13 November 2025
14:09 WIB
Badai Geomagnetik "Super" Sedang Terjadi, Berdampak Ke Wilayah Indonesia?
Badai geomagnetik kali ini dipicu oleh aktivitas Matahari yang sangat tinggi berupa ledakan yang memicu lontaran plasma dan medan magnet berkecepatan tinggi yang mengarah ke Bumi.
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi: Badai geomagnetik dari Matahari. ANTARA/Anadolu/py.
JAKARTA - Magnetosfer Bumi saat ini tengah terganggu oleh lontaran besar partikel bermuatan listrik dari matahari, yang menyebabkan badai matahari atau badai magnetik. Para pakar antariksa menyatakan bahwa badai kali ini merupakan dampak dari letupan terbasar tahun ini dari Matahari.
Badai geomagnetik dipicu oleh letupan massa korona (CME) Matahari, yaitu lontaran besar partikel bermuatan listrik dan plasma ke luar angkasa. Ketika menghantam medan magnet Bumi, partikel itu menyebabkan gangguan sementara pada magnetosfer Bumi, yang kemudian memicu badai geomagnetik.
Badai geomagnetik super kuat yang disebut G4 mengitari langit sebagian Bumi saat tengah malam pada 11-12 November. Badai ini menghasilkan aurora di wilayah utara, mulai dari AS, Kanada, hingga Eropa.
Akan tetapi, di samping memunculkan aurora, badai yang diperkirakan masih akan berlangsung hingga Jumat (14/11) ini juga membawa ancaman bagi kehidupan Bumi. Di antaranya, dapat memicu gangguan komunikasi radio hingga navigasi.
Meskipun demikian, dampak itu tampaknya tak akan terjadi di Indonesia. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memastikan badai geomagnetik kuat yang terjadi secara global pada 12–14 November 2025 tidak menimbulkan dampak signifikan terhadap infrastruktur di Indonesia.
Ketua Tim Kerja Geofisika Potensial BMKG, Syirojudin menjelaskan, badai geomagnetik dipicu oleh aktivitas Matahari yang sangat tinggi, berupa suar Matahari kelas X5.1, salah satu kategori terkuat dalam skala pengamatan cuaca antariksa.
"Peristiwa itu memicu lontaran plasma dan medan magnet berkecepatan tinggi atau Coronal Mass Ejection (CME) yang mengarah ke Bumi. Berdasarkan pantauan NOAA Space Weather Prediction Center (SWPC), tingkat badai geomagnetik mencapai level G4 atau kategori berat," ungkap Syirojudin dilansir dari Antara, Kamis (13/11).
Berdasarkan hasil pengamatan di sejumlah observatorium magnet bumi BMKG, seperti di Tondano, Tuntungan, dan Serang, kata dia, aktivitas geomagnetik mulai terdeteksi sejak dini hari pada 12 November dan berlangsung selama tiga hari.
Baca juga: IBM-NASA Luncurkan AI Pendeteksi Aktivitas Matahari
BMKG mengonfirmasi nilai indeks K maksimum menunjukkan kondisi badai berat, namun relatif lebih kecil dampaknya di wilayah Indonesia. Menurut Syirojudin, posisi geografis Indonesia di sekitar garis khatulistiwa menjadi faktor alami yang melindungi dari efek paling ekstrem badai geomagnetik.
"Wilayah ekuator memiliki sabuk magnetosfer yang kuat, disebut Equatorial Electrojet, yang berfungsi sebagai perisai dari partikel berenergi tinggi," ujarnya.
Meskipun demikian, Syirojudin mengingatkan potensi gangguan minor hingga moderat pada sistem komunikasi satelit dan navigasi berbasis GPS, serta kemungkinan gangguan sementara pada komunikasi radio frekuensi tinggi (HF) di wilayah Indonesia. BMKG juga mendorong sektor transportasi udara dan laut yang bergantung pada sistem GPS untuk menyiapkan protokol komunikasi cadangan.
"Tidak ada alasan untuk panik. Perlindungan magnetosfer membuat ancaman terhadap kehidupan sehari-hari maupun jaringan listrik di Indonesia sangat kecil," kata Syirojudin.