19 Mei 2025
11:48 WIB
Sindrom Patah Hati Lebih Mematikan bagi Pria
Sindrom patah hati atau takotsubo kardiomiopati ditandai kondisi sebagian otot jantung melemah dan membesar, sehingga jantung kesulitan memompa darah dengan baik.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Andesta Herli Wijaya
| Foto Patah hati/Fokus/Pixabay/Jean/Gisa/Riset/15102019 | - |
JAKARTA - Tahukah Anda, patah hati bisa berujung pada gejala medis serius, bahkan kematian? Itu sindrom patah hati atau dalam istilah medis disebut takotsubo kardiomiopati.
Takotsubo kardiomiopati adalah kondisi langka pada jantung yang biasanya dipicu oleh stres emosional atau fisik yang intens. Kondisi ini menyebabkan bagian otot jantung melemah sementara dan membentuk pola menyerupai perangkap gurita atau takotsubo dalam bahasa Jepang.
Melansir laman Healthline, sindrom ini memang lebih sering menyerang perempuan. Namun, studi terbaru yang dipublikasikan di Journal of the American Heart Association pada 14 Mei 2025 mengungkap bahwa dampaknya justru dua kali lebih mematikan bagi pria.
Hal ini menyebabkan kondisi jantung sementara yang dipicu oleh lonjakan hormon stres akibat pengalaman emosional atau fisik sangat intens, seperti kehilangan orang terdekat atau kecelakaan berat. Akibatnya, sebagian otot jantung melemah dan membesar, sehingga jantung kesulitan memompa darah dengan baik.
Studi berdasarkan data Nationwide Inpatient Sample (NIS) di Amerika Serikat mencatat hampir 200.000 kasus takotsubo pada 2016–2020. Sekitar 83% penderitanya adalah perempuan dengan rata-rata usia 67 tahun, sesuai temuan sebelumnya bahwa sindrom ini lebih sering menyerang wanita.
Namun, angka kematian pria akibat kondisi ini justru jauh lebih tinggi. Dalam studi tersebut, tingkat kematian pria yang dirawat akibat takotsubo mencapai 11,2%, sementara pada perempuan hanya 5,5%. Dengan kata lain, pria yang mengalami takotsubo dua kali lebih mungkin meninggal dunia dibandingkan perempuan.
Dr. Mohammad Reza Movahed, peneliti utama dan profesor klinis di Sarver Heart Center, University of Arizona, menyatakan kekhawatirannya terhadap temuan ini..
"Kami terkejut melihat tingkat kematian akibat takotsubo tetap tinggi selama lima tahun studi, tanpa perbaikan signifikan meski ada kemajuan perawatan,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa hal ini menunjukkan perlunya penelitian lebih lanjut untuk menemukan pendekatan terapi yang lebih efektif. Meski penyebab pasti perbedaan angka kematian antar gender belum diketahui secara pasti, para ahli menduga adanya bias dalam pendekatan medis.
"Karena selama ini dianggap sebagai penyakit perempuan, kasus takotsubo pada pria mungkin tidak langsung dikenali atau ditangani secara optimal,” kata Dr. Abha Khandelwal, ahli jantung dari Stanford Medicine.
Ia membandingkan hal ini dengan masa lalu, ketika serangan jantung dianggap sebagai penyakit laki-laki, sehingga perempuan yang datang dengan gejala jantung justru berisiko mendapat penanganan terlambat.
Studi juga menunjukkan bahwa pasien dengan takotsubo sering kali memiliki penyakit jantung lain yang menyertai. Di antaranya gagal jantung kongestif sebanyak 36% kasus, fibrilasi atrium 21%, syok kardiogenik 7%, dan stroke (5%). Angka kematian keseluruhan pasien dengan takotsubo tercatat sebesar 6,58%, jauh lebih tinggi dibandingkan pasien lainnya yang hanya 2,41%.
Mirip Serangan Jantung
Takotsubo sering menyerupai serangan jantung dengan gejala seperti nyeri dada mendadak, sesak napas, jantung berdebar, pusing, hingga keringat dingin. Untuk menegakkan diagnosis, dokter harus menyingkirkan kemungkinan penyumbatan arteri koroner melalui angiogram, lalu menggunakan echocardiogram untuk melihat bentuk dan fungsi bilik jantung kiri.
Meski biasanya dapat sembuh dalam waktu dua bulan dan jarang kambuh, sindrom ini tetap berbahaya. Pasalnya, pemicunya tidak selalu jelas.
Kita belum bisa memprediksi siapa yang akan mengalaminya atau dalam kondisi seperti apa. Bahkan, pada sebagian pasien, tidak ada pemicu emosional atau fisik yang teridentifikasi,” kata Khandelwal.
Ia menambahkan bahwa selama masa krisis emosional atau fisik, jantung bisa dibanjiri oleh hormon stres seperti norepinefrin dan epinefrin yang membuat otot jantung kiri melemah. Kondisi ini disebut juga sebagai stress-induced cardiomyopathy.
Meski masih tergolong langka, takotsubo menyumbang sekitar 2–3% dari total kasus sindrom koroner akut setiap tahun dan angkanya bisa meningkat menjadi 5–6% pada perempuan. Namun, karena sering kali tidak dikenali atau disalahartikan sebagai serangan jantung biasa, jumlah kasus sebenarnya bisa lebih tinggi.
"Peningkatan kesadaran di kalangan dokter bisa jadi berkontribusi pada meningkatnya jumlah diagnosis,” tulis para peneliti dalam laporannya.
Dengan angka kematian yang belum juga membaik, para ahli menekankan pentingnya penelitian lanjutan, serta peningkatan kesadaran di kalangan tenaga kesehatan dan masyarakat umum tentang sindrom yang kerap muncul dari patah hati ini.