23 Oktober 2025
12:22 WIB
Mungkinkah Meredupkan Matahari Untuk Mengatasi Krisis Iklim?
Para ilmuwan berpikir untuk melakukan sesuatu yang ekstrem dengan menyebarkan partikel sulfur mikroskopis ke atmosfer Bumi untuk "meredupkan" matahari, sehingga tak memicu pemanasan di Bumi.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi 3D bintang tata surya kita dalam bidikan lebar. Gas nebula meletus dari permukaan Matahari . Suar energi panas Matahari dan lontaran massa korona melepaskan semburan gas panas yang membakar ke angkasa. Shutterstock/remotevfx.com.
JAKARTA - Meningkatnya efek rumah kaca akibat aktivitas manusia membuat suhu Bumi semakin panas dalam beberapa dekade terakhir. Berbagai upaya untuk meminimalisir peningkatan suhu telah dilakukan, namun laju pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan yang juga terus terjadi membuat upaya-upaya tersebut terasa tak signifikan.
Para ilmuwan dunia telah lama berpikir keras untuk mencari solusi iklim, demi memastikan bumi bisa ditinggali lebih lama lagi. Salah satu solusi yang sempat menarik perhatian luas yaitu tindakan "meredupkan" matahari, agar terik cahayanya tak lagi kuat ketika sampai ke Bumi.
Para ilmuwan berpikir untuk melakukan sesuatu yang ekstrem dengan menyebarkan partikel sulfur mikroskopis ke atmosfer Bumi, agar mengurangi jumlah sinar matahari yang bisa mencapai permukaan bumi. Metode yang juga dikenal sebagai stratospheric sulfur injections (SAI) ini merujuk intervensi skala besar untuk memanipulasi sistem alam Bumi, seperti atmosfer, lautan, dan daratan untuk mengatasi dampak perubahan iklim.
Metode tersebut pertama kali mulai menjadi perbincangan para ilmuwan di tahun 1970-an. Daan semakin serius di dekade 90-an, ketika letusan stratovolcano Gunung Pinatubo di Filipina pada 1991 yang menyebabkan hampir 20 juta ton sulfur dioksida menyebar di lapisan atmosfer Bumi (di antara ketinggian 12 dan 50 kilometer). Para ilmuwan mencatat, ternyata sulfur yang lepas ke atmosfer tersebut menyebabkan penurunan suhu rata-rata global sekitar 1 derajat Fahrenheit (0,5 derajat Celsius).
Saat Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim (UNFCCC) atau yang dikenal sebagai Protokol Kyoto berlangsung di tahun 1997, beberapa ilmuwan mulai menyebut rekayasa iklim sebagai "rencana cadangan" jika mitigasi emisi dengan berbagai langkah gagal dilakukan.
Bertahun-tahun berlalu, metode tersebut tak pernah dilakukan, meski ratusan studi telah memodelkan bagaimana bentuk geoengineering surya. Namun seiring pemanasan global yang semakin terasa, metode ini kembali menjadi perbincangan serius di kalangan peneliti serta memicu pro dan kontra terkait peluang dan dampaknya.
Ahli kimia atmosfer dan ilmuwan aerosol dari Columbia’s Climate School and Columbia Engineering, Faye McNeill meragukan metode SAI bisa menjadi solusi. Dia meyakini metode ini mampu menurunkan suhu Bumi, namun akan berdampak besar jika dilakukan.
"Ada berbagai hal yang mungkin terjadi jika Anda mencoba melakukan ini, dan kami berpendapat bahwa kemungkinan hasilnya jauh lebih luas daripada yang diperkirakan siapa pun hingga saat ini," terang Faye, sebagaimana dilansir Kamis (23/10) dari eurekalert.org.
Faye berkaca pada apa yang terjadi usai letusan Pinatubo tahun 1991 silam. Walau mampu menurunkan suhu Bumi, sebaran 20 juta ton sulfur dioksida di atmosfer Bumi saat itu juga mengganggu sistem monsun India, yang menyebabkan penurunan curah hujan di seluruh Asia Selatan, serta menyebabkan pemanasan di stratosfer dan penipisan lapisan ozon.
Karena itu penggunaan sulfat pada metode SAI juga diyakini akan menimbulkan risiko serupa, atau masalah lingkungan tambahan, termasuk hujan asam dan polusi tanah.
Kekhawatiran tersebut pada akhirnya memang telah mendorong pencarian bahan aerosol lain untuk SAI. Seperti sejumlah mineral, meliputi kalsium karbonat, alfa alumina, rutil dan anatase titania, zirkonia kubik hingga intan.
Hanya saja sama seperti sulfat, dampak yang bisa dihasilkan sejumlah mineral itu juga menghadirkan dampak-dampak lain, termasuk yang negatif. Ada pula beberapa material yang bisa lebih menjanjikan, seperti berlian, zirkonia kubik dan titania rutil. Namun material tersebut ketersediaannya sangat terbatas dan nilai ekonominya terlalu tinggi. Perhitungan ekonomi yang dilakukan tim dari Columbia University pun menunjukkan bahwa peningkatan permintaan akan membebani rantai pasokan dan membuatnya jauh lebih mahal lagi.
Baca juga: IBM-NASA Luncurkan AI Pendeteksi Aktivitas Matahari
Realitas Penerapan di Dunia Nyata
Dalam sebuah makalah yang diterbitkan di Scientific Reports, Faye McNeill dan rekan-rekannya juga meragukan metode SAI ini bisa diterapkan secara sempurna. Sebab banyak faktor yang mempengaruhi interaksi aerosol dengan sistem Bumi. Mulai dari ketinggian dan bujur tempat pelepasannya, waktu terjadinya, dan tentu saja jumlah partikel yang terlibat.
Variabel lintang Bumi juga sangat berpengaruh pada metode ini. Misalnya, SAI yang terkonsentrasi di wilayah kutub kemungkinan akan mengganggu sistem monsun tropis. Pelepasan yang terkonsentrasi di wilayah khatulistiwa dapat mempengaruhi aliran jet dan mengganggu pola sirkulasi atmosfer yang menghantarkan panas ke kutub Bumi.
Faktor-faktor tersebut menurut Faye kurang menjadi perhatian, sebab simulasi penerapan metode SAI yang telah dilakukan selama ini, hanya dilakukan pada kondisi ideal saja. Para peneliti memodelkan partikel sempurna dengan ukuran yang sempurna. Dan dalam simulasi, mereka menempatkan partikel tersebut sebanyak yang mereka inginkan, di mana mereka menginginkannya.
"Namun, ketika Anda mulai mempertimbangkan di mana kita sebenarnya berada, dibandingkan dengan situasi ideal tersebut, hal itu mengungkapkan banyak ketidakpastian dalam prediksi tersebut. "Ini bukan sekadar masalah melepaskan lima teragram sulfur ke atmosfer. Yang penting adalah di mana dan kapan Anda melakukannya," kata Faye McNeill.