c

Selamat

Minggu, 16 November 2025

KULTURA

25 Agustus 2025

18:56 WIB

Memahami Sindrom Anak Sulung, Antara Kasih Sayang Dan Beban Ekspektasi

Sifat suka mengatur yang sering dimiliki anak sulung bisa berkembang menjadi kemampuan memimpin, namun kepercayaan diri yang tinggi terkadang bisa dilihat sebagai sifat arogan.

Penulis: Annisa Nur Jannah

<p id="isPasted">Memahami Sindrom Anak Sulung, Antara Kasih Sayang Dan Beban Ekspektasi</p>
<p id="isPasted">Memahami Sindrom Anak Sulung, Antara Kasih Sayang Dan Beban Ekspektasi</p>

Ilustrasi keluarga asia bahagia dengan dua anak berjalan di jembatan penyeberangan di taman kota. Sh utterstock/imtmphoto.

JAKARTA - Pernah mendengar istilah oldest child syndrome atau sindrom anak sulung? Meski bukan diagnosis resmi dalam dunia medis, istilah ini cukup populer karena banyak orang merasa sifat khas anak pertama bisa dibedakan dari adik-adiknya.

Melansir laman Choosing Therapy, anak sulung biasanya menempati posisi unik dalam keluarga. Sejak lahir, mereka menjadi pusat perhatian orang tua, mendapat kasih sayang penuh, bahkan sering disebut sebagai raja atau ratu kecil di rumah.

Tak heran jika kemudian mereka tumbuh dengan rasa percaya diri tinggi, ambisi yang besar, serta kecenderungan untuk tampil sebagai pemimpin alami. Namun, cerita indah itu bisa berubah drastis saat seorang adik lahir.

Tiba-tiba, perhatian yang tadinya hanya milik mereka harus terbagi. Banyak anak sulung merasa seperti turun tahta dan kehilangan kerajaan kecil yang dulu mereka kuasai sepenuhnya.

Dari sinilah muncul rasa cemburu, kompetisi, bahkan sikap suka mengatur yang kerap membuat adik-adik kesal. Meski begitu, pengalaman menjadi anak pertama juga menumbuhkan sisi positif.

Karena sering diminta menjaga adik, anak sulung terbiasa belajar tanggung jawab, kedewasaan, dan kepemimpinan. Mereka kerap menjadi andalan orang tua dalam urusan rumah, mulai dari menemani adik belajar hingga membantu pekerjaan sehari-hari.

Namun, jangan salah bahwa peran sebagai si kuat dalam keluarga juga bisa melahirkan tekanan yang tidak ringan. Tak sedikit orang percaya bahwa anak pertama adalah kelinci percobaan orang tua.

Sebab, di masa inilah orang tua masih belajar cara mendidik. Akibatnya, aturan untuk si sulung biasanya lebih ketat dibandingkan adik-adiknya.

Sementara itu, adik-adik sering mendapat kelonggaran karena orang tua sudah lebih berpengalaman. Bagi banyak anak sulung, pengalaman ini membekas hingga dewasa.

Konsep tentang pengaruh urutan kelahiran terhadap kepribadian pertama kali diperkenalkan oleh psikolog Alfred Adler. Ia percaya posisi anak dalam keluarga bisa membentuk karakter. 

Meski teorinya sempat diperdebatkan, pandangan ini tetap menjadi salah satu dasar dalam psikologi kepribadian. Namun, tentu saja faktor lain juga berperan besar mulai dari pola asuh, lingkungan sosial, kondisi ekonomi, hingga budaya keluarga.

Menariknya, sifat khas anak pertama tidak selalu eksklusif. Dalam beberapa kasus, adik justru bisa menunjukkan karakter anak sulung, terutama jika jarak usia cukup jauh atau ada tanggung jawab khusus yang harus dipikul.

Misalnya, seorang anak perempuan kedua bisa menjadi penanggung jawab utama bila kakaknya memiliki keterbatasan fisik atau kondisi tertentu.

Baca juga: Panduan Mengatur Kebiasaan Menonton Anak Berdasarkan Fase Usia

Menemukan Keseimbangan Lewat Konseling

Jelas bahwa pengalaman sebagai anak sulung membentuk warna kepribadian yang khas. Sifat suka mengatur bisa berkembang menjadi kemampuan memimpin, rasa percaya diri tinggi bisa menjadi modal sukses, meski di sisi lain juga berisiko dianggap arogan.

Dengan kata lain, kelebihan dan kekurangan anak sulung berjalan beriringan, tergantung bagaimana keluarga dan lingkungan membentuk mereka.

Bagi sebagian anak sulung, tekanan bisa terasa berat dan menimbulkan luka emosional. Karena itu, terapi bisa menjadi jalan keluar.

Dengan bimbingan yang tepat, misalnya melalui terapi keluarga, konseling psikologis, atau terapi kognitif-perilaku (CBT), anak sulung maupun orang tua bisa belajar berkomunikasi lebih sehat, mengelola emosi dengan bijak, serta membangun hubungan yang lebih seimbang di dalam keluarga.

Pendekatan ini membantu orang tua memahami kebutuhan emosional setiap anak, sekaligus memberi ruang bagi si sulung untuk melepaskan tekanan peran tanpa merasa harus selalu sempurna.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar