c

Selamat

Senin, 17 November 2025

KULTURA

08 Desember 2021

21:00 WIB

Arsitek Yang Membangun Streetwear Dunia

Bersama Off-White, Virgil Abloh memadukan elemen streetwear, musik, seni, luxury, dan travel.

Penulis: Arief Tirtana

Editor: Rendi Widodo

Arsitek Yang Membangun Streetwear Dunia
Arsitek Yang Membangun Streetwear Dunia
Virgil Abloh meninggal dunia setelah berjuang lawan kanker langka. Instagram/@virgilabloh

JAKARTA – Tanggal 28 November 2021 akan selalu diingat sebagai hari yang muram bagi industri fesyen di seluruh dunia. Hari itu, salah satu sosok desainer paling berpengaruh, Virgil Abloh, harus menyerah pada kanker langka cardiac angiosarcoma yang diderita.

Desainer kelahiran 30 September 1980 itu bukan hanya sekadar seorang desainer kulit hitam pertama yang berhasil memegang jabatan penting dalam lini bisnis brand sekaliber Louis Vuitton. Abloh juga sejatinya adalah seorang seniman visioner yang selalu bereksperimen dengan berbagai teknik, metode teknologi, dan inspirasi untuk terus mendorong fesyen dunia.

Darnell Lisby James, sejarawan dan kurator mode yang berbasis di New York mengungkapkan profil Abloh dengan komplet.

Menurutnya, Abloh telah mendobrak beberapa pintu dalam dunia fesyen, melahirkan transisi yang benar-benar nyata. Sekaligus mengubah apa yang sebelumnya dipandang sebelah mata, menjadi barang mewah di arus utama penggemar fesyen kelas atas. Abloh mengangkat kelas streetwear menjadi setara dengan kelas adi busana atau haute couture.

“Caranya mengangkat pakaian jalanan (streetwear) yang begitu dekat dengan pengalaman kulit hitam, cukup mencengangkan,” kata Darnell.

Arsitek Pengguncang Dunia Fesyen
Lahir dari imigran kulit hitam keturunan Ghana yang hijrah ke Amerika Serikat, sangat sulit rasanya membayangkan Virgil Abloh untuk bisa mencapai posisinya di dunia fesyen. Terlebih dirinya tidak memiliki latar belakang pendidikan fesyen sama sekali.

Abloh pun mengakui hal tersebut dalam sebuah wawancara dengan Dazed sekitar tahun 2019. Ketika dirinya dulu sempat berpikir bahwa fesyen adalah satu-satunya industri yang mungkin bisa dirasakan banyak orang, tapi tidak untuk dirinya.

"Sebagai anak kulit hitam dari Rockford, Illinois, dari orang tua imigran asal Ghana, Afrika Barat, itu seperti mustahil. Seperti sebuah kategori peristiwa yang tidak akan pernah terjadi dalam hidup," ucap Abloh.

Akan tetapi, ternyata semua keraguan tersebut bisa dijawab sendiri olehnya. Kala sejak di bangku kuliah, Abloh sudah mengasah minatnya di dunia fesyen, kendati dirinya berkuliah di jurusan teknik sipil dari Universitas Wisconsin-Madison dan kemudian melanjutkan master arsitektur di Institut Teknologi Illinois setelahnya.

Alih-alih merancang bangunan, Abloh justru lebih sering merancang t-shirt dan juga menulis untuk sebuah blog fesyen terkenal The Brilliance.

Abloh juga sempat belajar dasar-dasar desain pakaian dari sang Ibu yang merupakan penjahit. Keseriusannya dimanifestasikan dengan memulai karier sebagai seorang karyawan magang di brand fesyen mewah asal Italia, Fendi pada tahun 2009.

Dengan gaji hanya US$ 700 per bulan, Abloh lebih banyak bertugas membuat cappuccino, memfotokopi, dan hanya mendesain pakaian menggunakan photoshop. Akan tetapi, perlahan tapi pasti dia mulai mencuri perhatian ranah fesyen saat diberi kepercayaan merancang pakaian asli oleh Fendi.

Michael Burke, mantan CEO Louis Vuitton dalam sebuah wawancara dengan The New York Times mengakui sangat terkesan ketika pertama kali melihat hasil karya Abloh bersama rekan magangnya di Fendi, Kanye West. Menurutnya Abloh dan Kanye benar-benar sukses mencuri perhatian dengan membawa suasana baru lewat metafora dan kosakatanya untuk menggambarkan sesuatu yang jadul seperti Fendi. 

"Saya telah mengikuti kariernya sejak saat itu,” tukas Michael Burke di artikel itu. 

Kedekatan Abloh dengan Kanye, sempat membawanya menjadi direktur kreatif Donda, agensi kreatif milik rapper asal Amerika Serikat tersebut, usai magang di Fendi. Sebelum kemudian Abloh akhirnya memberanikan diri untuk membuat lini fesyen sendiri pada tahun 2012 dengan nama Pyrex Vision.

Lewat Pyrex Vision, pada dasarnya Abloh hanya memodifikasi berbagai pakaian dari Champion dan Ralph Lauren, dan menambahkan sablon "Pyrex" dan nomor "23" di bagian belakang. Pyrex Vision memang hanya bertahan setahun. Akan tetapi, itu sudah cukup untuk membuat nama Abloh semakin dikenal di dunia fesyen. Hingga akhirnya dirinya membentuk Off-White di tahun 2013.

Bersama Off-White, dengan ide kreatif memadukan elemen streetwear, musik, seni, kemewahan (luxury), dan perjalanan (travel). Hanya butuh setahun sampai kemudian super star seperti Beyoncé dan Nicki Minaj menggunakan karyanya dalam video klip musik mereka.

Pada dasarnya, apa yang dihadirkan Abloh hanyalah pakaian-pakaian sederhana, khas streetwear. Selayaknya t-shirt, sweater, juga hoodie. Namun, Abloh selalu bisa membuat seluruh rancangannya tampil menonjol, dengan sejumlah sentuhan seperti motif garis-garis hitam putih, tanda panah dan juga tulisan Off-White yang terpampang jelas.

Dengan keberadaan Off-White, pengakuan dunia fesyen kepada suami dari Shannon Sundberg itu semakin menjadi-jadi. Mulai dari dinobatkan sebagai finalis dalam LVMH Prize pada tahun 2015, hingga memenangkan British Fashion Award untuk Best Urban Luxe Brand pada tahun 2019.

Tak terhitung juga berapa fashion show yang telah diikuti Abloh dengan brand Off-White. Termasuk juga berbagai kolaborasi yang sukses dilakukannya dengan sejumlah brand besar.

Terobsesi dengan kolaborasi
Bicara Abloh, tentu tidak bisa dipisahkan dengan soal kolaborasi. Obsesinya dengan kolaborasi bisa dibilang menjadi salah satu poin penting yang membesarkan namanya di dunia fesyen.

Banyak kolaborasi yang dilakukannya.  Baik ketika dirinya menempati posisi CEO Off-White, maupun saat menjabat direktur artistik pakaian pria Louis Vuitton sejak tahun 2018, Abloh bekerja sama dengan banyak orang. Dia seakan tidak pernah memberi batasan untuk berkolaborasi dengan siapapun, brand manapun, dan produk apapun juga.

Dirinya pernah berkolaborasi dengan Kanye West dan ASAP Rocky yang seorang musisi untuk menciptakan sebuah pakaian. Hingga dengan IKEA menciptakan sejumlah furniture, dengan Evian menciptakan botol air, Warby Parker menciptakan bingkai foto dan masih banyak lainnya.

Tetapi dari banyaknya kolaborasi tersebut, satu yang paling mencuri perhatian tentu saja kolaborasinya dengan Nike, menghadirkan sebanyak 10 sepatu Off-White X Nike atau yang dijuluki "The Ten".

Dalam kolaborasi tersebut, Abloh dengan gaya dekonstruktivisme-nya, mengubah sejumlah siluet sepatu Nike yang sudah ikonik, menjadi semakin menarik dengan sentuhan-sentuhan khasnya.

Sepuluh sepatu tersebut pun dibagi menjadi dua tema. "REVEALING" dirancang agar terlihat mudah diakses. Menggunakan desain dasar Air Jordan I, Nike Air Max 90, Nike Air Presto, Nike Air VaporMax dan Nike Blazer Mid.

Kemudian "GHOSTING" yang dirancang dengan bagian atas tembus pandang dengan desain dasar Nike Zoom Fly SP, Nike Air Force 1 Low, Nike React Hyperdunk 2017, Nike Air Max 97 dan juga Converse Chuck Taylor.

Ketika mengumumkan kolaborasinya dengan Nike, Abloh mengatakan, baginya 10 sepatu tersebut berada pada level yang sama dengan patung David atau Daud (sculpture of David) karya Michelangelo atau lukisan Mona Lisa dari Leonardo da Vinci.

“Apa yang kita bicarakan di sini lebih besar dari sepatu kets, lebih besar dari budaya desain,” tegas Abloh.

Dengan visinya Abloh memang benar-benar mampu membuat semua hasil kolaborasinya itu menjadi barang-barang buruan di dunia streetwear atau anak muda yang dikenal sebagai kalangan hypebeast. Anak-anak muda dari kangan the have seakan wajib punya produk karya Abloh.

Namanya pun seakan sudah seperti Nabi di dunia streetwear. Di saat apapun yang dihadirkan olehnya akan langsung menarik minat kalangan hypebeast, menjadi tren dan membuat harga produk tersebut melambung tinggi dari harga aslinya. Menariknya, sebelum akhirnya meninggal dunia. Pada tahun 2019, Virgil Abloh sempat memprediksi bahwa streetwear, apa yang sudah membesarkan namanya itu, akan mati ketika memasuki tahun 2020 dan setelahnya.

Menurutnya tren akan terus berubah, dan streetwear akan tergantikan oleh gaya vintage. Sebuah visi yang bisa dikatakan memang benar terjadi akhir-akhir ini.

"Saya pasti akan mengatakan itu (streetwear) akan mati. Waktunya akan habis. Dalam pikiran saya, berapa banyak lagi t-shirt yang bisa kita miliki, berapa banyak lagi hoodies, berapa banyak sepatu kets?" tegas Abloh memprediksikan tren ke depan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar