16 Maret 2024
17:07 WIB
Penulis: Siti Nur Arifa
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Ada banyak kegiatan dan istilah yang sering dijumpai selama Ramadan tapi tidak umum dilakukan pada hari-hari biasa, di antaranya tarawih, bukber (buka bersama), ngabuburit, dan lainnya. Tapi masih ada lagi satu istilah paling populer, karena menjadi salah satu hal yang paling dinantikan selama Ramadan, yakni Takjil.
Menjadi bagian yang tak terpisahkan bahkan dapat dikatakan sudah menjadi semacam ‘tradisi’ di tengah masyarakat tanah air, jika ditelisik lebih dalam sebenarnya ada pergeseran makna mengenai definisi takjil, namun tidak banyak disadari oleh masyarakat.
Selama ini, penggunakan kata takjil umum terdengar lewat ungkapan “ingin membeli takjil”, “mencari takjil”, “menyediakan takjil gratis” atau “berjualan takjil”. Sehingga, kata takjil identik dan lebih menjurus kepada berbagai jenis makanan ringan seperti gorengan, kue basah, dan kudapan lainnya yang biasa disantap saat berbuka puasa.
Padahal makna takjil bukanlah makanan, melainkan perbuatan membatalkan puasa itu sendiri. Dapat dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), penjelasan pertama yang muncul dari istilah takjil adalah mempercepat (dalam berbuka puasa).
Sementara itu jika dikaji dari Bahasa Arab, istilah Takjil berasal dari kata Ajjalu yang artinya menyegerakan atau mempercepat. Istilah ini diambil dari Hadis Nabi Muhammad SAW yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, yang berbunyi; “Manusia masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan (Ajjalu) berbuka.”
Namun seiring perkembangan waktu, baru setelahnya KBBI mendefinisikan takjil sebagai penganan dan minuman untuk berbuka puasa. Masih berdasarkan anjuran Nabi Muhammad SAW, makanan dan minuman yang dimaksud untuk menyegerakan berbuka adalah seteguk air dan buah kurma berjumlah ganjil.
Lagi, karena berkembangnya zaman, istilah takjil pun mempunyai pemaknaan baru di Indonesia, dengan merujuk pada berbagai makanan khas yang lebih variatif untuk berbuka puasa.
Baca juga: Menjaga Kulit Tetap Terhidrasi Selama Puasa
Dikutip dari laman Muhammadiyah.or.id, dalam tataran budaya nyatanya istilah takjil telah menjadi istilah yang hadir bukan hanya di Indonesia, tapi juga bagi setiap bangsa muslim seluruh dunia sejak lama.
Dijelaskan bahwa dulu, ada seorang cendekiawan bernama Christiaan Snouck Hurgronje yang diutus oleh Belanda untuk terjun ke tengah masyarakat Aceh pada tahun 1889, dengan tujuan memecah kesulitan-kesulitan yang dihadapi Belanda dalam menaklukkan Aceh.
Laporannya yang ditulis dalam buku berjudul De Atjehers itu memuat berbagai seluk-beluk mulai dari pergerakan, tatanan masyarakat, hingga tradisi di Aceh. Termasuk salah satunya penemuan bahwa masyarakat lokal telah melakukan kebiasaan buka puasa (takjil) di Masjid secara beramai-ramai, dengan Ie Bu Peudah, yakni sejenis bubur pedas yang kemudian menjadi makanan khas dan hingga saat ini dikenal sebagai takjil khas Aceh.
Sementara itu dalam catatan lain yang belum terkonfirmasi kebenarannya, takjil juga disebut-sebut menjadi medium Wali Sanga dalam berdakwah dan melakukan Islamisasi di Bumi Nusantara. Dijelaskan pula bahwa dulunya, takjil masih menjadi kebudayaan lokal dan bukan kebudayaan populer.
Sementara itu meluasnya istilah takjil hingga bisa seperti sekarang ini diyakini terjadi karena adanya peran Muhammadiyah, yang dijelaskan lewat buku berjudul Kiai Ahmad Dahlan- Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan (2010), karangan Profesor Abdul Munir Mulkhan.
Baca juga: Negara-Negara Dengan Waktu Puasa Terlama Dan Tersingkat
Faktanya, gerakan takjil atau menyegerakan berbuka yang diajarkan oleh Ahmad Dahlan memiliki kaitan erat dengan ajaran mengakhirkan makan sahur menjelang waktu subuh. Namun ajaran tersebut justru sempat menuai tuduhan miring pada masanya.
“Cara Muhammadiyah memenuhi ibadah puasa di atas waktu itu menyebabkan pengikut Muhammadiyah dicap tidak tahan lapar, tapi saat ini cara pengikut Muhammadiyah itu sudah menjadi tradisi puasa semua warga muslim di Indonesia,” catat Munir.
Sementara itu mengenai pergeseran makna takjil dari kegiatan menyegerakan berbuka menjadi lebih menjurus kepada makanan yang disantap, nampaknya juga dipengaruhi oleh semakin berkembangnya jenis makanan yang disediakan saat takjil dilakukan beramai-ramai di surau atau masjid-masjid tempo dulu.
Misalnya saja, ulama-ulama yang tergabung dalam Wali Sanga yang juga menggunakan kuliner sebagai media dakwah, dikisahkan bahwa mereka membuat makanan untuk berbuka puasa yang menggunakan bahan dasar pisang kepok, ubi jalar, dan gula merah yang kemudian dikenal sebagai kolak.
Dalam buku Jejak Rasa Nusantara: Sejarah Makanan Indonesia (2016) karangan Fadly Rahman, dijelaskan bahwa kata kolak sendiri merupakan manifestasi dari bahasa Arab yaitu Khalik yang artinya pencipta alam semesta atau Tuhan.
Hal itu yang kemudian membuat kolak lantas menjadi hidangan takjil yang paling populer, dengan isian yang selalu dimodifikasi dari waktu ke waktu. Ada yang membuatnya dengan tambahan kolang-kaling, candil, labu, ubi, tapai, hingga nangka.
Kolak juga yang kemudian membuat kebiasaan memakan makanan manis untuk berbuka mulai menyebar. Aneka makanan sejenis seperti bubur manis, kue, dan es mulai bermunculan lantaran dipandang cocok mengembalikan energi setelah berpuasa.
Sementara itu menu yang populer saat ini seperti gorengan, mulai muncul setelah minyak goreng digunakan secara luas, dibarengi dengan semakin beragamnya santapan takjil dari waktu ke waktu.
Terlepas dari panjangnya perkembangan takjil dan fakta pergeseran makna yang terjadi, tak heran jika selama ini tetap ada anjuran yang menyebut agar berbuka puasa sebaiknya dilakukan sesegera mungkin dengan makanan yang secukupnya, misalnya air putih dan buah kurma.