c

Selamat

Rabu, 5 November 2025

KULTURA

03 Juli 2025

16:58 WIB

Memahami Gangguan Minat Dan Gairah Seksual Pada Perempuan

Seorang perempuan dapat secara fisik terangsang tanpa menyadarinya secara mental atau sebaliknya. Ketidaksesuaian ini diperkirakan menjadi salah satu penyebab gangguan fungsi seksual.

Penulis: Annisa Nur Jannah

Editor: Satrio Wicaksono

<p id="isPasted">Memahami Gangguan Minat Dan Gairah Seksual Pada Perempuan</p>
<p id="isPasted">Memahami Gangguan Minat Dan Gairah Seksual Pada Perempuan</p>

Illustrasi seks. Sumber: Envanto.

JAKARTA - Female Sexual Interest and Arousal Disorder (FSIAD) atau gangguan minat dan gairah seksual pada perempuan merupakan salah satu bentuk disfungsi seksual yang kerap terabaikan dan masih dianggap tabu di berbagai lapisan masyarakat. Kondisi ini ditandai dengan berkurangnya keinginan untuk berhubungan intim serta minimnya respons terhadap rangsangan fisik maupun mental.

Dahulu dikenal sebagai gangguan gairah seksual, istilah ini kini juga mencakup gangguan hasrat seksual karena keduanya sulit dipisahkan secara klinis. Hasrat dan gairah seksual pada perempuan saling berkaitan dan saling memengaruhi, sehingga FSIAD digunakan sebagai istilah payung yang mewakili keduanya.

Melansir Everyday Health, tinjauan dalam jurnal Sexual Medicine Reviews mengungkap bahwa sekitar 40% perempuan pramenopause di seluruh dunia mengalami masalah seksual, termasuk yang berkaitan dengan FSIAD. Temuan ini menunjukkan bahwa gangguan ini bukan masalah sepele, melainkan isu kesehatan perempuan yang perlu mendapatkan perhatian lebih serius, baik dari tenaga medis maupun masyarakat secara luas.

Panduan dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) menyebut seseorang dapat didiagnosis mengalami FSIAD bila mengalami sedikitnya 3 gejala selama 6 bulan atau lebih. Gejala tersebut antara lain adalah tidak lagi tertarik pada aktivitas seksual, jarang memikirkan seks, enggan memulai keintiman, tidak merasakan kenikmatan atau sensasi di area genital, maupun tidak merespons rangsangan mental atau fisik.

Kondisi ini juga menyebabkan tekanan psikologis yang nyata dan tidak disebabkan oleh gangguan medis lain seperti depresi atau efek samping obat-obatan tertentu. Meskipun penelitian mengenai kesehatan seksual perempuan masih terbatas, beberapa studi menunjukkan adanya keterkaitan antara FSIAD dan rendahnya sexual concordance atau keselarasan antara rangsangan mental dan respons genital.

Penelitian dalam International Journal of Clinical Health and Psychology mengungkap bahwa perempuan lebih sering mengalami ketidaksesuaian ini dibanding laki-laki. Seorang perempuan dapat secara fisik terangsang tanpa menyadarinya secara mental atau sebaliknya.

Ketidaksesuaian ini diperkirakan menjadi salah satu penyebab gangguan fungsi seksual. Perlu digarisbawahi bahwa penyebab FSIAD sejatinya bersifat multifaktor dan bervariasi antar individu.

Secara fisik, penyakit seperti diabetes, gangguan ginjal, atau penggunaan obat-obatan tertentu dapat menurunkan libido. Secara psikologis, kecemasan, depresi, pengalaman traumatis, konflik dalam hubungan, atau citra tubuh yang buruk dapat menjadi pemicu.

Faktor hormonal juga berperan penting, misalnya penurunan kadar estrogen setelah menopause, pascamelahirkan, atau selama menyusui yang dapat menghambat aliran darah ke organ intim dan menurunkan pelumasan alami. Untuk menegakkan diagnosis, dokter akan menyingkirkan kemungkinan lain seperti infeksi menular seksual, gangguan hormon, endometriosis, atau sindrom genitourinaria pascamenopause.

Pemeriksaan fisik, wawancara menyeluruh tentang riwayat kesehatan dan pengalaman seksual, serta pencitraan seperti USG transvaginal dapat dilakukan jika pasien mengalami nyeri saat berhubungan. Diagnosis FSIAD hanya diberikan bila gangguan tersebut berdampak signifikan terhadap kualitas hidup pasien dan berlangsung selama minimal enam bulan.

Kondisi ini tidak mencakup individu aseksual yang memang tidak memiliki ketertarikan seksual secara alami. FSIAD merupakan kondisi yang dapat diobati. Pendekatan pengobatan sangat bergantung pada penyebab yang mendasari.

Bila terkait dengan faktor psikologis, terapi bersama konselor, seksolog, atau psikoterapis bisa menjadi langkah utama. Terapi kognitif, pendekatan berbasis mindfulness, dan edukasi seputar anatomi serta fungsi seksual dapat membantu meningkatkan respons dan kenyamanan selama hubungan intim.

Baca juga: Menggali Keterkaitan Antara Seksualitas Dan Spiritualitas Otak Manusia

Dari sisi medis, terdapat beberapa pilihan obat. Flibanserin adalah obat oral yang bekerja pada neurotransmiter di otak, direkomendasikan untuk perempuan pramenopause namun harus digunakan dengan pengawasan karena dapat menyebabkan tekanan darah rendah. Bremelanotide, suntikan yang digunakan sebelum aktivitas seksual, bekerja merangsang pusat gairah di otak.

Terapi estrogen lokal seperti krim atau cincin vagina membantu meningkatkan pelumasan, namun penggunaannya harus mempertimbangkan riwayat kesehatan. Sementara itu, terapi testosteron transdermal yang meskipun belum disetujui FDA untuk perempuan kadang digunakan pada perempuan pascamenopause, tetapi perlu pengawasan ketat karena berisiko menimbulkan efek samping seperti jerawat, kulit berminyak, atau pertumbuhan rambut berlebih.

Dr. Stephanie Faubion dari North American Menopause Society menegaskan bahwa testosteron hanya digunakan bila penyebab lain sudah disingkirkan. Ia menambahkan, kasus gangguan seksual pada perempuan umumnya tidak berdiri sendiri, melainkan dipengaruhi banyak faktor seperti nyeri, perubahan hormonal, dan trauma psikologis.

"Dengan pendekatan ilmiah dan empatik, perempuan yang mengalami kondisi ini dapat kembali menikmati keintiman, kepercayaan diri, dan kendali atas tubuh mereka sendiri," pungkas Faubion.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar