11 Januari 2024
10:30 WIB
Penulis: Khairul Kahfi
Editor: Fin Harini
WASHINGTON - Bank Dunia menyampaikan, perekonomian global akan mengalami rekor buruk pada akhir tahun 2024, ketika dunia mendekati titik tengah transformatif pembangunan sedekade. Dunia tengah menghadapi pertumbuhan PDB dalam setengah dekade paling lambat dalam 30 tahun terakhir.
Di satu sisi, perekonomian global berada dalam kondisi yang lebih baik dibandingkan tahun lalu. Ditandai dengan risiko resesi global yang telah berkurang, terutama karena kuatnya perekonomian AS.
“Namun, meningkatnya ketegangan geopolitik dapat menciptakan bahaya baru dalam jangka pendek bagi perekonomian dunia,” sebut laporan Prospek Ekonomi Global yang diterima, Jakarta, Rabu (10/1).
Sementara itu, prospek jangka menengah bagi banyak negara berkembang semakin suram. Di tengah melambatnya pertumbuhan di sebagian besar negara besar, lesunya perdagangan global, dan kondisi keuangan yang paling ketat dalam beberapa dekade.
Pertumbuhan perdagangan global pada 2024 juga diperkirakan hanya setengah dari rata-rata pertumbuhan perdagangan global pada dekade sebelum pandemi.
Adapun, biaya pinjaman di negara-negara berkembang, terutama negara-negara dengan peringkat kredit yang buruk, kemungkinan besar akan tetap tinggi. Karena suku bunga global berada pada level tertinggi dalam empat dekade jika disesuaikan dengan inflasi.
Baca Juga: Bank Dunia: Pertumbuhan Asia Timur-Pasifik 2023 Sentuh 5,1%
Pertumbuhan global diperkirakan akan melambat selama tiga tahun berturut-turut, dari 2,6% di tahun lalu menjadi 2,4% pada 2024. Capaian ini hampir tiga perempat poin persen di bawah rata-rata tahun 2010-an.
Negara-negara berkembang diperkirakan hanya akan tumbuh sebesar 3,9%, atau lebih dari satu poin persen di bawah rata-rata pertumbuhan di dekade sebelumnya. Setelah kinerja yang mengecewakan tahun lalu, negara-negara berpendapatan rendah diperkirakan tumbuh 5,5%, lebih lemah dari perkiraan sebelumnya.
Pada akhir 2024, masyarakat di sekitar satu dari setiap empat negara berkembang dan sekitar 40% negara berpendapatan rendah, masih akan berada dalam kondisi lebih miskin dibandingkan saat sebelum pandemi covid-19 terjadi pada 2019.
“Sementara itu, di negara-negara maju, pertumbuhannya akan melambat menjadi 1,2% tahun ini, dari 1,5% pada tahun 2023,” jabarnya.
Kepala Ekonom dan Wakil Presiden Senior Grup Bank Dunia Indermit Gill berkomentar keras. Dia menegaskan, tanpa koreksi besar-besaran, tahun 2020-an akan jadi dekade dengan peluang yang terbuang sia-sia.
Gill menambahkan, pertumbuhan jangka pendek akan tetap lemah, sehingga banyak negara berkembang, terutama negara-negara termiskin, terjebak dalam perangkap. Yakni, tingkat utang yang sangat besar dan lemahnya akses terhadap pangan bagi hampir satu dari setiap tiga orang.
“Hal ini akan menghambat kemajuan dalam banyak prioritas global,” tegas Gill.
Kendati, masih ada peluang untuk membalikkan keadaan suram ini ke depan, ia menilai, pemerintah mesti melakukan transformasi yang dibutuhkan dengan bertindak responsif saat ini. “Untuk mempercepat investasi dan memperkuat kerangka kebijakan fiskal,” sebutnya.
Investasi Sokong Capaian Krusial 2030
Laporan sama juga menekankan, negara-negara berkembang perlu meningkatkan investasi secara besar-besaran, sekitar US$2,4 triliun/tahun. Angka ini diperlukan untuk mengatasi perubahan iklim dan mencapai tujuan pembangunan global utama lainnya di 2030.
Tanpa paket kebijakan komprehensif, prospek peningkatan tersebut tidaklah cerah. Laporan memperkirakan, pertumbuhan investasi per kapita di negara-negara berkembang antara 2023 dan 2024 hanya rata-rata sebesar 3,7%.
“(Capaian pertumbuhan investasi itu), hanya setengah dari pertumbuhan dua dekade sebelumnya,” beber laporan.
Karena itu, laporan sama menggarisbawahi, negara-negara berkembang sering kali memperoleh keuntungan ekonomi ketika dapat mempercepat pertumbuhan investasi per kapitanya. Besarannya hingga setidaknya 4% dan mempertahankannya selama enam tahun atau lebih.
Hasilnya, laju konvergensi dengan tingkat pendapatan negara-negara maju semakin cepat, tingkat kemiskinan menurun lebih cepat, dan pertumbuhan produktivitas empat kali lipat.
Hitungan ini berkaca pada pengalaman 35 negara maju dan 69 negara berkembang selama 70 tahun terakhir, tentang apa yang diperlukan untuk menghasilkan ledakan investasi yang berkelanjutan.
Baca Juga: Bank Dunia Perkirakan Perang Timur Tengah Bisa Lambungkan Harga Minyak
“Manfaat lain juga dapat terwujud selama masa booming (investasi) ini, antara lain inflasi yang menurun, posisi fiskal dan eksternal membaik, serta akses masyarakat terhadap internet berkembang menjadi pesat,” ujar laporan.
Menanggapi ini, Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia dan Direktur Prospects Group Ayhan Kose menyampaikan, lonjakan investasi berpotensi mentransformasi negara-negara berkembang. Pasalnya, investasi dapat membantu mempercepat transisi energi dan mencapai beragam tujuan pembangunan.
Karenanya, negara-negara berkembang perlu menerapkan paket kebijakan yang komprehensif untuk memicu lonjakan tersebut.
“Lewat meningkatkan kerangka fiskal dan moneter, memperluas perdagangan lintas negara dan arus keuangan, memperbaiki iklim investasi, hingga memperkuat kualitas kelembagaan,” jabar Kose.
Dirinya mengakui bahwa ke semua itu membutuhkan upaya dan kerja ekstra keras. Namun, hal ini bukan mustahil dilakukan, karena banyak negara berkembang telah mampu melakukannya sebelumnya.
“Melakukan hal ini lagi, akan membantu (negara-negara berkembang) memitigasi proyeksi perlambatan potensi pertumbuhan di sisa dekade ini,” ungkapnya.