29 Oktober 2025
12:37 WIB
Riset HP: 89% Pekerja Memandang AI Bisa Jadi Solusi Krisis Dunia Kerja
Riset HP menyatakan banyak pekerja saat ini merasakan ketidakkpuasan dan hampir semuanya percaya AI bisa menjadi solusi untuk meningkatkan kepuasan kerja sekaligus kepuasan hidup secara lebih luas.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi orang bekerja dengan AI. Freepik.
JAKARTA - Riset HP bertajuk Work Relationship Index (WRI) 2025 menyatakan bahwa dunia kerja saat ini mengalami masalah ketidakpuasan kerja. Kondisi ekonomi yang sulit turut memengaruhi tingkat kepuasan pekerja yang mengaku semakin sulit mendapatkan pola hubungan kerja sehat.
HP melaporkan bahwa hanya 28% pekerja kantoran atau yang disebut sebagai knowledge worker) di Indonesia yang merasa memiliki hubungan kerja yang sehat. Angka itu turun 16 poin dibanding tahun sebelumnya, sekaligus menjadi penurunan paling tajam secara global.
Riset Work Relationship Index (WRI) 2025 merupakan riset global yang dari HP untuk memahami bagaimana para pekerja memandang dan merasakan hubungan mereka dengan pekerjaannya. Tahun ini, mereka secara global melibatkan 18.000 responden di 14 negara. Indonesia termasuk salah satu yang menjadi titik survei.
Rendahnya angka hubungan kerja yang sehat tersebut terjadi seiring adanya perubahan besar yang terjadi di dunia kerja. Mulai dari meningkatnya ekspektasi perusahaan, tekanan produktivitas, hingga dinamika kebijakan kembali ke kantor yang membuat keseimbangan hidup-kerja (work life balance) semakin rapuh.
Secara rata-rata, 8 dari 10 karyawan yang disurvei melaporkan mengalami perubahan besar di tempat kerja selama setahun terakhir. Sekitar 32% terdampak langsung oleh kebijakan wajib kembali ke kantor, sementara 37% pekerja di Indonesia merasa perusahaan mereka kini lebih mengutamakan profit dibanding kesejahteraan karyawan.
Di sisi lain, 68% responden menyatakan tuntutan serta ekspektasi terhadap mereka meningkat signifikan. Kombinasi faktor-faktor ini menjadi pemicu utama turunnya tingkat kepuasan kerja dan melemahnya rasa keterhubungan dengan pekerjaan.
Namun di tengah tekanan tersebut, riset HP juga menunjukkan bahwa para pekerja Indonesia tetap menyimpan optimisme tinggi terhadap peran teknologi, terutama kecerdasan buatan (AI). Banyak pekerja percaya kalau AI, dengan beragam kemampuan dan kemudahannya, bisa menjadi solusi untuk memperbaiki kualitas hubungan kerja mereka.
Bukannya takut tergusur AI, menurut data WRI 2025, Sebanyak 89% karyawan di Indonesia justru percaya AI dapat meningkatkan kualitas hidup dan pengalaman kerja mereka. Bahkan, Indonesia menjadi negara dengan tingkat adopsi AI tertinggi di antara 14 negara yang disurvei HP.
Baca juga: Banyak Guru Pakai AI Tapi Tak Waspada Misinformasi
Data menunjukkan, 94% knowledge worker di Indonesia telah menggunakan teknologi AI dalam pekerjaan mereka, dan 50% di antaranya menggunakannya setiap hari. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi teratas secara global dalam penggunaan AI di tempat kerja.
Lebih jauh, karyawan yang dibekali alat dan teknologi yang sesuai terbukti dua kali lebih mungkin memiliki hubungan kerja yang sehat. Peluang itu bahkan meningkat lima kali lipat bila perusahaan secara aktif berinvestasi dalam pengembangan karyawan.
Terlepas angka-angka di atas, perlu diatat bahwa hasil riset HP juga bernuansa bisnis, karena data WRI 2025 dirilis bersamaan dengan pengenalan OneHP, sebuah pendekatan yang menggabungkan perangkat dan layanan berbasis AI untuk karyawan. Layanan terintegrasi ini diumumkan melalui ajang OneHP Day 2025 di Jakarta, Selasa (28/10)/
Melalui ekosistem OneHP, HP menyatukan berbagai lini produknya. Mulai dari PC berbasis AI, perangkat kolaborasi Poly, periferal, hingga layanan keamanan seperti HP Wolf Security. Semuanya untuk menciptakan lingkungan kerja yang aman, kolaboratif, dan berpusat pada manusia.
"Ketika karyawan memiliki pengalaman kerja yang optimal, mereka akan menjadi lebih produktif dan memiliki hubungan yang lebih sehat dengan pekerjaannya," ujar President Director HP Indonesia, Juliana Cen.
HP menilai, masa depan dunia kerja harus dibangun dengan keseimbangan antara teknologi dan kemanusiaan. Dengan pendekatan yang lebih manusiawi dan teknologi yang dirancang untuk memberdayakan, bukan menggantikan, perusahaan dapat membantu karyawan menemukan kembali rasa keterhubungan dan kepuasan dalam bekerja.