16 Oktober 2025
19:18 WIB
Ahli Gizi Soroti Kebiasaan Masyarakat Abai Keamanan Pangan
Makanan-makanan kaki lima atau yang dijajakan di jalanan banyak yang digemari anak-anak. Sayangnya, selain komposisi gizinya yang belum seimbang, aspek higienitas makanan juga sering diabaikan.
Editor: Andesta Herli Wijaya
Ilustrasi Seseorang Memakan Seblak, salah satu makanan yang banyak dijajakan di pinggir jalan. Shutterstock/Ayudia Fatma.
JAKARTA - Keseimbangan gizi masih menjadi tantangan besar bagi masyarakat Indonesia. Meski kesadaran akan pentingnya hidup sehat semakin meningkat, pola konsumsi harian masyarakat nyatanya masih jauh dari ideal.
Mengutip data Kementerian Kesehatan, pola makan masyarakat di Indonesia saat ini masih belum bisa dikatakan seimbang. Hal ini terlihat dari masih tingginya angka obesitas yang meningkat dari 21,8% pada tahun 2018 menjadi 23,4% pada tahun 2023.
Menurut Laurencia Okky Wijayanti, ahli gizi dari RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, salah satu penyebab terjadinya obesitas adalah mudahnya akses terhadap makanan yang tinggi karbohidrat dan lemak, namun rendah serat dan protein.
"Fenomena ini terlihat jelas pada jajanan sehari-hari yang banyak dijajakan di sekitar sekolah. Masih banyak pedagang makanan yang menawarkan jajanan kurang sehat, seperti cilok, cireng, mi instan, dan minuman kemasan tinggi gula," ujar Okky kepada Validnews beberapa waktu lalu.
Menurutnya, makanan-makanan tersebut digemari anak-anak, namun sayangnya kandungan gizinya tidak seimbang. Selain komposisi gizi yang belum seimbang, aspek higienitas makanan juga sering diabaikan.
Okky mengingatkan bahwa makanan yang tampak enak dan populer belum tentu aman untuk dikonsumsi jika tidak diolah dengan cara yang benar.
"Konsumsi makanan tidak higienis dapat menimbulkan diare, infeksi saluran cerna, bahkan keracunan makanan yang bisa berakibat fatal," jelasnya.
Baca juga: Angan Menyantap Kuliner Jalanan Tanpa Risiko Diare
Dia menjelaskan, banyak kasus keracunan makanan terjadi akibat kontaminasi bakteri yang dapat muncul karena berbagai faktor mulai dari suhu penyimpanan bahan baku yang tidak sesuai standar, proses pemasakan yang tidak matang sempurna, hingga penggunaan peralatan dapur yang tidak dibedakan antara bahan mentah dan matang.
"Misalnya, penggunaan pisau dan talenan yang sama untuk daging mentah dan sayuran, air yang tidak memenuhi standar air minum, hingga suhu penyimpanan makanan yang tidak sesuai. Semua itu bisa meningkatkan risiko kontaminasi silang, terang Okky.
Lebih lanjut, Okky menegaskan bahwa makanan dengan komposisi gizi seimbang tidak akan memberikan manfaat apa pun apabila proses pengolahannya tidak memperhatikan aspek keamanan pangan.
"Jika makanan dengan komposisi gizi seimbang disiapkan tanpa memperhatikan aspek keamanan pangan, maka makanan tersebut tetap tidak aman untuk dikonsumsi," tegasnya.
Ia menjelaskan, keamanan pangan mencakup seluruh tahapan mulai dari pemilihan bahan baku, penyimpanan, pengolahan, hingga penyajian makanan. Setiap tahapan memiliki potensi risiko kontaminasi apabila tidak dilakukan sesuai standar kebersihan.
Misalnya, bahan makanan yang tidak disimpan pada suhu ideal dapat menjadi tempat berkembang biaknya bakteri, sementara proses pemasakan yang tidak matang sempurna berisiko menimbulkan keracunan.
"Keamanan pangan ini penting diterapkan di tingkat rumah tangga dan sekolah,” tambah Okky.
Dengan kata lain, upaya mewujudkan pola makan sehat harus diiringi kesadaran akan pentingnya kebersihan dan keamanan dalam setiap langkah pengolahan makanan baik di rumah, di lingkungan sekolah, maupun di masyarakat luas. Hanya dengan cara itulah makanan yang bergizi seimbang benar-benar dapat memberikan manfaat bagi kesehatan tubuh.