07 Juli 2023
19:01 WIB
JAKARTA - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan, kecanduan bermain game online berpotensi membentuk kepribadian anak menjadi lebih agresif dan individualis.
“Game sekarang itu menjadikan anak lebih individualis dan agresif. Ini yang seringkali orang tua tidak sadar,” kata Asisten Deputi Bidang Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan KemenPPPA Amurwani Dwi Lestariningsih dalam Media Talk di Jakarta, Jumat (7/7).
Amurwani menjelaskan, perilaku anak yang melebihi batas dan umur bisa tercetus dari kebiasaannya memainkan game online yang mengandung kekerasan.
"Belakangan ini pun terjadi berbagai kasus yang dilakukan anak di bawah umur seperti seorang anak berinisial R berumur 13 tahun yang berhadapan dengan hukum karena membakar gedung sekolahnya," tuturnya.
Pembakaran oleh anak berinisial R ini dilakukan, akibat ia sering menjadi korban perundungan dari teman-teman hingga guru-gurunya di sekolah.
“Kalau kami melihat, itu dari pola asuh anak. Proses imitasi. Dia banyak melihat dan bermain game. Saya kalau melihat anak saya main game itu khawatir,” kata Amurwani.
Baca juga: Pilihan Games Seru Untuk Mengisi Libur Sekolah
Ia menjelaskan, banyak orang tua yang tidak sadar, game yang dimainkan oleh anak-anak mereka mengandung visual yang tidak sesuai dengan umur. Sehingga anak tersebut akan menirunya ketika ia sedang dirundung masalah.
Oleh sebab itu, ia menegaskan sudah seharusnya orang tua menerapkan aturan main dalam pola asuh dan sistem nilai dalam keluarganya. Baik dari sisi jam bermain hingga jenis permainan kepada anak-anak.
Ia menuturkan, harus ada nilai-nilai yang disampaikan secara langsung kepada anak. Seperti permainan yang baik dan yang tidak serta boleh dimainkan dan tidak boleh dimainkan.
“Harus jelas. Jangan dilarang main game tetapi dikasih gawai bahkan bapak ibunya sibuk main gawai di depan anaknya,” ujar Amurwani.
Ia menambahkan, orang tua harus memberikan kesejahteraan bagi anaknya yang tidak hanya berkaitan dengan makanan, pakaian, dan rumah, tetapi juga rasa aman, bahagia, dan nyaman bagi anak.
“Bahagia anak itu ada yang diberi dongeng saja sudah senang sekali, dipeluk sudah senang, sehingga perhatian itu menjadi hal penting dalam pola asuh,” serunya.

| Dua orang anak sedang bermain gim daring atau game online di ponsel. Shutterstock/Gatot Adri |
Sebelumnya, Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Novi Poespita Candra menyampaikan, para orang tua disarankan untuk menjalin komunikasi kepada putra-putrinya untuk mencegah kecanduan gim atau gawai.
"Perlu dialog intens dengan anak, apa yang mereka dapatkan saat main game? Adakah pengaruh positif dan negatif yang dirasakan mereka pada tubuhnya dan kehidupannya?," kata Novi beberapa waktu lalu.
Novi menjelaskan, gawai dan gim saat ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan masyarakat, khususnya anak-anak. Namun demikian, diperlukan batasan-batasan terkait durasi penggunaan, pemilihan konten, maupun jenis-jenis permainan yang tepat untuk anak-anak.
Hal ini bertujuan agar kehidupan anak-anak dapat seimbang, antara kegiatan sosial dan juga bermain gim. Orang tua juga disarankan untuk melatih anak agar bertanggung jawab pada kegiatannya sehari-hari.
Baca juga: Google Play Games Untuk PC Hadir Di Indonesia
"Nah, dialog-dialog serta kesepakatan ini yang akan menciptakan kesadaran dan manajemen diri dalam penggunaan gadget yang tepat," ujarnya.
Lebih lanjut Novi mengungkapkan, gim di gawai bisa memunculkan hormon kebahagiaan, antara lain yaitu Dopamine, Oksitosin, Serotonin, hingga Endorphin. Secara umum, hormon-hormon tersebut memunculkan perasaan bahagia dan senang setelah melakukan aktivitas tertentu, khususnya gim.
Hormon kebahagiaan ini menyebabkan tubuh seseorang secara alami menjadi ingin bermain gim secara terus-menerus. Ia menambahkan, anak yang terlampau lama bermain gim berpotensi mengalami kecanduan.
Candu akibat gim di gawai ini apabila tidak disadari atau ditangani dengan serius, maka dapat menyebabkan terganggunya kesehatan mental, yakni kurangnya kemampuan bersosialisasi, stres, kelelahan kronis, apatisme, hingga rendahnya motivasi untuk melakukan hal lain. Selain itu, kesehatan fisik anak-anak pada masa pertumbuhan juga akan terganggu karena kurang gerak, sakit mata, hingga keluhan sakit di persendian.
"Hormon kebahagiaan saat bermain game dapat dimunculkan oleh kegiatan lain. Yang terpenting adalah membangun kesadaran diri dan manajemen diri," ucap Novi Poespita.