13 April 2022
20:10 WIB
Penulis: Tristania Dyah Astuti
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA – Istanbul, kota elok dengan deretan bangunan yang megah dan panorama cantik sejauh mata memandang. Istanbul merupakan kota terbesar di Turki dan menjadi pusat perekonomian, budaya, dan sejarah negara itu sendiri.
Mayoritas penduduknya atau sekitar 98% memeluk agama Islam. Maka wajar jika di sana juga ditemukan begitu banyak masjid indah dan tempat-tempat bersejarah tentang penyebaran agama Islam.
Namun, di balik tersebarnya agama Islam di Istanbul atau di Turki secara keseluruhan, ada kisah sejarah paling dikenang dari tanah itu. Adalah sejarah penaklukan Konstantinopel oleh remaja 21 tahun bernama Mehmed II (Muhammad Al Fatih).
Mehmed II lahir pada 30 Maret 1432 di Edirne, Turki dengan nama Mehmed bin Murad. Ayahnya adalah Sultan Murad II, pemimpin Kesultanan Turki Utsmaniyah, kekhalifahan Islam terakhir dalam sejarah.
Mehmed II menuliskan cerita hidupnya sendiri begitu dini. Ia ditunjuk menjadi sultan untuk menggantikan ayahnya sejak berusia 12 tahun. Sultan Murad II cepat menyerahkan tahtanya karena memilih untuk pensiun dan beristirahat.
Ketika itu, ia ditanya program kerja utamanya. Sultan berusia 12 tahun itu pun dengan percaya diri mengatakan “menaklukan Konstantinopel”. Mehmed II punya banyak alasan yang kuat untuk menaklukan Konstantinopel.
Di antaranya, sudah sekian lama Dinasti Utsmani ingin menguasai kegiatan perdagangan internasional di kawasan Konstantinopel. Kemudian, Mehmed II juga ingin meruntuhkan dominasi Byzantium Romawi Timur di kawasan Timur Tengah, sekaligus menegaskan kekuatan pengaruh Islam di dunia Internasional
Namun itu bukan target main-main. Sebuah target yang sontak mengundang perdebatan dari berbagai pihak di kesultanan. Apalagi harus terlontar dari anak berusia 12 tahun.
Betapa tidak, kala itu Konstantinopel merupakan kota terbesar dan termakmur di Eropa yang kala itu dikuasai Kekaisaran Romawi Timur. Sekadar mengingatkan, Konstantinopel sendiri didirikan oleh Kaisar Romawi Konstantinus I di atas situs sebuah kota yang sudah ada sebelumnya, Bizantium, sekitar 671-662 SM.
Baca juga: Jejak Azyumardi Azra, Tokoh Cendekiawan Islam Yang Diperhitungkan
Setelah dua tahun menjabat sebagai sultan, dengan berbagai pertimbangan Mehmed II pun diturunkan dari posisinya. Banyak tokoh politik dan militer yang ragu dan khawatir, posisi Mehmed II bisa menjadi boomerang untuk kesultanan.
Orang-orang berpengaruh di sana, meminta Murad II untuk kembali memimpin Kesultanan Turki Utsmaniyah. Mehmed II pun melanjutkan pendidikannya sebagai seorang pangeran. Mehmed II menjadi seorang pemuda yang cerdas, menguasai 3 bahasa penting saat itu, bahasa Arab, Persia, dan Turki.
Ia juga memahami benar hukum fisika, dan sangat menyukai sastra. Kecerdasan alaminya menjadi nilai lebih ketika tiba saatnya memikirkan berbagai strategi perang kelak.
Saat berumur 19 tahun, sultan Murad II meninggal dunia, otomatis Mehmed II pun harus kembali ke takhta yang sempat dimilikinya. Ia bertekad membuktikan niatnya, menaklukan Konstantinopel. Ia ingin menunjukkan ke tokoh-tokoh senior dan masyarakat Turki Utsmaniyah, ia bisa melakukannya.
Untuk mewujudkan tujuan utamanya menaklukan Konstantinopel, ia pun mempersiapkan strategi termasuk ratusan ribu pasukannya untuk bertempur.
Penaklukan Konstantinopel
Menaklukan Konstantinopel, tentu bukan perkara mudah. Pasalnya kota itu memiliki struktur perlindungan yang sangat kuat bahkan tidak pernah bisa ditembus selama 1.123 tahun. Sistem perlindungan tersebut mencakup wilayah darat dan air.
Paling terkenal saat itu, tembok perlindungan yang diberi nama barisan dinding Theodosia. Struktur dinding itu terdiri dari 3 lapis, dinding pertama dengan ketinggian 18 meter dengan ketebalan mencapai 3 meter. Jelas, dinding ini sulit untuk dihancurkan.
Di antara tembok kedua dan ketiga terdapat parit yang lebarnya 20 meter dengan kedalaman 10 meter. Untuk melewati parit itu sangat sulit, sebab jika berenang panah-panah dari atas menara akan menghujani musuh.
Konstantinopel juga memiliki senjata berupa api yang tidak bisa padam di air. Senjata ini yang paling ampuh membunuh dan mengusir musuh-musuh dalam perang. Selain itu, di perairan sekitar kota Konstantinopel dipasangi rantai-rantai besar menghalangi kapal untuk melaluinya.
Mehmed II tahu benar, struktur perlindungan Kota konstantinopel sangat kompleks. Tak heran, banyak pendahulunya juga tidak berhasil menaklukan Konstantinopel dengan berbagai cara.
Dengan keyakinan kuat Mehmed II tetap ingin menaklukan Konstantinopel. Dia menyiapkan sejumlah kapal perang. Setidaknya ada 67 senjata meriam yang dibuat dengan perhitungan jarak tembak yang diinginkan dan dibantu oleh ahli senjata bernama Urban.
Singkat cerita, penyerangan pertama dimulai pada hari Jumat 6 April 1453, tepat setelah matahari tergelincir. Sayangnya pada penyerangan pertamanya, pasukan Mehmed II kalah telak.
Baca juga: Tokoh Muslim Indonesia Pembicara di Vatikan
Dari sisi laut, walau telah membawa 400 kapal perang, namun ukuran kapal tersebut jauh lebih kecil dari 27 kapal-kapal Konstantinopel yang megah, besar, dan lebih canggih.
Di darat, pasukan Mehmed II terus berusaha menembakkan meriam ke tembok Theodosia, sayangnya meriam itu hanya bisa ditembakkan 3 jam sekali sehingga sehari semalam mereka hanya bisa menembakkan 7-8 kali tembakan.
Sementara tembok Theodosia tetap kokoh berdiri, karena setiap ada tembakan pasukan Konstantinopel akan sigap memperbaiki kerusakan yang terjadi. 3 jam adalah waktu yang cukup untuk memulihkan kembali tembok besar itu.
Dua minggu pasca penyerangan pertama, Konstantinopel belum berhasil ditaklukan. Dengan kecerdasannya, Al Fatih kembali menyusun strategi untuk menembus Konstantinopel melalui jalur yang sangat minim perlindungan.
Terdapat satu wilayah perairan yang tidak dijaga ketat karena terhalang oleh bukit-bukit dan tidak memungkinkan kapal bisa masuk ke perairan tersebut. Namun, Mehmed II justri memutuskan untuk membawa kapal-kapalnya melalui bukit tersebut untuk bisa masuk ke wilayah Konstantinopel.
Terlihat tidak masuk akal dan tidak mudah. Namun Mehmed II berkata pada pasukannya seperti dikutip dari banyak buku sejarah islam,
“Jangan katakan tidak bisa kepadaku sebelum kamu mati dalam mencobanya,” tegas Mehmed II kala itu.
Mehmed II pun memberi arahan untuk meratakan tanah kemudian menyiapkan papan kayu yang disusun dengan lapisan minyak, kemudian kapal-kapal itu ditarik dan melewati perbukitan. Alhasil dalam satu malam, 72 kapal berhasil dipindahkan dan mendekat ke pusat kota.
Sejak itu, tepatnya 20 April hingga 27 Mei pasukan Mehmed II terus menyerang Konstantinopel hingga pasukannya berhasil melubangi tembok Theodosia dan tidak mungkin untuk bisa diperbaiki lagi.
Menariknya, walau kemenangan sudah di depan mata, Mehmed II memutuskan untuk menghentikan perang sementara pada tanggal 27 Mei. Karena keimanannya, ia memerintahkan seluruh pasukannya untuk berpuasa keesokan harinya pada tanggal 28 Mei. Malam menjelang, 29 Mei 1453, Mehmed II dan pasukannya melaksanakan salat tahajud bersama.
Keesokan harinya pada tanggal 29 Mei 1453, kerusakan tembok ini menjadi kesempatan besar pasukan Mehmed II memasuki seluruh wilayah Kota Konstantinopel.
Ribuan pasukan Konstantinopel berikut Kaisar Konstantin XI Palaiologos mati dalam serbuan pasukan Utsmaniyah tersebut. Maka tanggal 29 Mei 1453 tepat 53 hari pengepungan dan penyerangan, Pasukan Utsmaniyah di bawah pimpinan Mehmed II berhasil menaklukan jantung peradaban Kristen terbesar saat itu.
Nama Muhammad Al Fatih pun dia dapatkan setelah berhasil menaklukan Kota Konstantinopel. Al Fatih sendiri bisa diartikan sebagai Sang Penakluk.

Pasca Peperangan
Malam sebelum hari kemenangan atas Konstantinopel, setelah salat tahajud berjamaah, Al Fatih berkhotbah di depan ratusan ribu pasukannya yang tersisa. Ia menegaskan ketika Konstantinopel telah takluk, pasukannya tidak merampas hak-hak warga, tidak menyakiti masyarakat terutama perempuan dan anak-anak, serta orang-orang yang tidak berdaya.
Ia juga meminta pasukannya tidak mengusik tempat peribadatan seperti gereja-gereja. Termasuk tidak memaksa masyarakat untuk memeluk Islam karena peperangan ini.
Sebelum matahari bersinar dari ufuk timur, pasukan Utsmaniyah berhasil merebut Konstantinopel, Al Fatih masuk ke tengah kota dan menuju Hagia Sophia yang kala itu merupakan gereja untuk umat kristen Ortodoks.
Di depan masyarakat Konstantinopel yang sedang ketakutan, Al Fatih menjamin keselamatan masyarakat yang ingin tetap berada dan tinggal di Konstantinopel. Properti yang dimiliki tetap menjadi hak milik masyarakat seutuhnya.
Namun terkhusus Hagia Sophia, Al Fatih meminta gereja ini menjadi properti pribadi miliknya dan ia ubah menjadi masjid. Hari itu juga patung, gambar, serta ornamen-ornamen gereja ditutup dan dibuatkan mimbar. Hari itu, azan pertama terdengar berkumandang di Kota Konstantinopel saat masuk waktu Ashar.
Dari segi ekonomi, pasca peperangan populasi Konstantinopel menurun hingga di bawah 50 ribu. Al Fatih yang juga memahami ilmu ekonomi memutuskan untuk membangun mal atau bazar pertama di Konstantinopel yang diikuti lebih 3.000 tenant. Perlahan perekonomian dan populasi meningkat di sana.
Baca juga: Tokoh Agama Penting Bumikan Nilai Pancasila
Penyebaran Islam Di Turki
Sejak penaklukan Konstantinopel, Kesultanan Ustmaniyah mulai berkuasa lebih luas di Turki. Konstantinopel juga diputuskan menjadi ibukota kesultanan Utsmaniyah. Maka secara tidak langsung banyak orang Utsmaniyah yang notabene muslim tinggal di kota itu.
Sejak menang dalam peperangan ini, kekuatan militer Utsmaniyah tidak pernah terkalahkan. Kecerdasan dan ketepatan Al Fatih dalam membuat dan memutuskan strategi perang diakui lawan-lawannya saat itu.
Belum lagi susunan pejabat di Kesultananya Utsmaniyah yang diisi oleh orang-orang kepercayaan Al Fatih, membuat Kesultanan Utsmaniyah sangat disegani.
Al Fatih wafat saat berusia 49 tahun, karena sakit asam urat yang dideritanya. Namun, beberapa sumber sejarah menyebutkan ada dugaan Al Fatih tewas karena diracun oleh anak sulung sekaligus pengganti tahtanya, Bayezid.
Jauh sebelum Istanbul menjadi seperti hari ini, tanah itu memang telah menjadi saksi kegigihan sebuah kekhalifahan memperluas kekuasaannya, tanpa harus menanggalkan prinsip toleransi yang dianut.