02 Januari 2025
20:35 WIB
Jalan Terjal Dan Berliku Jadi Pusat Mode Muslim Dunia
Banyak aspek yang harus dipenuhi untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mode muslim dunia. Meski menjadi negara muslim terbesar, cita-cita itu mungkin masih harus melewati jalan terjal dan berliku.
Penulis: Gemma Fitri Purbaya
Editor: Rikando Somba, Rendi Widodo,
Gelaran Indonesia International Modest Festival (IN2MOTIONFEST) yang menampilkan karya desainer fesyen muslim. ValidnewsID/Fikhri Fathoni
JAKARTA - Sejak beberapa tahun lalu, pemerintah telah memproyeksikan Indonesia bisa menjadi pusat fesyen muslim dunia pada 2024. Bagaimana tidak, industri fesyen muslim di Indonesia setiap tahunnya mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Di samping itu, Indonesia merupakan salah satu negara muslim terbesar.
Data State of the Global Islamic Economy Report 2022 bahkan menunjukkan Indonesia berada di peringkat ketiga dunia untuk sektor modest fesyen muslim, setelah Uni Emirat Arab dan Turki. Peluang ini tentunya harus dimanfaatkan, mengingat potensi belanja umat muslim dunia mencapai US$925 miliar, dengan perhitungan konsumsi fesyen muslim di Indonesia sekitar US$20 miliar.
Kementerian Perdagangan Indonesia mencatatnya. Bahkan, laju pertumbuhannya pun mencapai 18,2% per tahun. Pesat, bukan?
Memanfaatkan momentum ini, berbagai perhelatan fesyen di Indonesia mulai bermunculan. Sebut saja, Indonesia Fashion Week (IFW), Jakarta Fashion Week (JFW), Jakarta Modest Fashion Week (JMFW), Muslim Fashion Festival (Muffest), sampai Indonesia International Modest Fashion Festival (IN2MF). Tujuannya tentu saja memperkenalkan fesyen Indonesia ke kancah internasional, terutama fesyen muslim.
Dengan maraknya beragam pagelaran tersebut, target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai kiblat fesyen muslim dunia pada 2024 seharusnya bisa tercapai, kan?
Entah karena pandemi atau masih banyak pekerjaan rumah (PR) yang dihadapi industri fesyen muslim Indonesia, sampai pergantian tahun 2025 ini, hal ini belum terwujud. Keinginan untuk menjadi pusat fesyen muslim dunia masih sebatas mimpi. Meskipun beberapa orang telah mengklaim bahwa Indonesia sudah menjadi kiblat bagi mode muslim dunia, faktanya tidak demikian.
Tujuan itu masih on-going dan harapannya baru bisa tercapai pada 2025. Setidaknya, itu yang dikatakan oleh National Chairwoman Indonesia Fashion Chamber (IFC), Lenny Agustin.
"Kita sudah mencapai sekian puluh persen-lah untuk menjadi pusat mode muslim dunia karena beberapa ajang kita kan merupakan perhelatan fesyen modest terbesar di dunia. Selain itu juga tidak ada event yang mengkhususkan pada produk fesyen muslim. Jadi, ya kita sudah pede untuk bisa mencapai target itu di 2025," kata Lenny saat ditemui di perhelatan IN2MF beberapa waktu lalu di Jakarta.
Dia menambahkan, untuk menjadi pusat mode muslim dunia, sebenarnya dapat dilihat melalui dua hal. Pertama, besaran dan banyaknya perhelatan fesyen yang sudah digelar di negara tersebut. Kedua, masifnya masyarakat yang menggunakan produk fesyen itu dan bisa menjadi inspirasi mode dunia. Hal itu perlahan sudah dicapai oleh Indonesia.
Dia bercerita, bahkan fesyen modest muslim Indonesia sendiri kerap menjadi inspirasi di banyak negara, seperti Malaysia dan Turki. Maka dari itu, meskipun belum sepenuhnya menjadi kiblat dunia sekarang, tetapi pada 2025 ini seharusnya mimpi tersebut bisa tercapai.
"Di Turki kan ada yang namanya 'Jakarta Style'. Itu kan sudah menjadi inspirasi dan rujukan. Selain itu, Indonesia menjadi tempat bisnis di mana buyer bisa mengambil produk-produk lokal untuk negara mereka dan mengedarkan produk kita, itu yang ingin kita capai. Brand lokal pun sudah siap untuk go international," ucap Lenny mantap.
Namun, itukah yang menjadikan Indonesia layak menjadi pusat mode muslim dunia?

Diversitas Mode Muslim
Pengamat Fesyen Modest dan Founder Modest Fashion Week (MFW), Franka Soeria memiliki pandangan lain terkait itu. Menurutnya, mimpi Indonesia menjadi pusat mode muslim dunia pada 2025 tidak realistis. Pasalnya, pusat mode muslim dunia bukan semata-mata sering mengadakan acara pagelaran busana saja.
Menjadi pusat mode muslim dunia lebih dari itu, yakni ketika seseorang mengingat kata 'fesyen modest' maka akan langsung mengingat kota atau negara tersebut. Terang, ini belum bisa dicapai oleh Indonesia. Secara gamblang dia mengungkapkan, selain brand lokal, merek-merek luar negeri yang berdatangan untuk memamerkan produknya di Indonesia dalam ajang pagelaran busana masih belum datang secara organik alias diberikan slot secara cuma-cuma, bahkan dipersiapkan akomodasinya.
Artinya, posisi Indonesia masih belum cukup ‘penting’ bagi brand luar negeri itu untuk datang dan memamerkan produknya di sini. Tentunya, titel ‘pusat mode muslim dunia’ juga belum bisa disematkan atau diklaim oleh Indonesia.
“Target 2025 tidak realistis karena masih banyak elemen untuk menjadi pusat mode muslim dunia yang belum ada, kalau mau ‘dikebut’ mungkin bisa. Untuk mencapai ini harus organik, harus membuat Indonesia menjadi ‘penting’. Jadi kalau ada acara atau mengeluarkan tren, orang-orang mau mendengarkan. Kalau dari kita saja yang deklarasi (tanpa ada pengakuan dari dunia), ya semua orang bisa deklarasi,” ungkap Franka lewat sambungan telepon, Selasa (31/1).
Salah satu alasan utama Indonesia masih belum bisa menjadi pusat mode muslim dunia juga adalah karena kurangnya diversitas atau keberagaman dalam fesyen yang ditawarkan.
Franka beralasan, hampir semua pagelaran busana yang digelar di Indonesia, mengharuskan penggunaan kain tradisional (wastra). Tidak hanya itu, pagelaran busana brand atau desainer lokal di luar negeri juga diminta untuk memakai wastra. Sebenarnya hal itu sah-sah saja karena memperkenalkan keindahan wastra Nusantara, tetapi layaknya pedang bermata dua, itu malah menimbulkan persepsi di mata dunia bahwa fesyen Indonesia adalah kain tradisional.
"Di Indonesia, fashion show semuanya harus pakai bahan tradisional (wastra). Ini membuat persepsi Indonesia itu adalah kain (wastra). Desainer brand tidak dilihat sebagai orang dengan idenya, tetapi lebih ke kainnya dipakai atau tidak. Dari perspektif netral, saya belum lihat negara lain yang memberikan pressure pada brand dan desainer untuk pakai kain tradisional untuk go international," timpalnya.
Seharusnya, jika ingin menjadi pusat mode muslim dunia, Indonesia harus menawarkan banyak pilihan atau opsi dalam berbusana, tidak hanya pakaian berbalut wastra. Kenyataannya, tidak semua orang memiliki keinginan atau kebutuhan untuk membeli produk fesyen muslim yang menggunakan kain wastra, terutama buyer luar negeri, yang mungkin bahkan menganggap kain tradisional Indonesia adalah kain eksotik dan memiliki pasar segmented. Sementara itu, mereka membeli produk untuk dijual kembali di negaranya.
Selain itu, selera dan preferensi fesyen setiap orang pun berbeda-beda, apalagi negara-negara barat.
"Ada yang suka gaya minimalis, gaya sustainable, yang ada craft, dan lainnya, jadi tidak bisa hanya menyajikan satu pilihan ke dunia seperti pakaian dengan wastra. Menjadi pusat mode muslim dunia itu artinya keberagaman, banyak pilihan. Akhirnya yang membuat kita kurang daya tawar adalah karena yang kita tawarkan ke luar negeri hanya satu, yaitu wastra," pungkas Franka.
Nyaman Dengan Pasar Lokal
Selain pentingnya diversitas mode muslim untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mode muslim dunia di 2025, Indonesia juga harus memiliki rencana yang jelas. Semisal, di mana daerah atau pusat perbelanjaan modest muslim di Indonesia, apa saja pengalaman yang bisa diberikan, dan lainnya, yang harus bersinergi dengan baik sejak dari seseorang sebelum datang ke Indonesia, sampai kembali pulang ke negaranya. Hal itu belum tersedia, menurut Franka.
Sekalipun ada pusat perbelanjaan Tanahabang dan Thamrin City yang terkenal di seantero Asia Tenggara, tetapi pemerintah setempat seolah tidak mengambil serius kesempatan itu sebagai ‘umpan’ agar masyarakat luar yang berbelanja bisa mengulik fesyen modest Indonesia.
Akibatnya, fesyen modest muslim Indonesia masih segitu-segitu saja. Padahal potensi Indonesia sebagai kiblat fesyen muslim dunia cukup besar. Selain itu, dari segi brand dan desainer juga masih perlu dibenahi.
Dalam eksekusi, tidak jarang brand dan desainer Indonesia memadu padankan busana muslim yang terlalu 'ramai' atau berlebihan. Merek-merek banyak menggunakan warna-warna dan motif yang berani, bold, dan saling tabrak.
Sementara jika dibawa ke luar negeri, tidak semua orang menyukai gaya dan padu padan seperti itu. Bahkan, di dunia internasional, fesyen modest muslim merupakan gaya yang elegan dan cantik, bukan gaya yang berlebihan.
"Kalau modest itu elegan dan cantik, jadi harus ada estetikanya dan relevan, bukan aneh atau adu heboh. Kita jadi mengirimkan sinyal yang salah ke dunia, kalau fesyen Indonesia itu ramai dan heboh, padahal orang Indonesia banyak yang elegan dan tidak menggunakan pakaian dengan mix and match heboh seperti itu," cerita Franka.
Padu padan heboh seperti itu memang tidak dimungkiri dapat menimbulkan kesan bagi yang menonton. Tetapi belum tentu itu mendatangkan cuan, khususnya jika tampil di luar negeri.
Alih-alih memberikan profit untuk brand sendiri, biasanya mereka hanya melakukannya untuk 'branding' dan menaikkan gengsi di Indonesia. ‘Sudah tampil di Paris, New York, atau Dubai’, bisa membantu meningkatkan citra brand di pasaran, sekalipun nyatanya produknya sepi peminat di luar negeri.
Nyaman dengan pasar dalam negeri menjadi salah satu alasan para merek-merek lokal kita seolah separuh hati membawa produk mereka ke luar. Selain membutuhkan kocek tidak sedikit, alur dan regulasi ekspornya juga nyatanya rumit. Sekalipun sudah mendapatkan dana hibah dari pemerintah, semangat untuk sukses secara internasional jarang bisa dipupuk pada merek lokal.
"Untuk memaksakan suatu bisnis susah, tetapi kami sudah ingatkan jangan terlena karena kita tidak tahu pasar di Indonesia ke depannya gimana. Kalau pasarnya luas kan bisa ada pegangan," kata Lenny.
Apabila masih nyaman dengan pasar dalam negeri, target Indonesia menjadi pusat mode muslim dunia tentunya masih panjang. Mimpi untuk terwujud pada 2025 pun entah bisa tercapai atau tidak. Namun, setidaknya usaha tetap harus dilakukan. Kan, masih ada 363 hari lagi untuk mengejar impian itu jadi kenyataan.