17 Oktober 2025
16:53 WIB
Tubuh Merespon Stres Seperti Lampu Lalu Lintas
Polyvagal Theory mendefinisikan sistem respon tubuh terhadap stres seperi sistem lampu lalu lintas. Ada fase 'red light' hingga 'green light' yang masing-masing merespons stres dalam tingkat berbeda.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Andesta Herli Wijaya
Rahne Putri, Wellness Practitioner menjelaskan tentang Polyvagal Theory. Dok: Validnews/ Njenissa.
JAKARTA - Di tengah hiruk pikuk jalanan kota besar seperti Jakarta, mudah bagi siapa pun untuk merasa tegang, cemas, bahkan kehilangan kendali atas emosi. Kondisi lalu lintas yang padat, suara klakson bersahutan, serta tekanan waktu yang terus menghantui dapat memicu respons stres tanpa disadari.
Di sinilah pentingnya memahami bagaimana tubuh dan sistem saraf bekerja, salah satunya melalui pendekatan yang dikenal sebagai 'Polyvagal Theory'. Teori ini dikembangkan oleh Dr. Stephen Porges, seorang ahli saraf dari Amerika Serikat yang menyebut sistem saraf otonom manusia memiliki tiga respons utama terhadap situasi di sekitar kita.
Respons itu, secara sederhana, bisa diibaratkan seperti lampu lalu lintas yakni merah, oranye, dan hijau.
Red Light, Saat Tubuh Membeku
Wellness Practitioner Rahne Putri menjelaskan, pada fase red light, tubuh berada dalam kondisi shutdown atau pembekuan total. Ini adalah mode bertahan hidup ketika seseorang merasa tidak berdaya, takut, atau menghadapi trauma. Dalam situasi ini, tubuh dan pikiran bisa terasa kosong, tapi sulit sekali untuk merasa tenang.
Fase ini mungkin terasa menyebalkan. Namun dengan fase merah, tubuh sebenarnya sedang berusaha melindungi diri Anda dari rasa sakit atau ancaman.
"Itu sebabnya, ketika seseorang sedang panik atau sangat cemas, menyuruhnya untuk tenang justru tidak membantu. Yang dibutuhkan adalah ruang aman untuk perlahan mengenali sensasi tubuhnya kembali," ujar Rahne di Jakarta baru-baru ini.
Orange Light, Saat Tubuh Bersiap Melawan
Ia menambahkan, fase orange light terjadi ketika tubuh masuk ke mode 'fight or flight', melawan atau melarikan diri. Di saat ini, detak jantung akan meningkat, otot menegang, dan pikiran menjadi lebih waspada.
Inilah saat di mana seseorang mudah tersulut emosi seperti marah di jalan, membunyikan klakson tanpa sadar, atau merasa semua orang menghalangi jalan kita. Tubuh sedang bekerja keras di fase ini.
"Ia tidak jahat, hanya berusaha melindungi kita dari situasi yang dianggap berbahaya. Tapi jika fase ini berlangsung terlalu lama, kita bisa kelelahan secara fisik dan mental," ucapnya.
Untuk itu, Rahne menyarankan agar seseorang belajar membaca tanda-tanda tubuh seperti pernapasan yang pendek, bahu terasa kaku, atau jantung berdetak cepat. Seseorang mungkin tak segera menyadari kemunculan fase ini, namun begitu sadar, segeralh mulai memperlambat napas.
"Tarik nafas perlahan, hembuskan dengan lembut. Sadari bahwa tubuh kita sedang butuh tenang, bukan perintah untuk ‘cepat-cepat’," sebutnya.
Baca juga: Tenang Di Tengah Macet Ibu Kota, Begini Cara Hadapi Stres Di Jalan
Green Light, Saat Tubuh Merasa Aman
Fase green light adalah kondisi ideal ketika tubuh dan pikiran merasa aman, rileks, dan terhubung dengan lingkungan sekitar. Dalam fase ini, seseorang mampu berpikir jernih, mengambil keputusan dengan tenang, dan merasakan hidup secara lebih penuh.
Namun, untuk sampai ke green light, dibutuhkan kesadaran napas dan penerimaan terhadap momen yang sedang terjadi.
"Coba rasakan setiap tarikan dan hembusan napas. Perhatikan bagaimana udara masuk dan keluar dari tubuh. Setiap detik itu berharga. Setiap momen, sekecil apa pun, adalah kesempatan untuk kembali hadir pada diri sendiri," tutur Rahne.
Ia menambahkan, dengan perspektif yang lebih luas, bahkan kemacetan pun bisa dilihat dari sisi positif. Lihatlah jalanan bukan sekadar penghalang, tapi pintu rezeki, ruang pertemuan, dan kesempatan untuk bersyukur.
"Saat kita mampu melihatnya begitu, dentum emosi pun melambat, dan dada terasa lebih lega," tegasnya.
Polyvagal theory mengajarkan bahwa ketenangan bukanlah kondisi yang datang tiba-tiba, melainkan hasil dari kesadaran tubuh yang terlatih. Dengan mengenali lampu lalu lintas dalam diri seseorang bisa memahami apa yang sedang terjadi dan memilih cara terbaik untuk meresponsnya.
"Tubuh kita selalu berbicara, hanya saja kita sering tak sempat mendengarnya. Saat kita mau berhenti sejenak, menarik napas, dan kembali menyadari keberadaan diri, di situlah ketenangan sebenarnya mulai tumbuh," jelasnya.