11 Agustus 2025
12:34 WIB
Separuh Pekerjaan Di Masa Depan Akan Membutuhkan Literasi AI
Laporan Amazon Web Services (AWS) menyatakan bahwa literasi AI akan menjadi kebutuhan dalam pekerjaan di masa depan, sama pentingnya dengan literasi digital secara luas.
Penulis: Arief Tirtana
Sejumlah pelamar sedang bertanya mengenai detail pekerjaan yang akan dilamar. Validnews/Hasta Adhist ra.
JAKARTA - Seiring berkembangnya teknologi kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) secara global, adopsi AI di Indonesia juga mengalami peningkatan yang begitu pesat. Riset terbaru Amazon Web Services (AWS) mengungkapkan bahwa di Indonesia saat ini total ada 18 juta atau 28% dari bisnis (perusahaan) yang telah mengadopsi AI, atau menunjukkan tingkat pertumbuhan tahunan sebesar 47%.
Lonjakan besar juga bisa terlihat sepanjang tahun 2024 lalu, di mana ada 5,9 juta bisnis yang telah mengadopsi solusi AI dalam setahun itu. Atau dalam rata-rata, ada lebih dari sepuluh bisnis per menit yang melakukan adopsi AI.
Pertumbuhan adopsi AI di industri menunjukkan kalau teknologi kecerdasan buatan semakin jadi bagian dari kebutuhan. Karena itu, penguasaan AI, atau literasi AI secara umum diperkirakan akan menjadi bagian dari kompetensi yang dibutuhkan di dunia kerja masa mendatang.
Laporan AWS menyebutkan, literasi AI diperkirakan akan menjadi kebutuhan dalam 48% pekerjaan di masa depan. Pertanyaannya, sudah seberapa jauh literasi AI bagi masayarakat, khususnya kalangan pekerja dan masyarakat usia produktif di Indonesia?
Hal inilah yang jadi sorotan utama dalam laporan AWS bersama Strand Partners bertajuk "Unlocking Indonesia’s AI Potential". Laporan ini utamanya berfokus pada gambaran adaptasi AI oleh pelaku bisnis di Indonesia, yang sekaligus menggambarkan bagaimana kompetensi AI pekerja masa kini.
Lanskap Industri
Laporan ini menyebutkan bahwa sebagian besar pelaku bisnis belum memanfaatkan AI secara mendalam. Bahkan terjadi kesenjangan penggunaan AI terbaru, yang menariknya justru lebih banyak dimanfaatkan oleh perusahaan rintisan (startup), alih-alih perusahaan besar.
"Ini merupakan fenomena menarik yang kami lihat dari hasil studi mengenai adopsi AI di Indonesia. Meskipun 28% bisnis melaporkan telah mengadopsi AI, sebagian besar penerapannya masih bersifat dasar meskipun terjadi adopsi teknologi yang cepat selama satu tahun terakhir," ujar Direktur di Strand Partners, Nick Bonstow dalam keterangan resmi, dikutip Senin (11/8).
Studi "Unlocking Indonesia’s AI Potential" melibatkan 1.000 pemimpin bisnis dan 1.000 anggota masyarakat umum yang mewakili populasi nasional di Indonesia. Dari situ ditemukan hanya 11% dari pelaku bisnis yang telah mengadopsi AI dalam tahap menengah, dan hanya 10% yang mencapai tahap integrasi AI paling transformatif.
Sementara mayoritas, atau hingga 76% pelaku bisnis di Indonesia, masih hanya berfokus pada penggunaan dasar, seperti mendorong efisiensi dan menyederhanakan proses menggunakan AI. Pada kelompok mayoritas ini, AI tak digunakan untuk berinovasi dalam mengembangkan produk baru atau mendisrupsi industri.
Seperti disebutkan sebelumnya, menariknya dalam kategori bisnis, startup ternyata lebih antusias dan inovatif dalam penggunaan AI di Indonesia, mengadopsi penggunaan AI paling maju jauh lebih cepat dibanding perusahaan yang lebih besar atau mapan.
Sebanyak 52% startup di Indonesia menggunakan AI dalam berbagai cara, dan 34% di antaranya membangun produk baru sepenuhnya berbasis AI, memanfaatkan teknologi ini secara maksimal.
Sebaliknya, 41% perusahaan besar menggunakan AI, namun hanya 21% dari mereka yang meluncurkan produk atau layanan baru berbasis AI, dan hanya 22% yang memiliki strategi AI yang komprehensif. Kesenjangan dalam inovasi AI ini mengungkap temuan yang lebih dalam yang dapat membentuk masa depan ekonomi Indonesia.
"Perusahaan besar juga berisiko tertinggal oleh startup yang lebih gesit dan bergerak cepat," kata Bonstow.
Kurangnya Tenaga Kerja Terampil Dalam AI
Dalam laporan itu juga diungkapkan bahwa kesenjangan adopsi AI antara startup dengan perusahaan bisnis besar terjadi karena kurangnya tenaga kerja terampil yang ada di Tanah Air. Ada hingga 57% pelaku bisnis di Indonesia yang mengatakan alasan tersebut sebagai penghambat mereka untuk mengadopsi atau memperluas penggunaan AI.
Banyak bisnis melaporkan bahwa mereka sudah memiliki teknologi dan visi, tetapi belum dapat menemukan orang yang mampu mewujudkannya. Di sisi yang sama, hanya ada 21% bisnis yang merasa tenaga kerja mereka saat ini sudah siap.
Kondisi ini diyakini AWS dapat membahayakan daya saing Indonesia di kancah global dan membatasi potensi ekonominya, mengingat literasi AI diperkirakan akan menjadi kebutuhan di banyak pekerjaan di masa depan.
Laporan ini juga menyoroti sejumlah faktor penting lainnya yang menentukan percepatan adopsi AI oleh industri di Indonesia. Di antaranya termasuk pendanaan dan regulasi terkait AI.