18 Oktober 2025
17:13 WIB
Tahukah Kamu? Sistem Imun Siaga Di Tengah Gelombang Cuaca Panas
Tubuh selalu bereaksi terhadap lingkungan. Menurut studi, cuaca panas memicu sistem imun bekerja lebih keras, seolah tubuh sedang bersiap melawan ancaman, sama siaganya dengan saat tubuh terinfeksi.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Andesta Herli Wijaya
Pejalan kaki melindungi wajah mereka dengan kardus bekas untuk menghindari terik matahari. Shutterst ock/Toto Santiko Budi.
JAKARTA - Indonesia kini tengah memasuki periode musim panas yang terasa lebih panjang dari biasanya. Sekalipun hujan kadang turun, hawa panas tetap terasa menyengat di banyak daerah.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut kondisi ini akan bertahan setidaknya hingga akhir Oktober. Fenomena yang terjadi saat ini merupakan bagian dari masa transisi atau pancaroba.
Akibatnya, cuaca panas terasa menyengat dan berpotensi memengaruhi kemampuan sistem imun dalam melawan serangan mikroba dan menjaga tubuh tetap sehat. Lantas, bagaimana cuaca panas dapat melemahkan sistem imun?
Melansir laman Scientific American, sekelompok ilmuwan menemukan kaitan menarik antara paparan panas dan sistem kekebalan tubuh manusia. Studi bertajuk "Hubungan antara Paparan Panas Singkat di Luar Ruangan dengan Respons Kekebalan Tubuh dan Peradangan" ini merupakan Abstract P297 yang dipresentasikan dalam konferensi American Heart Association (AHA) di Chicago.
Dalam penelitian tersebut, para ilmuwan mengambil sampel darah dari 624 individu di Louisville, Kentucky, selama musim panas tahun 2018 dan 2019, ketika suhu udara berfluktuasi. Rata-rata suhu saat pengambilan sampel tercatat sekitar 24 derajat Celsius, dengan kisaran antara 21 hingga 27 derajat.
Menariknya, meski suhu tersebut tergolong sedang, para peneliti menemukan adanya perubahan signifikan pada molekul kekebalan tubuh yang berperan sebagai penanda peradangan. Hasil ini mengindikasikan bahwa bahkan paparan panas ringan pun dapat memicu respons biologis tertentu, membuat sistem imun bekerja lebih keras dari biasanya.
Temuan awal ini memberi sinyal penting bahwa perubahan iklim dan peningkatan suhu global berdampak langsung terhadap cara tubuh manusia mempertahankan diri dari ancaman penyakit. Hasil ini menunjukkan bahwa bahkan paparan panas ringan sekalipun dapat memicu sistem imun bekerja lebih keras, seolah tubuh sedang bersiap melawan ancaman.
Temuan tersebut membuat para ilmuwan mempertanyakan dampak jangka panjang dari kenaikan suhu global terhadap fungsi imun manusia. Penelitian itu menemukan bahwa suhu tinggi tampaknya membangkitkan pasukan pertama pada sistem kekebalan yang biasanya aktif saat tubuh menghadapi infeksi.
Zat yang bersiaga di antaranya adalah protein pengirim sinyal yang disebut sitokin dan berbagai jenis sel darah putih, seperti sel T pembunuh alami (natural killer T cells) serta monosit, sel yang berfungsi membersihkan sisa-sisa patogen. Kenaikan jumlah sel-sel tersebut merespon adanya peradangan, yakni reaksi normal tubuh untuk melindungi diri dari ancaman luar. Perubahan pada sistem imun adaptif, bekerja secara spesifik terhadap patogen tertentu.
Baca juga: Cuaca Panas Ekstrem Percepat Penuaan Biologis
Namun, jika kondisi peradangan terjadi terus-menerus, tubuh juga akan tumbang, dan muncul masalah kesehatan.
Tanda-tanda peradangan yang muncul saat suhu meningkat bisa menurunkan kesehatan seseorang jika terjadi berulang kali. Misalnya, monosit yang terlalu aktif dapat berkontribusi pada pembentukan plak di dinding pembuluh darah yang lama-kelamaan meningkatkan risiko serangan jantung dan stroke.
Dari penelitian tersebut, peneliti menemukan kalau peserta penelitian yang darahnya diambil pada hari-hari bersuhu tinggi memiliki jumlah sel B yang lebih rendah. Sel B ini berperan penting dalam memproduksi antibodi dan mengingat infeksi sebelumnya agar tubuh bisa lebih cepat bereaksi saat terpapar lagi.
Dampak panas terhadap kemampuan tubuh melawan penyakit belum sepenuhnya jelas. Jika jumlah sel B dalam darah menurun, tubuh bisa jadi lebih rentan terhadap infeksi.
Namun, rendahnya jumlah sel B dalam darah belum tentu berarti penurunan fungsi imun. Bisa jadi, sel-sel itu justru berpindah ke area strategis seperti limpa atau kelenjar getah bening untuk bersiap menghadapi ancaman.
Baca juga: BMKG Ungkap Penyebab Suhu Panas Jakarta
Panas Ekstrem Tetap Berbahaya
Penelitian ini menyimpulkan kalau paparan panas dalam rentang sedang dapat membantu imun tubuh menjadi lebih kuat. Namun jika paparan panas terlalu tinggi, tubuh menghadapi bahaya lebih besar.
Fenomena ini mirip dengan demam yang merupakan mekanisme alami tubuh untuk membantu sistem imun melawan infeksi. Namun, paparan panas ekstrem dalam waktu lama pada akhirnya tetap menjadi bahaya.
Demam yang terlalu tinggi dapat membebani organ dalam seperti jantung dan paru-paru, sehingga memicu kejang, dan menguras energi tubuh. Panas kronis dari lingkungan pun memiliki efek serupa yakni dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan dan melemahkan sistem kekebalan ketika tubuh mengalihkan energi untuk mendinginkan diri ketimbang melawan infeksi.
Beberapa kelompok masyarakat juga diperkirakan lebih rentan terhadap dampak panas antara lain lansia, penderita penyakit autoimun, serta mereka yang mengonsumsi obat-obatan tertentu yang memengaruhi sistem imun. Selain itu, ketimpangan sosial seperti mereka yang tinggal di daerah padat penduduk, daerah sedikit ruang hijau, dan sulitnya akses pendingin ruangan dapat memperparah efek panas ekstrem.
Salah satu solusi yang diusulkan untuk menghadapi dampak panas ekstrem adalah dengan meningkatkan jumlah ruang hijau dan menanam lebih banyak pepohonan di wilayah perkotaan. Upaya ini terbukti dapat menurunkan suhu lingkungan secara signifikan, menciptakan efek mikroklimat yang lebih sejuk, serta memberikan keteduhan alami bagi warga kota.
Selain membantu menurunkan suhu, keberadaan ruang hijau juga meningkatkan kualitas udara, memperbaiki kesehatan mental, dan menyediakan ruang interaksi sosial yang lebih sehat bagi masyarakat yang hidup di tengah kepadatan kota.