c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

27 Agustus 2025

17:59 WIB

Fenomena Psikosis AI, Bagaimana Kecerdasan Buatan Memperkuat Delusi

Psikosis AI merujuk kondisi "ketergantungan" seseorang terhadap chatbot AI yang menyebabkan terganggunya kesadaran dan pemahaman seseorang terkait realitas.

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p dir="ltr" id="isPasted">Fenomena Psikosis AI, Bagaimana Kecerdasan Buatan Memperkuat Delusi</p>
<p dir="ltr" id="isPasted">Fenomena Psikosis AI, Bagaimana Kecerdasan Buatan Memperkuat Delusi</p>

Ilustrasi seorang yang sedang berinteraksi dengan chatbot. Foto: Freepik.

JAKARTA - Perkembangan dan popularitas teknologi kecerdasan buatan atau AI telah menarik minat anak muda secara luas di seluruh dunia. Kini orang-orang semakin akrab dengan AI, menjadikan teknologi ini sebagai "seseorang" yang bisa menampung cerita, menjawab pertanyaan, bahkan memberikan "saran bijak".

Pendeknya, masa depan yang digambarkan dalam film Her (2013) memang sudah begitu dekat. Kini, apa yang dialami Theodore Twombly (Joaquin Phoenix) dalam cerita tersebut terasa sangat masuk akal, bahwa kita bisa merasa nyaman mencintai sosok Her, subjek AI yang kita kenali hanya dari percakapan-percakapan lewat kolom chat atau suara.

AI menciptakan realitas baru bagi manusia masa kini. Setidaknya bagi sebagian orang berbagai belahan dunia,  AI kini telah menjadi "Her" yang bisa diajak berbincang sebagai teman, penasihat atau bahkan pacar.

Tapi ada bahaya karena orang-orang bisa saja kebablasan. Ilusi AI sebagai subjek "Her" pada akhirnya menjadi gejala delusi pada beberapa orang. Gejala ini kini disebut dengan istilah "Psikosis AI", yaitu kondisi delusi oleh chatbot AI yang dapat memperburuk pemahanan seseorang akan realitas.

Melansir Psychology Today, fenomena psikosis AI atau psikosis menguat seiring semakin banyak orang beralih ke chatbot AI untuk dukungan emosional dan bahkan sebagai terapis. Fenomena ini bukan merupakan diagnosis klinis, namun tampak nyata karena semakin banyak muncul kasus-kasus yang dimaksud. Di mana model AI telah mengamplifikasi, memvalidasi, atau bahkan menciptakan gejala psikotik bersama individu.

Sebuah makalah pracetak baru oleh tim peneliti interdisipliner baru-baru ini meninjau lebih dari selusin kasus yang dilaporkan di media atau forum daring dan menyoroti pola yang mengkhawatirkan dari chatbot AI yang memperkuat delusi, termasuk delusi muluk, referensial, penganiayaan, dan romantis.

Hingga saat ini, belum ada bukti klinis yang menunjukkan bahwa penggunaan AI sendiri dapat memicu psikosis pada individu dengan atau tanpa riwayat gejala psikotik. Namun, bukti kasus-kasus yang muncul cukup mengkhawatirkan.

Bagaimana AI Dapat Memperkuat Delusi dan Gejala Psikotik

Kasus-kasus "psikosis AI" yang dilaporkan belakangan ini di berbagai media, menggambarkan pola individu yang terpaku pada sistem AI. Banyak orang kini menghubungkan perasaan, pengetahuan, perasaan romantis, atau kemampuan pengawasan kepada AI.

Baca juga: Menakar Kemampuan Chatbot AI Kesehatan Mental, Apa Bahayanya?

Para peneliti menyoroti tiga tema pola relasi individu dengan AI yang dianggap bermasalah. Pertama pola mesianik di mana orang-orang AI telah mengungkap kebenaran tentang dunia. Kedua, AI dilihat sebagai "dewa" yang memiliki perasan, kebijaksanaan dan pengetahuan. Terakhir, sebagian orang memposisikan AI sebagai subjek dalam relasi romantis, yang menganggap kemampuan chatbot untuk meniru respon dan emosi adalah cinta sejati.

Dalam beberapa kasus, orang-orang tanpa riwayat kesehatan mental sebelumnya dilaporkan mengalami delusi setelah interaksi berkepanjangan dengan chatbot AI, yang menyebabkan rawat inap psikiatris dan bahkan percobaan bunuh diri. Kasus lain melibatkan seorang pria dengan riwayat gangguan psikotik yang jatuh cinta pada chatbot AI dan kemudian ingin membalas dendam karena ia yakin entitas AI tersebut telah dibunuh oleh OpenAI. Hal ini berujung pada bentrokan dengan polisi yang mengakibatkan ia ditembak dan tewas.

Masalah yang mendasarinya adalah sistem AI tidak dilatih untuk membantu pengguna dalam uji realitas atau mendeteksi episode manik atau psikotik yang sedang berkembang pada pengguna. Kecenderungan chatbot AI umumnya untuk memprioritaskan kepuasan pengguna, percakapan berkelanjutan, dan keterlibatan pengguna, alih-alih intervensi terapeutik.

Model AI seperti ChatGPT, misalnya, dilatih untuk mencerminkan bahasa dan nada pengguna, memvalidasi dan dan menegaskan keyakinan pengguna, memancing perbincangan lanjutan, hingga memprioritaskan kepuasan penggunanya.

Sifat itu pada akhirnya secara tidak langsung bisa memicu atau memperkuat gangguan psikologis pada individu, termasuk memunculkan delusi.

Baca juga: Separuh Pekerjaan Di Masa Depan Akan Membutuhkan Literasi AI

Seorang terapis manusia mungkin tidak secara langsung menantang keyakinan atau delusi psikotik karena hal itu bukanlah praktik terapi terbaik. Namun, ketika chatbot AI memvalidasi dan berkolaborasi dengan pengguna, hal ini memperlebar kesenjangan dengan realitas.

Fenomena ini menyoroti isu yang lebih luas tentang "penjilatan AI", karena sistem AI diarahkan untuk memperkuat keyakinan pengguna yang sudah ada, alih-alih mengubah atau menantangnya. Alih-alih mempromosikan fleksibilitas psikologis sebagai tanda kesehatan emosional, AI justru dapat menciptakan ruang ilusi.

Ketika chatbot mengingat percakapan sebelumnya, merujuk detail pribadi masa lalu, atau menyarankan pertanyaan lanjutan, hal itu dapat memperkuat ilusi bahwa sistem AI "memahami", "setuju", atau "berbagi" keyakinan pengguna. Dampaknya, yakni memperkuat keyakinan pengguna.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar