilan sosial dan isu politik tetap memicu kerentanan radikalisasi," tuturnya.
Selain itu, penggunaan teknologi kecerdasan buatan (AI) untuk membuat konten propaganda disebutnya memperparah situasi.
Baca juga: Kecanduan Game Online Berpotensi Bentuk Anak Jadi Agresif
Menurut dia, konten buatan mesin yang sulit dibedakan dari asli berpotensi menyesatkan, terutama bila terus diulang dan dianggap sebagai kebenaran.
Oleh karenanya, BNPT mendorong koordinasi lintas kementerian/lembaga untuk memperkuat literasi digital, meningkatkan pengawasan ruang siber, serta memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak dan remaja.
“Kita semua, terutama para orang tua, harus mewaspadai ruang baru radikalisasi ini. Jangan sampai anak-anak kita justru belajar kebencian lewat permainan,” ungkap Eddy.
Pola Perekrutan Berubah
Direktur Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 Antiteror Polri Brigadir Jenderal Polisi Arif Makhfudiharto, pada kesempatan yang sama, menyambut baik inisiatif BNPT untuk memperkuat sinergi antarkementerian/lembaga, dalam menghadapi ancaman radikalisasi di dunia maya.
“Kolaborasi adalah kunci agar upaya pencegahan dan mitigasi radikalisasi di ruang digital bisa berjalan lebih efektif,” ucap Brigjen Pol. Arif.
Ia mengungkapkan ancaman radikalisasi di dunia maya kini tidak lagi bersifat lokal, melainkan sudah menjadi persoalan global.
Dirinya juga menyebut terjadi pergeseran signifikan dalam pola perekrutan, penyebaran ideologi, hingga tahapan aksi terorisme.
Transformasi tersebut menurutnya tampak jelas dalam proses tahapan pelaku teror. Jika sebelumnya perekrutan dimulai dari tatap muka melalui penyebaran ideologi, baiat, pelatihan, hingga eksekusi, kini seluruh proses itu dapat dilakukan secara daring.
Bahkan, lanjut dia, baiat dan latihan persiapan (idad) telah berpindah ke ruang digital. Situasi tersebut pun semakin berbahaya karena menyasar kelompok rentan, terutama anak-anak dan remaja.
“Ketika seorang anak memiliki permasalahan pribadi, mereka bisa lebih mudah terjerumus dalam jejaring radikal melalui dunia maya. Ini masalah serius yang perlu kita tangani bersama,” ujarnya.