16 Maret 2022
18:02 WIB
Penulis: Tristania Dyah Astuti
Editor: Rendi Widodo
JAKARTA - Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO secara resmi merilis panduan terbaru terkait isu aborsi. Aturan ini dibuat dalam upaya melindungi perempuan dan anak perempuan dari risiko aborsi ilegal dan tidak aman yang masih terjadi di banyak negara.
Pasalnya, sebanyak 25 juta kasus aborsi ilegal dilaporkan setiap tahunnya, termasuk di dalamnya kasus perempuan yang meninggal akibat aborsi dan yang mengalami komplikasi akibat pendarahan atau pun infeksi.
Melihat fakta tersebut, WHO kemudian memberikan rekomendasi agar lebih banyak negara yang melegalkan aborsi. Tujuannya, agar perempuan dapat mengakses layanan kesehatan untuk aborsi yang aman dan terjamin.
Direktur Kesehatan dan Penelitian Seksual dan Reproduksi di WHO, Craig Lissner menjelaskan aturan baru ini semata-mata untuk menekan angka kematian akibat aborsi ilegal.
“Hampir setiap kematian dan cedera akibat aborsi sebenarnya bisa dicegah,” kata Craig seperti dikutip dalam situs WHO.int, Rabu (16/3).
“Karena itu kami (WHO) merekomendasikan perempuan dan anak perempuan dapat mengakses layanan aborsi ketika mereka membutuhkannya,” sambungnya.
Pedoman WHO ini berisi rekomendasi untuk praktik klinis atau pemberi layanan kesehatan di mana aborsi harus dilakukan oleh petugas kesehatan dengan keterampilan, sumber daya, dan informasi yang tepat.
Selain itu aborsi harus dilakukan dengan aman, tepat waktu, dan petugas kesehatan harus menghormati kebutuhan dan hak perempuan dan anak perempuan.
WHO juga turut merekomendasikan aturan terkait intervensi hukum dan kebijakan untuk mendukung perawatan aborsi secara legal dan aman.
Menurut WHO, banyak kebijakan hukum dan persyaratan yang ditetapkan negara-negara untuk mengizinkan perempuan melakukan aborsi yang justru menjadi penyebab tingginya risiko aborsi.
Salah satunya persyaratan aborsi untuk korban pemerkosaan, untuk bisa mendapatkan persetujuan aborsi harus menunggu keputusan hukum yang memakan waktu cukup lama. Padahal, semakin cepat aborsi dilakukan atau di awal kehamilan akan menekan risiko aborsi seperti komplikasi.
WHO juga menyoroti kebijakan negara-negara yang mengatur dan memberikan hukuman bagi orang yang melakukan atau membantu prosedur aborsi.
Dari data WHO, pelarangan atau membatasi akses perempuan dan anak perempuan mendapatkan layanan aborsi tidak serta merta mengurangi jumlah aborsi yang terjadi. Justru, pelarangan akhirnya mengarahkan perempuan dan anak perempuan ke prosedur aborsi ilegal yang tidak aman.
“Buktinya jelas jika negara ingin mencegah kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang tidak aman, negara perlu memberi perempuan dan anak perempuan paket pendidikan seksual yang komprehensif, informasi dan layanan keluarga berencana yang akurat, dan akses ke perawatan aborsi yang berkualitas,” kata Kepala Devisi Pencegahan Aborsi Tidak Aman WHO, dr. Bela Ganatra.
Dalam pedoman terkait aborsi ini, WHO banyak memberikan masukan agar negara-negara yang mengharamkan aborsi dapat mengkaji lebih holistik tentang dampak buruk dari kebijakan mereka.
WHO menyakini, ketika aborsi dilakukan dengan menggunakan metode yang direkomendasikan oleh mereka, sesuai dengan durasi kehamilan yang ditetapkan dan dibantu oleh tenaga medis yang kompeten dibidangnya, aborsi menjadi prosedur tindakan medis yang sangat aman.