12 April 2022
13:11 WIB
Penulis: Tristania Dyah Astuti
Editor: Satrio Wicaksono
JAKARTA – Kasus kekerasan seksual terhadap anak seperti pemerkosaan hingga menyebabkan kehamilan masih kerap terjadi. Sepanjang 2021 lalu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat ada sebanyak 859 kasus kekerasan seksual yang terjadi.
Diantara kasus-kasus tersebut, tidak sedikit yang menjalani aborsi ilegal akibat kehamilan yang tidak diinginkan karena pemerkosaan. Tidak sedikit pula yang mengalami masalah kesehatan akibat mengakses aborsi ilegal.
Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO baru-baru ini membuat pedoman atau rekomendasi agar semakin banyak negara-negara yang membuka akses aborsi sehat.
Tujuannya agar kasus aborsi yang menyebabkan masalah kesehatan hingga kematian dapat ditekan.
Menanggapi hal tersebut, Kepala Divisi Pengawasan Monitoring dan Evaluasi KPAI, Jasra Putra mengatakan, korban pemerkosaan yang melakukan aborsi ilegal lebih banyak dipengaruhi oleh rasa malu akan stigma dan label yang diberikan kepada dirinya.
"Hal ini (aborsi ilegal) diakibatkan seperti ketakutan akan stigma masyarakat, stigma perilaku. Ini saya kira yang sangat dikhawatirkan WHO, karena (aborsi ilegal) berujung kematian anak-anak dan perempuan," ujar Jasra dihubungi Validnews, Selasa (12/4).
Baca juga: WHO Rilis Panduan Aborsi Aman Lindungi Perempuan
Stigma negatif dari masyarakat bahkan keluarga menjadi salah satu pemicu utama. Belum lagi tekanan psikologis karena tidak menginginkan bayi, hingga trauma akibat pemaksaan berhubungan seksual yang bisa memicu depresi dan bunuh diri.
Karena itu, menurut Jasra, masyarakat perlu mengubah pola pikir untuk tidak menghakimi korban bahkan termasuk anak-anak yang hamil di luar pernikahan. Sebab, stigma lingkungan semakin memperburuk dan membuat korban cenderung mengakses aborsi ilegal yang cepat.
"Janganlah sampai orang tua atau masyarakat memberikan stigma buruk kehamilan (tidak diinginkan), karena inilah banyak kematian anak atau perempuan yang mencari praktik gelap illegal aborsi. Untuk itu stigma dan tekanan di luar kehamilannya itu harus dihapuskan,” tegasnya.
Padahal, di Indonesia anak dan perempuan korban pemerkosaan dapat mengakses aborsi legal yang aman dan dilakukan di rumah sakit atau klinik yang diakui pemerintah.
Hal itu telah tertuang dalam Undang-Undang Kesehatan Nomor 39 Tahun 2009, pasal 75 ayat 1 dan 2. Di mana secara jelas dan rinci diterangkan bahwa tindakan aborsi dilarang, namun bisa dilakukan pada kondisi dan kasus tertentu salah satunya kehamilan akibat perkosaan yang dapat juga menyebabkan trauma psikologis bagi korban perkosaan tersebut.