c

Selamat

Sabtu, 15 November 2025

KULTURA

14 Oktober 2025

20:58 WIB

Angan Menyantap Kuliner Jalanan Tanpa Risiko Diare

Kuliner jalanan atau aneka jajanan tradisional yang dijajakan di pinggir jalan sulit dipastikan higienitasnya, kecuali dengan pengawasan dan kampanye keamanan pangan secara konsisten dari pemerintah.

Penulis: Gemma Fitri Purbaya, Annisa Nur Jannah

Editor: Andesta Herli Wijaya

<p>Angan Menyantap Kuliner Jalanan Tanpa Risiko Diare</p>
<p>Angan Menyantap Kuliner Jalanan Tanpa Risiko Diare</p>

Seorang pembeli tengah memilih sejumlah gorengan di sebuah tempat makan di Blok M, Jakarta. Validnews/Hasta Adhistra.

JAKARTA - Jajan sepulang kerja mungkin menjadi rutinitas sehari-hari Dini (33 tahun), karyawan swasta yang bekerja di bilangan Kuningan, Jakarta Selatan. Jelang malam hari, biasanya pedagang jajanan tumpah ruah di jalanan dekat kantornya. 

Di tempat itu, pilihan menunya beragam. Mulai dari mie ayam, ayam geprek, ketoprak, gado-gado, seblak, cilok, cilor, hingga moci kekinian, selalu tersedia.

Hampir semua jajanan pernah Dini coba. Rasanya pun tidak ada yang gagal. Semuanya enak di lidah wanita yang tinggal di Tambun Selatan itu. Menurut Dini, dari segi rasa, jajanan pinggir jalan tak kalah dengan yang ada di supermarket, dan harganya pun murah-meriah.

"Keuntungannya ya lebih murah ya jajanan-jajanan di pinggir jalan ketimbang yang ada di minimarket atau supermarket gitu. Rasanya juga lebih enak dan otentik sih, makanya suka," kata Dini pada Validnews.id, Rabu (8/10).

Meski begitu, Dini sepenuhnya sadar kalau yang enak belum tentu baik buat tubuhnya, dan mungkin juga tidak sehat buat percenaannya. Ketika ditanya mengenai higienitas dari jajanan pinggir jalan, dia tak menampik bahwa memang salah satu kekurangan jajan di kaki lima memang terkait higienitas.

Pilihannya kembali ke diri masing-masing pembeli. Dini sendiri berupaya lebih selektif dalam memilih jajanan alias tidak sembarangan. Sampai saat ini, Dini pun mengaku belum pernah mengalami masalah kesehatan atau apapun dari kebiasaan jajannya ini.

"Nggak pernah sih kenapa-kenapa, soalnya pilih-pilih juga sebelum jajan. Misal, gerobaknya bersih atau nggak, penjualnya jualan menggunakan sarung tangan atau enggak, gitu, jadi nggak sembarangan juga," lanjut Dini.

Tapi itu cerita Dini. Dian (30 tahun), warga lainnya punya cerita lain. Dia , yang bercerita kepada Validnews soal pengalamannya mengonsumsi makanan kaki lima. Pengalaman itu tak selalu mulus. 

Pernah suatu kali, kecintaannya pada jajanan pinggir jalan membuat Dian harus rawat inap di rumah sakit selama beberapa hari. Dian mengungkapkan, kesukaannya pada camilan yang terbuat dari aci, seperti cilok, cimol, cireng, cilor, dan lainnya.

"Iya waktu itu penjual langganan kebetulan lagi tutup, jadi coba cilok dari penjual lain. Saat sampai rumah, eh perut terasa sakit dan ingin buang air besar. Ending-nya buang air besar jadi nggak berhenti-henti," cerita Dian.

Diare yang dialami Dian sudah tergolong berat karena membuat dirinya lemas dan nyaris dehidrasi. Akhirnya, dia pun dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan medis.

Menariknya, meskipun kondisi tersebut nyaris membahayakan kesehatannya, Dian mengaku tidak kapok. Sakit adalah bagian dari dinamika tubuh, pikirnya, dan jajanan pinggir jalan tak pernah gagal memuaskan hasrat di lidah.

Dia masih tetap suka cilok ataupun camilan yang terbuat dari aci lainnya karena rasanya yang enak. Namun Dian menyadari, seperti Dini, dirinya harus lebih selektif dalam memilih penjual.

"Nggak kapok sih, tetapi emang harus pilih-pilih penjual kalau membeli, apalagi kalau belinya di pinggir jalan," ucap Dian.

Paparan Polusi
Jajanan tradisional di Indonesia memang sangat beragam. Mulai dari kue bugis, onde-onde, getuk, dodol, putu mayang hingga nagasari. Yang lebih kekinian, kontemporer, ada cimol, cilok, cilor, cilung hingga seblak yang kian digemari sejak beberapa tahun. Aneka jajanan ringan tersebut biasanya dapat dengan mudah ditemukan di pinggir jalan di kota-kota.

Jajanan tradisional yang lazim dijajakan di pinggiran jalan memang menawarkan cita rasa yang kaya. Tapi orang-orang sering lupa memerhatikan aspek higienitas dari jajanan tersebut.

Spesialis gizi dr. Laurencia Okky Wijayanti mengatakan bahwa makanan apapun, terutama yang dijual di pinggir jalan jelas jauh dari kata higienis. Salah satu faktor utamanya adalah polusi udara.

Apalagi kualitas udara di kota seperti Jakarta yang sering dicap sebagai salah satu kota dengan kondisi udara terburuk di dunia. 

Belum lama ini, pada Minggu (5/10) lalu, situs pemantau kualitas udara IQAir mencatat Indeks Kualitas Udara (AQI) di Jakarta berada di angka 134 atau masuk dalam kategori tidak sehat saat pagi. Udara dipenuhi polusi partikel PM2.5 yang berbahaya bagi kesehatan, dengan nilai konsentrasi 49 mikrogram per meter kubik.

Catatan hari itu menyatakan kalau Jakarta kota dengan kondisi udara terburuk di dunia setelah Lahore (Pakistan) Delhi (India), Bishkek (Kirgistan) dan Hanoi (Vietnam).

"Polusi udara dapat mengontaminasi makanan yang dijual di pinggir jalan, terlebih dari sarana cuci tangan atau tempat mencuci alat masak tidak bisa dipastikan kebersihannya. Oleh karena itu, tetap direkomendasikan membuat sendiri camilan atau snack di rumah atau memilah penjual atau tempat jajanan yang bersih," kata dr. Okky, Senin (13/10).

Konsumsi makanan tidak higienis sendiri dapat menimbulkan diare, infeksi saluran cerna, sampai keracunan makanan.

Dokter Okky menekankan bahwa aspek keamanan pangan tidak kalah penting karena banyak kasus keracunan makanan timbul karena makanan terkontaminasi oleh bakteri. Dia menjelaskan, faktor bahaya pada makanan bisa muncul dari berbagai hal. Misalnya, karena suhu penyimpanan bahan baku yang tidak sesuai standar, cara penyimpanan makanan yang salah, hingga proses persiapan makanan yang tidak memerhatikan risiko kontaminasi silang. 

Tidak adanya proses sterilisasi hingga suhu pemasakan tidak standar juga aspek yang perlu menjadi perhatian. Kemudian suhu dan waktu holding time makanan selama proses distribusi yang tidak sesuai standar, itu pun dapat memicu keracunan.

"Makanan dengan komposisi gizi seimbang disiapkan pun jika disiapkan dan disajikan dengan tidak memerhatikan aspek keamanan pangan, maka makanan tersebut tetap tidak aman atau tidak layak untuk dikonsumsi. Maka itu, aspek keamanan pangan sangat penting," lanjut dr. Okky.

Itu baru soal higienitas. Jika bicara komposisi zat gizinya sendiri, faktanya lebih memprihatinkan lagi. Menurut dr. Okky, hampir 90% camilan yang mudah ditemui di jalanan didominasi karbohidrat dan minyak atau lemak. Dalam jumlah banyak, konsumsi camilan-camilan tersebut jadi tidak direkomendasikan karena dapat meningkatkan kadar trigliserida, peningkatan berat badan, dan lainnya. Dari sana, risiko terkena penyakit kardiovaskular pun menjadi naik.

Abai Kemananan Pangan
Pengamat kuliner Santhi Serad mengatakan higienitas memang masih menjadi permasalahan pada jajanan lokal di pinggir jalan. Itu terkait tak hanya dengan aspek kebersihan pedagangnya, tapi juga kesadaran publik secara luas. Suka tidak suka, masih banyak kalangan abai soal keamanan pangan.

"Menurut saya sangat kurang di Indonesia memperhatikan soal keamanan pangan. Misalnya, penjual gorengan di pinggir jalan, tetapi gerobaknya terbuka. Itu kan sebenarnya sudah tidak memenuhi standar keamanan pangan. Atau makanan jualannya diwadahi atau ditataki menggunakan koran, itu kan tidak boleh juga," ucap Santhi via telepon, Minggu (12/10).

Santhi tidak menepis harga murah memang menjadi alasan paling besar masyarakat Indonesia jajan di pinggir jalan, sekalipun harus mengorbankan higienitas. Ditambah, kondisi ekonomi yang agak sulit belakangan ini juga mendorong masyarakat lebih banyak berhemat atau memilih bersantap camilan dengan harga yang lebih bersahabat.

Masalahnya, bukan hanya konsumen saja yang harus berhemat biaya, penjual pun berlaku demikian. Untuk mengedepankan higienitas, idealnya mereka harus mengenakan sarung tangan, memakai masker, dan sebagainya. Untuk hal-hal tersebut pedagang mengeluarkan kocek lagi. Sementara kebanyakan penjual di pinggir jalan adalah pedagang mikro. Alih-alih untung, bisa jadi mereka malah menjadi buntung.

Kendati demikian, bukan berarti jajanan lokal pinggir jalan tidak bisa higienis. Menurut Santhi, para penjual dapat memulai gerakan-gerakan kecil untuk meningkatkan higienitas atau keamanan pangan. Semisal, dengan memiliki fasilitas sanitasi yang baik, atau setidaknya tahu standar kebersihan dalam berjualan makanan.

Dengan begitu, risiko kesehatan yang timbul akibat makanan kurang higienis pun bisa berkurang.

"Namanya usaha ini kan usaha mikro ya, yang paling mudah dilakukan ya itu karena modal tidak terlalu besar. Namun balik lagi ke edukasi, kalau ingin berjualan harus dikasih bekal cara masak yang higienis itu bagaimana, standar kebersihan pangan gimana, gitu," lanjut Santhi.

Maka dari itu, penjual juga harus memiliki rasa tanggung jawab bahwa makanan yang dijual tidak membahayakan orang lain. Semisal, tidak menggunakan zat-zat berbahaya seperti boraks dan formalin, tidak menggunakan zat pewarna tambahan yang berbahaya, sampai memperhatikan higienitas.

Sentralisasi Bisa Jadi Solusi
Masalah higienitas jajanan tradisional Indonesia sejatinya cukup kompleks karena di samping kesadaran akan keamanan pangan masih minim, pengawasan pun belum berjalan optimal. Masalahnya, setiap pedagang punya racikan dan cara sendiri-sendiri dalam membuat makanan. Di samping itu mereka berjualan di sepanjang jalan, membangun jaringan pelanggannya di penjuru kota.

Santhi mengusulkan sentralisasi sebagai salah satu solusi untuk memaksimalkan pengawasan kuliner jalanan itu. Sentralisasi, dalam hal ini menuntut peran aktif pemerintah, bisa mempermudah pengawasan. Bahkan pemerintah bisa membina dan mendampingi para pedagang agar bisa meningkatkan standar higienitas dan keamanan makanan yang mereka jual.

Upaya sentralisasi pedagang jajanan tradisional sebenarnya sudah cukup banyak yang berjalan. Pemerintah di berbagai daerah mencoba mengerek standar kualitas jajanan tradisional dengan menempatkan para penjual di satu area yang sama agar lebih mudah diatur dan diawasi.

Di Jakarta, salah satu contohnya yaitu para penjual yang ada di dekat stasiun Gondangdia. Dari semula tersebar di pinggiran jalan, kini mereka memiliki lapak sendiri untuk mereka berjualan sehingga yang tidak berada langsung di bibir jalan, tapi di area khusus dekat pintu masuk stasiun.

"Mungkin yang termudah ya itu, membuat sentralisasi tempat makan di beberapa titik, tetapi lebih dirapihin lagi gitu sebenarnya," kata Santhi.

Meskipun itu adalah hal yang baik, tetapi dalam praktiknya masih ada kekurangan, menurut Santhi. Pasalnya, sanitasi dan kebersihan tidak dimungkiri masih jadi sesuatu yang terlupakan baik karena terbatasnya fasilitas, atau karena kebiasaan masyarakat memang abai terkait itu. Kembali lagi, higienitas jajanan tradisional sulit ditingkatkan.

"(Di sentra tertentu-red.) kayak nggak ada untuk air mengalirnya, untuk tempat mencucinya, untuk mengeringkannya gimana, air bersihnya gimana, terus buang sampahnya di mana, itu kan harus dipikirkan, dan itu satu kesatuan gitu sebenarnya," lanjut Santhi.

Untuk itu, apabila pemerintah daerah membuat sentralisasi tempat makanan, area itu paling tidak harus didukung fasilitas untuk mencuci dengan air bersih mengalir yang bisa dimanfaatkan untuk mencuci tangan, makanan, dan lainnya. Pendeknya, tekan pemerintah perlu bekerja lebih jauh dari sekadar merelokasi pedagang.

Selain itu, pemerintah juga harus mengedukasi para penjual bagaimana menjaga kebersihan dan sanitasi baik sehingga produk makanan yang dibuat tidak membahayakan konsumen. Pasalnya, edukasi di kalangan penjual, khususnya mikro masih sangat minim terkait hal ini.

"Dengan begitu, jajanan lokal pinggir jalan dan higienitas seharusnya bisa berjalan beriringan tanpa mengorbankan kesehatan siapapun yang memakannya," pungkas Santhi.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar