c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

03 Juli 2025

14:59 WIB

Sering Terjadi, DNA Tak Sinkron Gagalkan Kehamilan Di Tahap Awal

Studi menyebutkan, replikasi DNA ayah dan ibu tidak berlangsung serempak, dan ketidaksinkronan ini bisa menjadi pemicu ketidakseimbangan yang menggagalkan perkembangan embrio. 

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">Sering Terjadi, DNA Tak Sinkron Gagalkan Kehamilan Di Tahap Awal</p>
<p id="isPasted">Sering Terjadi, DNA Tak Sinkron Gagalkan Kehamilan Di Tahap Awal</p>

Ilustrasi ibu hamil memeriksa kesehatan kandungan. Shutterstock/dok.

JAKARTA - Tahukah Anda bahwa tidak semua embrio yang telah dibuahi akan berkembang menjadi janin? Faktanya, banyak kehamilan berakhir begitu cepat bahkan sebelum sang ibu menyadarinya. Kondisi ini menjadi penyebab umum keguguran dini dan bahkan kegagalan dalam program bayi tabung atau in vitro fertilization (IVF).

Melansir laman Institute of Clinical Medicine dari Universitas Oslo, para ilmuwan dari Centre for Embryology and Healthy Development (CRESCO) tengah berupaya menjawab pertanyaan besar seputar penyebab kegagalan perkembangan embrio di tahap paling awal kehamilan. Dalam sebuah penelitian yang dirilis pada tahun 2024, mereka menemukan temuan menarik yakni DNA dari ayah dan ibu ternyata direplikasi dengan cara yang berbeda dalam embrio.

Perbedaan pola replikasi ini diyakini dapat memengaruhi kelangsungan hidup embrio. Jika proses penyalinan DNA tidak berlangsung secara sinkron, maka embrio bisa mengalami gangguan genetik yang serius dan akhirnya gagal berkembang.

Segalanya bermula dari satu sel. Saat pembuahan terjadi, sel telur dari ibu bertemu dengan sel sperma dari ayah dan membentuk satu sel baru yang disebut zigot. Dari sinilah kehidupan manusia dimulai.

Zigot kemudian mengalami proses pembelahan dari satu sel menjadi dua, empat, delapan, dan seterusnya. Namun, tidak semua zigot mampu bertahan. Bahkan pada pasangan yang tidak memiliki gangguan kesuburan, kemungkinan terjadinya kehamilan dalam satu siklus haid hanya sekitar 20 hingga 25%.

Data dari Institut Kesehatan Masyarakat Norwegia (FHI) menunjukkan bahwa sekitar satu dari delapan kehamilan berakhir dengan keguguran, dan sebagian besar terjadi pada tahap awal, sebelum embrio sempat menempel di dinding rahim. Dalam studi terbaru yang dilakukan menggunakan embrio tikus, tim peneliti dari CRESCO mempelajari bagaimana DNA dari ayah dan ibu disalin atau direplikasi dalam sel-sel embrio awal.

Mereka menemukan bahwa proses ini tidak selalu berjalan mulus dan bisa menyebabkan gangguan serius dalam perkembangan embrio. Risiko keguguran paling tinggi justru terjadi dalam jam atau hari pertama setelah pembuahan.

Menurut Mads Lerdrup, peneliti CRESCO dan dosen di Universitas Kopenhagen, embrio yang gagal berkembang di tahap ini bahkan belum sempat menempel di rahim. Masalah serupa juga bisa terjadi pada embrio hasil IVF.

Salah satu penyebab utamanya adalah kerusakan DNA yang dapat mengakibatkan jumlah kromosom dalam embrio menjadi tidak normal alias terlalu banyak atau terlalu sedikit. Kelainan kromosom semacam ini sangat umum dan menjadi salah satu penyebab utama keguguran dini, meski penyebab dasarnya belum sepenuhnya dipahami.

Setelah pembuahan, sel embrio mulai membelah secara bertahap. Setiap kali membelah, DNA dalam sel harus disalin ulang dengan sangat presisi agar seluruh informasi genetik tetap utuh dan dapat diwariskan dengan benar ke setiap sel baru.

Dalam tubuh manusia, proses pembelahan ini biasanya sangat efisien dan minim kesalahan. Namun, pada tahap awal kehidupan, khususnya dalam pembelahan pertama, proses ini menjadi jauh lebih kompleks.

Hal ini disebabkan oleh sifat DNA dalam sel telur dan sel sperma yang sangat padat dan terspesialisasi. Sebelum dapat digunakan, DNA tersebut harus dibuka kembali dan disiapkan ulang.

Proses transisi besar-besaran ini menciptakan tekanan atau stres genetik yang tinggi dalam sel embrio. Lerdrup menggambarkan fase ini sebagai momen paling kritis dan rentan dalam seluruh siklus kehidupan manusia.

Baca juga: Konsumsi Asam Folat Di Masa Kehamilan, Apa Pentingnya?

Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Communications ini menggunakan teknologi sekuensing canggih untuk menganalisis pola replikasi DNA pada embrio tikus. Jason Alexander Halliwell, penulis utama studi tersebut, menjelaskan bahwa mereka berhasil memetakan urutan bagian DNA dari ayah dan ibu yang disalin lebih dulu dan mana yang belakangan.

Hasilnya mengejutkan. Di beberapa wilayah genom, DNA dari ibu disalin jauh lebih lambat dibanding ayah, sementara di bagian lain, justru sebaliknya. Perbedaan kecepatan ini menunjukkan bahwa replikasi DNA ayah dan ibu tidak berlangsung serempak, dan ketidaksinkronan ini bisa menjadi pemicu ketidakseimbangan yang menggagalkan perkembangan embrio.

Untuk itu, temuan ini membuka jendela baru betapa rapuhnya awal kehidupan. Dengan memahami bagaimana DNA ayah dan ibu bekerja secara berbeda, memberi harapan bahwa suatu hari nanti, kegagalan kehamilan bisa dicegah sejak tahap paling awal.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar