10 Mei 2025
17:23 WIB
Relevansi Soft Skill Dan Masa Depan Anak
Pendidikan menjadi fondasi bagi anak untuk bisa menata masa depan. Tetapi, mereka juga harus dibekali dengan soft skill yang justru bisa amat revelan untuk menjawab tantangan zaman.
Penulis: Annisa Nur Jannah
Editor: Rikando Somba
Ilustrasi anak yang sedang ikut kelas melukis. Freepik
JAKARTA - Setiap orang tua pasti memiliki harapan besar agar anak-anak mereka bisa meraih mimpi dan cita-cita. Hal yang paling dasar adalah memberikan bekal pendidikan lewat sekolah-sekolah formal.
Namun, seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, kehidupan sosial, serta teknologi, rasa-rasanya pendidikan formal tidaklah cukup untuk menjawab tantangan masa depan. Bukan sekadar hafalan atau nilai akademis semata, mengasah soft skill sejatinya bisa menjadi jawaban.
Karenanya, kini, banyak orang tua yang memilih memberikan pendidikan tambahan melalui les atau pendidikan nonformal lainnya untuk melengkapi apa yang dipelajari si anak di sekolah. Inilah yang dilakukan seorang ibu pekerja bernama Imelda Marbun.
Ia menyadari pentingnya mengembangkan potensi anak secara menyeluruh, bukan hanya dengan mengandalkan pelajaran di sekolah. Maka, anak-anaknya pun didaftarkan pada kursus atau aktivitas yang dapat mengasah keterampilan lain, sesuai ketertarikan mereka.
Anak pertama yang berusia 10 tahun, diikutikan sekolah sepak bola. Sementara itu, si kecil yang berusia 6 tahun, punya ketertarikan di dunia menggambar. Di luar itu, ia juga memberikan sejumlah kelas akademik di luar sekolah.
"Saya tidak langsung memutuskan untuk memasukkan mereka ke les. Sebelumnya kami sudah mencoba berbagai jenis les seperti musik, teater, dan beberapa lainnya. Setelah saya berikan kebebasan untuk memilih, ternyata anak saya yang bungsu sangat tertarik dengan bola dan ingin menjadi atlet, sedangkan yang lebih kecil menunjukkan bakat luar biasa dalam menggambar," ungkap Imelda, kepada Validnews pada pertengahan pekan ini.
Sayangnya, kesempatan tersebut tidak didapatkan oleh semua anak. Pasalnya, ada pengeluaran tambahan yang harus dipikirkan oleh orang tua. Tak semua orang tua punya keleluasaan finansial memberikan anaknya les atau kursus di luar sekolah.
Mina Lesmaria, seorang ibu rumah tangga, mengaku telah menyadari bakat anaknya sejak usia 3 tahun, ketika ia mulai senang memukul panci yang ada di rumah. Hal ini membuat Mina semakin yakin bahwa anaknya memiliki ketertarikan pada alat musik drum.
"Saya memberinya kesempatan mencoba drum di gereja, dan ia sangat antusias menyesuaikan pukulannya dengan lagu. Sayangnya, kami tidak bisa memastikan apakah teknik dan tempo yang ia mainkan sudah benar, karena tidak mengikuti les drum yang terstruktur. Karena keterbatasan biaya, saya hanya bisa menyediakan drum mainan di rumah dan memberi kesempatan sesekali bermain di gereja," ujar Mina kepada Validnews.
Soft Skill Anak
Dari kisah dua ibu, bisa dilihat bahwa potensi anak dapat tumbuh subur ketika orang tua memberikan ruang dan dukungan, sekecil apa pun bentuknya. Meski latar belakang dan kondisi ekonomi berbeda, keduanya menunjukkan bahwa pengembangan kemampuan di luar akademik atau soft skill, tetap bisa dilakukan dengan pendekatan yang sesuai.
Lantas, seberapa penting sebenarnya soft skill bagi masa depan anak?
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menegaskan pentingnya keterlibatan anak dalam kegiatan non-formal sejak usia dini. Ia menjelaskan, pendidikan formal selama ini lebih banyak menitikberatkan pada aspek kognitif dan akademik. Sementara kegiatan non-formal memberikan ruang bagi pengembangan aspek lain yang sama pentingnya, seperti kreativitas, keterampilan sosial, emosional, fisik, dan bahkan spiritual, tergantung dari jenis kegiatannya.
"Pendidikan formal lebih menekankan pada aspek kognitif dan akademis, sementara kegiatan non-formal berperan penting dalam mengembangkan aspek lainnya yang tak kalah esensial," ujar Ubaid kepada Validnews, Rabu (7/5).
Kegiatan non-formal dapat membantu anak menciptakan keseimbangan dalam dirinya. Dari sini, anak akan tumbuh menjadi individu yang lebih utuh, mampu beradaptasi dengan berbagai situasi, dan memiliki soft skill yang relevan untuk menghadapi tantangan zaman.
Pandangan serupa disampaikan oleh Anggiastri H. Utami, Psikolog Anak dan Keluarga. Menurutnya, pengembangan soft skill memiliki peran signifikan dalam pertumbuhan anak secara holistik.
"Soft skill yang penting dikembangkan sejak usia dini adalah kemampuan regulasi emosi. Dari sinilah kemampuan-kemampuan lain akan bertumbuh," ungkap Anggiastri dalam perbincangan dengan Validnews, Kamis (8/5).
Dari sudut pandang psikologis, penguatan soft skill sejak dini sangat membantu anak dalam menghadapi kehidupan yang penuh dinamika dan tantangan. Keterampilan seperti kemampuan beradaptasi, komunikasi, kerja sama, hingga regulasi emosi adalah bekal penting untuk menghadapi dunia yang semakin kompetitif.
Lebih jauh, Ubaid juga menjelaskan, ketika orang tua mendaftarkan anak ke kegiatan seperti modeling, musik, atau menggambar, itu bukan sekadar untuk mengisi waktu luang. Aktivitas tersebut mengasah banyak aspek penting dalam diri anak.
Musik, misalnya, melatih koordinasi, ritme, dan kepekaan mendengarkan atau kemampuan yang berguna dalam belajar bahasa maupun matematika. Sementara menggambar dan modeling mengembangkan kreativitas, imajinasi, serta kemampuan visual-spasial. Selain itu, keberhasilan anak dalam bidang-bidang ini dapat meningkatkan rasa percaya diri dan membangun harga diri yang sehat.
"Di masa depan, keterampilan ini tidak hanya relevan untuk karier di bidang seni. Modeling, misalnya, bisa meningkatkan kemampuan presentasi, musik ansambel melatih kerja tim, seni rupa membuka jalan pada inovasi. Semuanya bisa diterapkan di berbagai bidang pekerjaan," tutur Ubaid.
Peran Orang Tua dalam Mengarahkan Bakat
Orang tua memiliki pengaruh besar dalam pengembangan bakat anak. Ubaid Matraji mengungkapkan, peran orang tua sangat krusial sebagai pemandu utama dalam membantu anak mengenali dan mengasah minat serta kemampuan mereka.
Namun, peran ini bukanlah tentang memaksakan ambisi pribadi. Yang seharusnya menjadi pondasi adalah kepekaan orang tua dalam memahami apa yang sebenarnya disukai dan dibutuhkan anak. Langkah pertama yang perlu dilakukan orang tua adalah memberikan dukungan emosional dan menciptakan lingkungan yang kondusif untuk anak.
Ini meliputi penyediaan akses terhadap berbagai sumber daya yang dapat membantu anak mengeksplorasi minatnya seperti kursus, mentor, atau komunitas yang relevan.
"Tak kalah penting, adalah dorongan motivasi yang konsisten, membantu anak menetapkan tujuan yang realistis, dan memberikan contoh sikap yang mengutamakan disiplin, ketekunan, dan empati," tuturnya.
Sejalan dengan itu, Anggiastri mengingatkan bahwa penguatan soft skill merupakan fondasi yang penting untuk perkembangan karakter anak. Kemampuan seperti komunikasi, kerja sama, regulasi emosi, dan kemampuan beradaptasi, tidak berkembang begitu saja. Oleh karena itu, orang tua perlu secara sadar memberikan contoh dalam kehidupan sehari-hari. Mereka perlu menunjukkan nilai-nilai seperti empati, ketekunan, dan komunikasi yang terbuka, serta menyediakan waktu berkualitas untuk berdialog dengan anak.
"Anak yang belajar dari pengalaman, termasuk rasa kecewa atau gagal, akan lebih kuat dalam mengelola emosi dan membuat keputusan di kemudian hari,” tambah Anggiastri.
Apresiasi terhadap usaha dan pencapaian anak, tidak peduli seberapa kecil, juga merupakan bagian penting dari proses ini. Hal ini tidak hanya membantu anak mengembangkan keterampilan teknis, tetapi juga membentuk karakter yang kuat dan percaya diri.
Orang tua juga perlu memilih pendidikan non-formal yang memiliki potensi pengembangan jangka panjang. Pemilihan program yang tepat, yang tidak hanya menarik di masa kanak-kanak, tetapi juga memiliki struktur pembelajaran yang jelas dan kemajuan terukur, dapat mendukung pengembangan soft skill anak hingga remaja dan dewasa.
Tanggung Jawab Sekolah
Dalam hal keterbatasan finansial yang dihadapi orang tua seperti Mina, Ubaid Matraji menegaskan, sekolah memiliki tanggung jawab besar dalam memberikan akses yang setara kepada semua anak untuk mengembangkan dirinya, baik dalam bidang akademik maupun non-akademik. Dengan anggaran pendidikan yang sangat besar, yang mencapai Rp724 triliun, seharusnya dana tersebut cukup untuk mendukung pengembangan soft skill anak di seluruh Indonesia.
Sekolah, sebagai institusi pendidikan, tidak hanya bertugas mencetak generasi cerdas secara akademis, tetapi juga menciptakan lingkungan yang inklusif bagi setiap anak untuk mengembangkan berbagai potensi. Salah satu langkah nyata yang dapat dilakukan adalah dengan menyediakan berbagai kegiatan ekstrakurikuler yang terjangkau atau bahkan gratis.
"Integrasi penguatan karakter dan keterampilan sosial dalam kurikulum sehari-hari adalah upaya lain yang dapat diambil. Di samping itu, sekolah bisa menjalin kerja sama dengan komunitas atau organisasi yang dapat memberikan pelatihan dan pendampingan secara sukarela atau dengan biaya terjangkau," jelas Ubaid.
Dalam kondisi ekonomi yang terbatas, orang tua tetap memiliki peran yang sangat penting. Mereka harus bisa bersikap realistis namun tetap mendukung minat anak. Seperti yang disarankan oleh Anggiastri, orang tua harus membantu anak mencari solusi kreatif dengan memanfaatkan fasilitas sekolah, seperti ekstrakurikuler yang ada, atau mencari mentor yang bersedia memberikan bimbingan tanpa biaya tinggi.
"Dalam situasi seperti ini, anak belajar bahwa untuk mengejar minatnya, mereka perlu bekerja keras, bersabar, dan kreatif dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada. Proses ini sendiri adalah bagian dari pengembangan soft skill," jelas Anggiastri.
Dengan kerja sama antara orang tua dan sekolah, anak dapat memiliki kesempatan untuk berkembang secara maksimal meski menghadapi keterbatasan. Hal ini sangat penting untuk pengembangan akademik anak serta membekali mereka dengan keterampilan hidup yang berguna dalam menghadapi tantangan di masa depan.
Festival dan Lomba Bisa Jadi Awal Karier
Partisipasi dalam festival atau lomba dapat menjadi batu loncatan yang berarti dalam pengembangan diri anak. Menurut Ubaid Matraji, ajang-ajang seperti ini memberikan ruang bagi anak untuk membentuk mental kompetitif, belajar menghadapi tekanan, serta menerima umpan balik secara konstruktif.
Tak hanya itu, mereka juga berkesempatan membangun jaringan sosial dengan teman sebaya yang memiliki minat serupa, dan bahkan berpotensi menarik perhatian pelatih atau pengamat bakat. Namun, ia menekankan bahwa pada usia dini, fokus utama tetap harus diarahkan pada proses belajar dan eksplorasi, bukan pada kemenangan atau pencapaian instan.
"Jika anak mendapat dukungan yang tepat, ajang seperti ini bisa menjadi awal yang positif. Tapi itu tidak boleh menjadi satu-satunya tolok ukur keberhasilan, apalagi membebani anak dengan ekspektasi karier profesional yang terlalu dini,” ungkapnya.
Sejalan dengan hal itu, Anggiastri menambahkan bahwa festival dan lomba bisa menjadi medium yang efektif untuk memperkenalkan anak pada pengalaman tampil di depan umum, berinteraksi dengan juri dan peserta lain, serta merasakan atmosfer kompetisi yang sehat. Namun, ia mengingatkan agar orang tua tidak menjadikan ajang tersebut sebagai sarana untuk mengejar ambisi pribadi yang justru mengorbankan masa kanak-kanak anak.
"Masa anak-anak adalah masa bermain. Kita perlu berhati-hati agar tekanan untuk menang atau menjadi ‘terbaik’ tidak menghapus kegembiraan mereka dalam belajar dan mencoba hal-hal baru,” jelas Anggiastri.
Ia menyarankan agar orang tua menanamkan semangat belajar dan pengembangan diri dalam mengikuti ajang kompetitif, tanpa menjadikan hasil sebagai fokus utama. Dengan cara ini, anak bisa membangun rasa percaya diri, belajar mengelola kegugupan, dan menyerap berbagai pengalaman berharga tanpa terbebani oleh tuntutan yang belum sesuai dengan usianya.
Melihat Tantangan Masa Depan
Di sisi lain, saat ini lapangan pekerjaan semakin sulit dijangkau, terutama dengan berkembangnya otomatisasi dan perubahan teknologi yang cepat. Banyak profesi yang terancam hilang atau tergantikan oleh teknologi, sementara pencarian pekerjaan semakin kompetitif, baik untuk lulusan baru maupun pekerja berpengalaman.
Di tengah kondisi ini, keterampilan coding bisa menjadi salah satu solusi yang sangat relevan. Mnguasai coding sejak dini tidak hanya membuka peluang karier di bidang teknologi, tetapi juga memperkuat kemampuan berpikir logis, sistematis, analitis, dan pemecahan masalah, keterampilan penting yang bisa diterapkan di berbagai bidang profesi.
Namun, Ubaid tetap mengingatkan bahwa kemampuan tersebut tidak bisa dibangun di atas fondasi yang rapuh.
"Coding itu ibarat membangun rumah. Kalau dasar literasi dan numerasi anak masih lemah, maka mereka akan kesulitan mengikuti pola berpikir yang dibutuhkan dalam coding. Karena itu, penguasaan literasi dan numerasi dasar adalah prasyarat utama,” tegasnya.
Dia menjelaskan bahwa belajar coding tidak hanya berfokus pada teknologi, melainkan juga melatih cara berpikir. Lebih jauh lagi, Ubaid menekankan pentingnya pengenalan keterampilan non-akademik yang relevan dengan perkembangan zaman, terutama di era digital. Selain itu, kemampuan berkomunikasi dan berkolaborasi dalam dunia daring juga sangat penting, begitu pula dengan berpikir kritis terhadap informasi digital dan kesadaran terhadap keamanan siber.
“Jika kita ingin anak-anak siap menghadapi masa depan, kita tidak bisa hanya mengandalkan nilai ujian. Dunia kerja sekarang tidak hanya menilai ijazah, tetapi bagaimana seseorang bisa beradaptasi, berpikir kritis, dan terus belajar hal baru,” jelas Ubaid.
Mengabaikan pengembangan soft skill dapat membuat anak kurang adaptif, kurang mampu bekerja sama, dan tidak memiliki keterampilan praktis yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Seperti halnya banyak pakar manejemen dan entrepreneur besar dunia menyebutkan, keseimbangan yang tepat antara kemampuan akademis dan keterampilan sosial akan membekali anak dengan kemampuan untuk menghadapi tantangan di masa depan. Kemampuan ini membuat individu siap untuk berkompetisi dalam dunia yang semakin digital dan berubah.