09 Juni 2025
14:38 WIB
Ketika AI Jadi "Ahli Gambar" Untuk Ciptakan Motif Batik Baru
Penggunaan AI di dunia kriya batik masih belum umum dilakukan. Namun ada inisiatif untuk memanfaatkan teknologi tersebut dalam menciptakan desain dan motif, melahirkan ragam batik baru.
Editor: Andesta Herli Wijaya
Visual batik dengan model yang dibuat oleh AI. Dok: APPBI.
JAKARTA - Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI), Yayasan Batik Jawa Barat (YBJB), Yayasan Batik Indonesia (YBI) serta Paguyuban Perajin dan Pengusaha Batik Cirebon (P3BC), berkolaborasi meluncurkan "Kampung Batik AI" di Desa Panembahan, Cirebon. Program ini menandai inovasi mutakhir di dunia perajin batik untuk memanfaatkan teknologi kecerdasan buatan atau AI dalam memproduksi batik.
Dengan memanfaatkan kemampuan AI untuk mengkreasikan bentuk visual digital, para perajin bisa mendapatkan desain motif baru secara mudah. Hanya dalam waktu singkat, AI bisa menghasilkan puluhan ragam corak batik sesuai yang diperintahkan.
Namun muncul pertanyaan, apakah berarti perajin kini telah digantikan oleh AI dalam proses membatik?
Ketua Umum APPBI, Komarudin Kudiya mengatakan, kehadiran AI hanya membantu, bukan menggantikan manusia. Pasalnya, dalam proses itu, AI menciptakan bentuk visual berdasarkan kalimat perintah (prompt) yang dibuat langsung oleh si perajin atau seorang batik visual stylish AI.
"AI dengan data set-nya, walaupun bermiliar-miliar gambar dibikin, tapi ketika nge-prompt-nya nggak benar, keluarnya itu asal saja. Namun ketika si prompter-nya atau batik visual stylish AI mampu susun prompt yg jelas, maka dia akan ikuti yang kita mau. Artinya, gimana pun, di sini manusianya yang menjadi kunci," ungkap Komarudin saat dihubungi Validnews, Sabtu (7/6).
Dengan kata lain, AI hanya bekerja berdasarkan kemampuan si penggunanya. Jika tanpa pengetahuan yang cukup tentang dunia batik, juga tanpa pengalaman yang cukup, maka seseorang tak bisa menghasilkan desain batik yang bagus dengan AI. Pasalnya, pengetahuan dan pengalaman, itulah yang menjadi dasar seseorang bisa menyusun perintah atau prompt yang baik untuk diproses dengan AI.
Jika tak mengerti corak Pekalongan, Yogyakarta atau Cirebon, bagaimana mungkin seseorang bisa membuat corak baru yang tak 'menabrak' motif-motif yang sudah ada, sehingga tak menghasilkan orisinalitas. Belum lagi, pengetahuan tentang elemen-elemen umum pada corak batik penting untuk bisa membuat perintah yang spesifik pada platform AI.
Namun begitu, Komarudin tak menampik adaptasi AI di dunia kerajinan batik akan membawa peningkatan signifikan dalam beragam aspek. AI bisa mempercepat proses penciptaan ide visual batik. Bentuk digital itulah yang kemudian disalin ke kain, setelah melalui serangkaian proses tradisional. semua proses itu dikendalikan oleh si perajin sendiri.
"Jadi boleh dikatakan 90 persennya nanti larinya itu ke manusianya, AI hanya alat," tegas Komarudin.
Komarudin menegaskan, adaptasi AI merupakan langkah untuk menjawab tantangan pelestarian. Pasalnya, hari ini sudah semakin sedikit ahli gambar, alias orang-orang yang mampu menciptakan desain motif batik baru.
"Awalnya ini berangkat dari fakta di beberapa daerah sekarang semakin berkurangnya orang-orang yang bisa mengkreasikan ragam hias batik. Kami sendiri di Cirebon, guru-guru kami yang bisa menggambar itu semakin langka, habis semua, nggak ada generasi yang kreatif memunculkan ragam-ragam hias yang baru," jelas Komarudin.
Terkait aspek orisinalitas serta etika dalam pengembangan estetika, Komarudin memastikan AI tak akan menabrak semua itu. Menurutnya, AI memiliki karakter unik di setiap perangkatnya. Meski satu rangkaian perintah digunakan oleh lima orang perajin di perangkat yang berbeda-beda, yang dihasilkan pun tidak akan sama. Hal ini memastikan bahwa gambar visual batik hasil AI juga memiliki nilai orisinal.
Tinggal lagi soal etika, menurut Komarudin, diperlukan kepekaan yang baik pada para perajin yang memanfaatkan AI. Ketika menggunakan motif atau elemen tertentu dari batik yang sudah ada sebagai referensi penciptaan dengan AI, penting bagi pengerajin untuk menyatakan rujukannya tersebut.
"Ya ketika orang-orang yang kerja dengan AI diberi arahan jelas. Ketika unggah ragam hias tradisional di platform, misalnya, harus disebut ragam ini diinspirasi dari motof batik mana, misal batik Cirebon, batik Indramayu, Keraton Yogyakarta, dan lain-lain. Ini harus dipahami agar jelas literasinya," terang Komarudin.
Dia menjelaskan, adaptasi teknologi bukanlah sesuatu yang tabu di dunia kerajinan, khususnya kerajinan batik. Dari masa ke masa, para perajin selalu beradaptasi dengan perkembangan zaman, berinovasi dalam berbagai aspek dengan beragam teknologi yang membantu mereka dalam bekerja. Dari teknologi konvensional seperti kompor gas hingga yang berwujud digital semacam AI.
Maka itu, Komarudin menilai pemanfaatan AI pada aspek penciptaan desain batik akan membawa kemajuan signifikan bagi industri kriya batik ke depannya. Pasalnya, dengan AI, puluhan desain batik bisa dibuat hanya dalam waktu beberapa saat saja.
Selain itu, adaptasi AI juga dibayangkan nantinya akan melahirkan profesi baru di industri batik, yakni batik visual stylish AI alias pencipta visual batik berbasis AI.
Baca juga: Batik AI, Upaya Menjawab Tantangan Pelestarian dengan Teknologi Baru
Kampung Batik AI
Program Kampung Batik AI di Cirebon menurut Komarudin merupakan respon strategis atas maraknya penggunaan teknologi AI yang berkembang pesat namun masih belum terkoordinasi secara baik dalam ranah industri kreatif, khususnya kerajinan batik. Kampung Batik AI menjadi simbol perubahan dan transformasi kultural di tengah arus disrupsi teknologi yang tak terelakkan.
Kampung Batik AI di Cirebon melibatkan sekitar 20 perajin muda yang mengikuti serangkaian pelatihan terkait penggunaan AI dan teknologi digital untuk menghasilkan batik. Di sini, peserta diajarkan mulai dari pengenalan dasar tentang AI generatif, manfaat praktis bagi industri batik, kebutuhan perangkat teknologi seperti komputer dan notepad, hingga simulasi pembuatan desain motif batik secara digital.
Di sana, para perajin melihat bagaimana AI mampu menghasilkan variasi motif dengan cepat, iteratif, dan tetap bisa diarahkan oleh preferensi kreatif perajin batik tradisional yang sebagian besar mereka sudah cakap memproduksi batik-batik tulis. Dari gambar yang dihasilkan AI, barulah kemudian diterjemahkan ke kain lewat serangkaian metode membatik yang sudah ada selama ini.
Komarudin sendiri menulis buku Revolusi Batik AI yang merangkum gagasan, proses, serta refleksi budaya dari hasil interaksi kreatif antara manusia dan teknologi dalam dunia perbatikan. Buku ini menjelaskan bagaimana teknologi AI dapat menjadi katalis untuk regenerasi industri batik yang saat ini menghadapi tantangan serius dalam hal sumber daya manusia, stagnasi inovasi desain, serta kompetisi dari produk tiruan bermotif batik yang diproduksi secara massal.