08 Agustus 2025
19:59 WIB
Serba-serbi Di Tengah Meningkatnya Kasus Kanker Endometrium
Kanker endometrium menunjukkan tren yang terus meningkat, seiring dengan bertambahnya jumlah kasus obesitas pada perempuan.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Satrio Wicaksono
Ilustrasi kanker. Shutterstock/Good Mood
JAKARTA - Kanker endometrium kini menjadi salah satu kanker yang paling sering menyerang perempuan. Bahkan, data Globocan 2020 yang dirilis oleh International Agency for Research on Cancer (IARC) menunjukkan, kanker ini menempati urutan ke-6 sebagai kanker paling umum pada perempuan di seluruh dunia, dengan lebih dari 417.000 kasus baru setiap tahunnya.
Sementara itu di Indonesia, meski angkanya masih di bawah kanker payudara dan serviks, tren kasus kanker endometrium terus meningkat. Hal ini seiring bertambahnya kasus obesitas dan perubahan gaya hidup.
Meski teknologi medis semakin maju, kasusnya justru terus meningkat, terutama di kalangan perempuan usia pramenopause di negara maju.
Melansir laman Medical & Life Sciences, berbagai studi epidemiologi dan tinjauan sistematis selama sepuluh tahun terakhir (2014–2024) menunjukkan, sekitar 60% kasus kanker endometrium sebenarnya bisa dicegah. Dari semua faktor yang diteliti, obesitas konsisten muncul sebagai penyumbang risiko terbesar.
Artinya, pola makan dan gaya hidup sehat berperan penting dalam mencegah kanker ini sejak dini. Berbagai pola makan seperti diet mediterania, diet ketogenik, dan diabetes risk reduction riet (DRRD) telah menunjukkan potensi dalam menurunkan risiko kanker endometrium.
Baca juga: Khasiat Konsumsi Dua Apel Per Hari
Namun efektivitasnya sangat bergantung pada kondisi individu seperti berat badan, usia, etnis, dan status sosial. Misalnya, diet tinggi isoflavon kedelai mungkin melindungi perempuan Asia, tapi bisa berisiko pada penyintas kanker atau yang sensitif terhadap hormon.
Gaya hidup aktif juga berperan besar. Aktivitas fisik teratur bisa menurunkan risiko secara signifikan, sedangkan duduk terlalu lama justru meningkatkan risiko. Faktor lain seperti stres, konsumsi alkohol, dan kebiasaan merokok juga ikut memengaruhi, meskipun hubungannya bisa kompleks.
Perlunya Perubahan Gaya Hidup yang Disesuaikan
Bagi perempuan dengan risiko genetik tinggi seperti sindrom Lynch (LS), strategi pencegahan kanker endometrium tidak bisa disamaratakan. Perubahan gaya hidup seperti pola makan sehat dan olahraga memang penting, tapi belum tentu cukup efektif dalam kasus ini.
Menariknya, studi Colorectal Adenoma/Carcinoma Prevention Programme 2 (CAPP2) yang dipublikasikan pada tahun 2011 menunjukkan, konsumsi aspirin dosis tinggi sekitar 600 mg per hari selama minimal dua tahun, secara signifikan menurunkan risiko kanker pada individu dengan sindrom Lynch, termasuk kanker endometrium.
Temuan ini membuka peluang baru bagi pencegahan berbasis intervensi farmakologis, terutama mereka yang secara genetik memang lebih rentan terhadap kanker.
Di sisi lain, para ahli gizi masih berbeda pandangan mengenai pendekatan yang paling efektif. Sebagian berfokus pada nutrisi tunggal seperti omega-3 atau selenium, sementara yang lain lebih menekankan pentingnya pola makan secara keseluruhan.
Saat ini, pendekatan gabungan atau hibrida dianggap paling ideal, yakni dengan menerapkan pola makan sehat secara umum. Kemudian, menyesuaikannya dengan kebutuhan nutrisi spesifik setiap individu, sesuai kondisi tubuh dan gaya hidupnya.
Hal menarik lainnya, intervensi sederhana seperti berjalan kaki ternyata lebih efektif dibanding olahraga berat. Alasannya sederhana karena aktivitas ringan ini lebih mudah dilakukan secara konsisten, sehingga dampaknya bisa bertahan dalam jangka panjang.
Teknologi seperti alat pelacak kebugaran juga menjadi alat bantu yang sangat berguna untuk memantau rutinitas dan menjaga kepatuhan terhadap gaya hidup sehat.
Menuju Pencegahan yang Lebih Personal
Untuk mencegah kanker endometrium secara optimal, perlu dipertimbangkan berbagai faktor mulai dari kondisi metabolik seperti resistensi insulin dan peradangan, hingga pendekatan genetik bagi kelompok berisiko tinggi.
Sayangnya, masih banyak tantangan, seperti keterbatasan riset genomik dan kurangnya akses terhadap alat skrining yang terjangkau. Oleh karena itu, langkah ke depan perlu melibatkan kolaborasi lintas sektor antara peneliti, praktisi kesehatan, pemerintah, dan teknologi.
Riset yang menggabungkan data genetik dan gaya hidup perlu ditingkatkan, sejalan dengan edukasi publik yang mudah diakses. Teknologi digital seperti aplikasi kesehatan dan perangkat wearable juga bisa memainkan peran penting dalam membantu masyarakat memantau kondisi tubuh secara lebih akurat dan mandiri.
Sebab pada akhirnya, pola makan sehat dan gaya hidup aktif memang terbukti menurunkan risiko kanker endometrium. Namun karena setiap individu punya kebutuhan dan risiko yang berbeda, pendekatan dipersonalisasi berdasarkan genetik, metabolik, dan latar belakang budaya tetap menjadi kunci penting untuk masa depan pencegahan.