c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

30 Juni 2025

16:06 WIB

Psikolog Ungkap Risiko Belajar Terlalu Pagi Pada Anak

Jam sekolah terlalu pagi berisiko menimbulkan defisit tidur yaitu kondisi kekurangan tidur yang menumpuk dari hari ke hari. Dalam jangka panjang, kondisi itu bisa berkembang menjadi insomnia.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p id="isPasted">Psikolog Ungkap Risiko Belajar Terlalu Pagi Pada Anak</p>
<p id="isPasted">Psikolog Ungkap Risiko Belajar Terlalu Pagi Pada Anak</p>

Seorang ibu mengantar anaknya saat hari pertama masuk sekolah di SD Negeri Sepang Kota Serang, Bante n, Senin (17/7/2023). Antara Foto/Asep Fathulrahman.

JAKARTA - Budaya masyarakat Indonesia memang tak asing dengan aktivitas pagi. Dari berkebun, berbelanja di pasar, hingga mengantar anak sekolah, semuanya dilakukan sejak fajar menyingsing.

Namun, kebiasaan beraktivitas di pagi hari tidak serta-merta berarti otak anak siap menerima pelajaran kompleks pada jam-jam tersebut. Anggia Sari, Psikolog Anak dan Remaja, menekankan pentingnya membedakan antara aktivitas fisik ringan dan beban kognitif yang menuntut konsentrasi tinggi seperti belajar di kelas.

"Anak-anak, terutama yang berada di usia sekolah dasar, sedang berada dalam tahap krusial perkembangan otak dan emosi,” ujar Anggiastri kepada Validnews baru-baru ini.

Salah satu kebutuhan paling dasar dalam masa pertumbuhan ini adalah tidur yang cukup, yakni sekitar 9 hingga 11 jam per malam. Kebutuhan tidur anak jauh lebih besar dibanding orang dewasa dan sangat dipengaruhi oleh ritme sirkadian alami tubuh mereka.

Namun, kebutuhan biologis ini tampaknya bertolak belakang dengan wacana yang belakangan kembali mencuat, yaitu soal jam masuk sekolah yang dimajukan lebih pagi. Salah satunya adalah rencana kebijakan di Provinsi Jawa Barat, di mana pemerintah setempat mencanangkan agar siswa sekolah dasar mulai masuk pukul 06.00 pagi.

Kebijakan ini membawa misi yang tidak main-main, yakni membentuk generasi Pancawaluya generasi yang cageur (sehat), bageur (baik), bener (jujur), pinter (cerdas), dan singer (kreatif). Namun, menurut Anggia, kebijakan ini perlu dikaji lebih dalam, terutama dari sisi kesiapan biologis dan psikologis anak.

"Masuk sekolah pukul enam pagi jelas bukan waktu yang ideal bagi anak usia SD. Otak mereka masih dalam masa pertumbuhan dan sangat membutuhkan waktu tidur yang cukup, sekitar 10 jam per hari," jelasnya.

Jika seorang anak harus bangun pukul 4 pagi agar bisa bersiap sekolah, artinya mereka harus mulai tidur sejak pukul 6 atau 7 malam. Menurutnya, hal ini hampir mustahil dipenuhi secara sosial maupun emosional, apalagi dengan beban aktivitas keluarga dan belajar yang berlangsung hingga sore.

Risiko Defisit Tidur dan Dampaknya

Jam sekolah yang terlalu pagi, jika dipaksakan terus-menerus, berisiko menimbulkan defisit tidur yaitu kondisi kekurangan tidur yang menumpuk dari hari ke hari. Dalam jangka panjang, defisit ini bisa berkembang menjadi gangguan tidur kronis, seperti insomnia atau kesulitan tidur di malam hari.

Secara neurologis, kurang tidur berdampak langsung pada amigdala, bagian otak yang berperan penting dalam pemrosesan dan pengendalian emosi. Anak-anak yang mengalami kekurangan tidur akan lebih rentan terhadap berbagai gangguan emosional, seperti mudah marah, rentan mengalami kecemasan dan depresi, sulit mengatur emosi negatif, hingga lebih impulsif dalam bersikap dan mengambil keputusan.

"Semua itu tentu akan memengaruhi kemampuan anak dalam belajar, membentuk relasi sosial, hingga berdampak pada kesehatan mental jangka panjang," ungkapnya.

Baca juga: Relevansi Soft Skill Dan Masa Depan Anak

Salah satu alasan yang sering dikemukakan untuk mendukung jam masuk sekolah lebih pagi adalah harapan bahwa hal ini dapat mengurangi kenakalan siswa. Namun, dari sudut pandang psikologi perkembangan anak, klaim tersebut belum memiliki dasar ilmiah yang kuat.

Justru sebaliknya, anak yang mengalami kekurangan tidur justru akan lebih rentan menunjukkan perilaku negatif, karena ketidakmampuan mereka dalam mengelola emosi dengan baik. Untuk itu, perlu kehati-hatian dalam menyimpulkan sebab-akibat.

Jika kesehatan mental dan kesejahteraan anak terganggu, tujuan besar seperti mencetak generasi yang sehat, cerdas, dan berkarakter hanya akan menjadi cita-cita yang sulit tercapai.

"Mendidik anak tidak cukup hanya dengan semangat dan niat baik. Harus ada landasan ilmiah dan pemahaman atas tahap-tahap tumbuh kembang mereka," pungkasnya.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar