c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

29 Juli 2025

18:03 WIB

Putar Lagu Dari DSP Untuk Bisnis F&B, Bagaimana Aturan Royaltinya?

Langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">Putar Lagu Dari DSP Untuk Bisnis F&amp;B, Bagaimana Aturan Royaltinya?</p>
<p id="isPasted">Putar Lagu Dari DSP Untuk Bisnis F&amp;B, Bagaimana Aturan Royaltinya?</p>

Ilustrasi kafe memutarkan musik. Sumber foto: DJKI.

JAKARTA - Belakangan muncul lagi kegaduhan soal royalti penggunaan musik atau lagu. Dipicu  kasus hukum yang menjerat merek food & beverage (F&B) Mie Gacoan yang disangkakan melanggar hak cipta karena tak menjalankan kewajiban pembayaran royalti, perdebatan hukum royalti musik pun kembali mengemuka di tataran publik.

Sejumlah kalangan mempertanyakan mengapa memutar lagu via digital service provider (DSP) di lokasi usaha juga kena wajib royalti, padahal sudah berlangganan dan membayar ke penyedia layanan? Ditambah lagi, pihak DSP pun telah diwajibkan menyalurkan royalti kepada pemilik hak cipta.

Terkait itu, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kementerian Hukum menegaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memutar musik di ruang publik termasuk restoran, kafe, toko, pusat kebugaran, dan hotel wajib membayar royalti kepada pencipta dan pemilik hak terkait. Hal ini berlaku meskipun pelaku usaha telah berlangganan layanan seperti Spotify, YouTube Premium, Apple Music, atau layanan streaming lainnya.

Direktur Hak Cipta dan Desain Industri, Agung Damarsasongko menjelaskan bahwa langganan pribadi seperti Spotify dan YouTube Premium tidak mencakup hak pemutaran musik untuk tujuan komersial di ruang publik.

"Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial, sehingga dibutuhkan lisensi tambahan melalui mekanisme yang sah," ungkap Agung dalam keterangan pers, dikutip Selasa (29/7).

Pembayaran royalti dilakukan melalui Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) sesuai amanat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu dan/atau Musik. LMKN bertugas menghimpun dan mendistribusikan royalti kepada para pencipta dan pemilik hak terkait.

Skema ini memastikan transparansi dan keadilan bagi seluruh pelaku industri musik, serta memudahkan pelaku usaha karena tidak perlu mengurus lisensi satu per satu dari setiap pencipta lagu. Hal ini memberikan keseimbangan agar pencipta atau pemilik hak terkait musik/lagu mendapatkan hak ekonominya serta pengguna merasa nyaman dalam berusaha atau menggunakan lagu.

Agung juga menanggapi kekhawatiran sebagian pelaku usaha yang menyatakan akan memblokir pemutaran lagu-lagu Indonesia demi menghindari pembayaran royalti.

"Itu justru akan melemahkan ekosistem musik lokal dan tidak memberikan apresiasi kepada pencipta/pemegang hak cipta. Musik adalah bagian dari identitas budaya. Ketika pelaku usaha enggan memberikan apresiasi yang layak kepada pencipta lagu Indonesia, yang dirugikan bukan hanya seniman, tetapi juga konsumen dan iklim kreatif nasional secara keseluruhan," tegasnya.

Menanggapi alternatif lain seperti pemutaran musik instrumental bebas lisensi atau lagu dari luar negeri, Agung menyampaikan bahwa pelaku usaha tetap perlu berhati-hati, karena baik lagu instrumental maupun lagu-lagu asing, juga tak terlepas dari aturan royalti.

Jika pelaku usaha tidak memiliki anggaran untuk membayar royalti musik, alternatif yang dapat dipilih adalah menggunakan musik bebas lisensi (royalty-free). Skema ini berarti lisensi Creative Commons yang memperbolehkan penggunaan komersial, memutar musik ciptaan sendiri, menggunakan suara alam/ambience, atau bekerja sama langsung dengan musisi independen yang bersedia memberikan izin tanpa biaya.

Agung menambahkan, pelaku usaha perlu mendaftarkan usahanya melalui sistem digital LMKN dan membayar royalti sesuai klasifikasi usaha dan luas ruang pemutaran musik.

Baca juga: Kasus Mie Gacoan, DJKI: Streaming Pribadi Tak Sah untuk Ruang Komersial

DJKI juga memastikan bahwa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) tidak dipukul rata. Terdapat mekanisme keringanan atau pembebasan tarif royalti sesuai ketentuan yang diatur oleh LMKN, berdasarkan ukuran ruang usaha, kapasitas pengunjung, serta tingkat pemanfaatan musik dalam operasional harian.

"Kami mengimbau pelaku UMKM untuk mengajukan permohonan keringanan secara resmi agar mendapatkan perlindungan hukum sekaligus mendukung ekosistem musik nasional," tambahnya.

"Pelindungan hak cipta bukan semata soal kewajiban hukum, tapi bentuk penghargaan nyata terhadap kerja keras para pencipta yang memberi nilai tambah pada pengalaman usaha Anda," tutupnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar