08 September 2025
18:44 WIB
Bagaimana Perjalanan Luar Angkasa Picu Penuaan Pada Manusia
Sel-sel yang dikirim ke ISS menunjukkan sejumlah perubahan, termasuk penurunan kemampuan pembaruan diri, peningkatan kerentanan terhadap kerusakan DNA, dan peradangan pada mitokondria.
Penulis: Arief Tirtana
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi astonaut di luar angkasa. Pixabay/dok.
JAKARTA - Menurut teori relativitas yang dikemukakan Albert Einstein, waktu berlalu lebih lambat di luar angkasa. Sehingga para astronaut akan mengalami penuaan lebih lama di sana. Namun dalam sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh peneliti dari Sanford Stem Cell Institute, University of California, San Diego, menemukan fakta bahwa upaya perjalanan menuju luar angkasa justru bisa mempercepat proses penuan seorang astronot atau manusia.
Dalam studi tersebut, tim peneliti menggunakan sistem nanobioreaktor pelacak stem cells atau sel punca otomatis berbasis kecerdasan buatan (AI) dalam empat misi Layanan Pasokan Komersial SpaceX ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Sistem tersebut melacak perubahan sel punca secara real-time.
Dalam penelitiannya, para peneliti mengirim sel punca ke Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) selama 32-45 hari menggunakan nanobioreaktor yang dikembangkan secara khusus untuk memantaunya. Sementara suntuk perbandingan, mereka menyimpan satu set sel punca lainnya di Bumi, tepatnya di Kennedy Space Center.
Temuan ini menunjukkan bahwa sel punca dan progenitor hematopoietik manusia (HSPC), yang vital untuk kesehatan darah dan sistem kekebalan tubuh itu, kehilangan sebagian kemampuannya untuk menghasilkan sel baru yang sehat, atau menjadi lebih rentan terhadap kerusakan DNA, dan menunjukkan tanda-tanda penuaan yang lebih cepat di ujung kromosomnya setelah penerbangan antariksa. Itu terjadi kemungkinan besar karena tekanan fisiologis ekstrem yang ditimbulkannya pada tubuh.
Sel-sel yang dikirim ke ISS menunjukkan sejumlah perubahan, termasuk penurunan kemampuan pembaruan diri, peningkatan kerentanan terhadap kerusakan DNA, dan peradangan pada mitokondria. Namun, kerusakan tersebut tampaknya tidak permanen. Tim mencatat bahwa perubahan tersebut setidaknya sebagian pulih ketika sel-sel tersebut dikeluarkan dari lingkungan luar angkasa.
"Temuan ini sangat penting karena menunjukkan bahwa pemicu stres di luar angkasa — seperti gravitasi mikro dan radiasi galaksi kosmik — dapat mempercepat penuaan molekuler sel punca darah," kata Catriona Jamieson, direktur Sanford Stem Cell Institute dan profesor kedokteran di Fakultas Kedokteran UC San Diego.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa dengan memahami perubahan ini, tidak hanya memberi tahu bagaimana kita melindungi astronaut selama misi jangka panjang, tetapi juga membantu memodelkan penuaan manusia dan penyakit seperti kanker di Bumi.
"Ini adalah pengetahuan penting saat kita memasuki era baru perjalanan luar angkasa komersial dan penelitian di orbit rendah Bumi," tuturnya.
Baca juga: Studi Ungkap Penyebab Gumpalan Batu Di Permukaan Mars
Hasil temuan ini juga sekaligus melengkapi studi NASA sebelumnya, yang telah menunjukkan bahwa penerbangan antariksa dapat mempengaruhi fungsi kekebalan tubuh dan panjang telomer. Studi yang disebut "NASA Twins Study", merupakan sebuah eksperimen penting selama setahun (2015-2016), di mana astronot Scott Kelly menghabiskan 340 hari di ISS sementara saudara kembarnya, Mark Kelly, tetap berada di Bumi.
Studi melacak perubahan genetika, fisiologi, kognisi, dan mikrobioma, serta menemukan perubahan ekspresi gen, pergeseran panjang telomer, dan perubahan mikrobioma usus. Namun, banyak dari perubahan ini berbalik atau kembali normal setelah astronot Kelly kembali ke Bumi. Studi ini mengidentifikasi beberapa perubahan persisten, seperti peningkatan jumlah telomer pendek dan gangguan ekspresi gen, yang mungkin relevan untuk misi antariksa yang lebih lama.
Tim peneliti dari University of California, San Diego berencana memperluas penelitiannya dengan misi ISS tambahan dan studi berbasis astronaut, dengan fokus pada pemantauan serta potensi tindakan pencegahan farmasi atau genetik untuk melindungi kesehatan manusia di luar angkasa dan sekitarnya.
"Eksperimen luar angkasa begitu kompleks sehingga memaksa kita untuk melakukan penelitian yang lebih baik di darat. Penelitian luar angkasa telah mempercepat kemajuan teknologi di Bumi, membuat penelitian berbasis darat lebih mudah dan lebih relevan bagi kesehatan manusia. Apa yang telah kita pelajari tentang kanker dari penelitian kita di luar angkasa sungguh luar biasa," kata Jamieson.