20 Agustus 2025
20:20 WIB
Memahami Jenis Lisensi dan Aturan Royalti Musik
Jenis lisensi musik terbagi menjadi tiga bentuk utama, yaitu lisensi pertunjukan publik (performing rights), lisensi siaran (broadcast licensing) dan lisensi digital.
Editor: Andesta Herli Wijaya
Penonton menyaksikan penampilan grup musik Bromo Jazz Camp pada acara Jazz Gunung Bromo 2024 di Jiwa Jawa Resort, Probolinggo, Jawa Timur, Jumat (19/7/2024). Antara Foto/Irfan Sumanjaya.
JAKARTA - Pemerintah menegaskan kembali kewajiban pembayaran royalti bagi setiap pemanfaatan lagu dan/atau musik dalam layanan publik yang bersifat komersial dengan menerbitkan dokumen regulasi baru, Peraturan Menteri Hukum Nomor 27 Tahun 2025 . Aturan ini secara umum mempertegas regulasi yang sudah ada sebelumnya, serta penegasan cakupan regulasi terhadap ruang digital demi memastikan hak para pencipta, musisi, dan penerbit musik lebih terjamin.
Menurut Adi Adrian, Presiden Direktur Wahana Musik Indonesia (WAMI), aturan ini hadir untuk menyesuaikan dinamika industri musik yang kini banyak bersinggungan dengan ruang digital.
"Lisensi musik tidak hanya mencakup konser atau kafe, tapi juga platform digital dan media sosial. Dengan Permenkum 27/2025, alur pembayaran royalti menjadi lebih jelas dan transparan," jelas Adi dalam siaran pers Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI), dikutip Rabu (20/8).
Nah, berdasarkan prinsip regulasi, apa saja sih, lisensi yang harus dimiliki para pengusaha jika ingin memutar musik di ruang publik komersial?
Marcel Siahaan, Kepala Direktorat Hukum PAPPRI, menekankan bahwa lisensi adalah instrumen pelindungan hak cipta, bukan sekadar kewajiban administratif. Dia menekankan pentingnya pemahaman publik terkait penggunaan hak cipta, yang menuntut apresiasi terhadap para pencipta.
"Kita ingin mengubah paradigma masyarakat: menggunakan musik secara komersial berarti juga menghargai hak pencipta. Dengan aturan baru, semua pihak di industri musik bisa mendapatkan haknya sekaligus menjaga ekosistemnya berkelanjutan," ungkap Marcel.
Jenis lisensi musik sendiri terbagi menjadi tiga bentuk utama. Pertama, lisensi pertunjukan publik (performing rights), yang berlaku pada konser, restoran, hotel, pusat hiburan, hingga karaoke. Kemudian ada lisensi siaran (broadcast licensing) yang mencakup penggunaan musik dan lagu di televisi dan radio.
Ketiga, ada lisensi digital (digital licensing) yang meliputi layanan streaming hingga konten di platform video. Musik latar dalam aplikasi digital juga termasuk dalam kategori lisensi ini.
Baca juga: Menanti Formula Adil Royalti Musik
Data menunjukkan bahwa pengelolaan royalti musik di Indonesia terus berkembang. WAMI sebagai anggota CISAC (International Confederation of Societies of Authors and Composers) melaporkan penghimpunan royalti hingga Rp185 miliar pada 2024, dengan distribusi Rp123,6 miliar kepada lebih dari 6.000 komposer dan penerbit musik. Capaian ini diyakini akan meningkat seiring implementasi aturan terbaru.
Secara global, praktik lisensi musik juga menegaskan pentingnya kepatuhan hukum. CISAC menyoroti bahwa lisensi tidak hanya berlaku untuk konser atau restoran, melainkan juga karaoke, gym, pusat perbelanjaan, hingga layanan digital.
Melalui Permenkum 27/2025, pemerintah bersama LMKN dan LMK menegaskan komitmen melindungi hak-hak pelaku musik. Masyarakat, pelaku usaha, dan platform digital diimbau agar memahami bahwa membayar royalti adalah bentuk nyata menghormati karya dan menjaga keberlangsungan industri musik Indonesia.