c

Selamat

Jumat, 7 November 2025

EKONOMI

31 Oktober 2023

13:48 WIB

Bank Dunia Perkirakan Perang Timur Tengah Bisa Lambungkan Harga Minyak

Laporan terkini Commodity Markets Outlook yang dikeluarkan Bank Dunia mencatat, harga minyak hanya naik 6% sejak perang Israel-Hamas dimulai

Bank Dunia Perkirakan Perang Timur Tengah Bisa Lambungkan Harga Minyak
Bank Dunia Perkirakan Perang Timur Tengah Bisa Lambungkan Harga Minyak
Ilustrasi. Pekerja melakukan pengecekan pompa angguk untuk memompa minyak bumi yang beroperasi di Lapangan Duri, di Blok Rokan, Riau, Jumat (19/8/2022). Antara Foto/Akbar Nugroho Gumay

WASHINGTON - Bank Dunia memperkirakan harga minyak global akan mencapai rata-rata US$90 per barel pada kuartal IV tahun ini. Kemudian, turun sampai di bawah rata-rata US$81 pada 2023 karena pertumbuhan ekonomi yang melambat telah mengurangi permintaan.
 
Namun, eskalasi konflik Timur Tengah bisa melonjakkan lagi harga minyak. Laporan terkini Commodity Markets Outlook yang dikeluarkan Bank Dunia mencatat, harga minyak hanya naik 6% sejak perang Israel-Hamas dimulai.  

Sementara harga komoditas pertanian yang sebagian besar logam dan komoditas-komoditas lainnya "hampir tak berubah".
 
Laporan Bank Dunia itu menguraikan tiga skenario risiko, berdasarkan episode-episode sejarah yang terdiri dari konflik-konflik regional sejak 1970-an, dengan tingkat keparahan dan konsekuensi yang kian besar.
 
Menurut Bank Dunia, skenario "gangguan kecil" yang setara dengan berkurangnya produksi minyak saat perang saudara Libya pada 2011 yang mencapai 500.000 hingga 2 juta barel per hari (bph) akan menaikkan harga minyak. Setidaknya dalam kisaran US$93 hingga US$102 per barel pada kuartal keempat tahun ini.

Untuk skenario "gangguan sedang", kira-kira setara dengan perang Irak 2003, yang akan memangkas pasokan minyak global sebesar 3 juta hingga 5 juta barel per hari, sehingga harga minyak naik antara US$109 dan US$121 per barel.
 
Pada skenario "gangguan besar" Bank Dunia memperkirakan setara dampak embargo minyak Arab pada 1973, yang memangkas pasokan minyak global sampai 6-8 juta barel per hari. 

Hal ini pada awalnya menaikkan harga menjadi US$140 hingga US$157 per barel, atau melonjak sampai 75%.
 
"Harga minyak yang lebih tinggi, jika bertahan, mengartikan harga pangan juga bakal naik. Jika terjadi guncangan harga minyak yang akut, maka hal ini akan meningkatkan inflasi harga pangan yang sudah naik di banyak negara berkembang,” kata Ayhan Kose, Wakil Kepala Ekonom Bank Dunia.

Sebelumnya, meskipun pusat konflik di Gaza sangat jauh, Jokowi pun mengingatkan agar Indonesia tetap harus berhati-hati. Ini karena pertempuran bisa meluas hingga melibatkan Lebanon, Suriah, atau Iran.
 
“Semua (negara) masuk ingin saling membantu, yang terjadi adalah kenaikan harga minyak. Ini yang mengakibatkan semua negara akan pusing,” kata dia ketika memberikan pengarahan kepada para penjabat kepala daerah se-Indonesia di Istana Negara, Jakarta, pada Senin.
 
“Alhamdullilah sampai saat ini kenaikan (harga minyak mentah) Brent tidak begitu tinggi karena memang eskalasi yang tidak meluas, (konfliknya) masih di Gaza,” ujar Jokowi, menambahkan.

Harga Mulai Bergejolak
Harga minyak naik pada akhir perdagangan Jumat 27/10 (Sabtu pagi WIB), didorong kekhawatiran meluasnya konflik Israel-Hamas yang dapat mengganggu pasokan minyak global.
 
Minyak mentah berjangka Brent naik US$2,55 atau 2,9% ke posisi US$90,48 per barel. Minyak mentah berjangka West Texas Intermediate (WTI) naik US$2,33 atau 2,8% menjadi US$85,54 per barel.
 
Harga minyak Brent dibandingkan WTI naik ke level tertinggi sejak Maret, menjadikannya lebih menarik bagi perusahaan-perusahaan energi untuk mengirim kapal ke AS, guna mengambil minyak mentah untuk diekspor. Untuk minggu kemarin, Brent turun sekitar 2% dan WTI turun sekitar 4%.
 
Perdagangan berombak. Pada awal sesi, harga minyak melonjak lebih dari US$2 per barel setelah militer AS menyerang sasaran Iran di Suriah. 

Kemudian harga sempat berubah menjadi negatif karena pasar mencerna berbagai laporan mengenai pembicaraan mediasi antara Hamas dan Israel yang dipimpin oleh Qatar yang berkoordinasi dengan AS.
 
"Kita bergantung pada berita utama berikutnya dan saya pikir itulah yang kita lihat hari ini dengan adanya perubahan harga," kata analis Price Futures Group Phil Flynn.
 
Menurut Flynn, investor harus lebih khawatir tentang apa yang akan terjadi di Timur Tengah. seperti diketahui, pasukan udara dan darat Israel meningkatkan operasi di Jalur Gaza di tengah laporan pemboman besar-besaran di wilayah kantong yang terkepung.
 
Sejumlah negara, termasuk banyak negara Arab, telah mendesak Israel untuk menunda rencana invasi darat yang akan menelan korban sipil lebih banyak dan mungkin memicu konflik yang lebih luas. 

Perkembangan di Timur Tengah sejauh ini tidak secara langsung mempengaruhi pasokan minyak, namun banyak yang khawatir akan terganggunya ekspor dari Iran, produsen minyak mentah utama yang merupakan pendukung Hamas, dan juga dari negara-negara lain.
 
“Ini masih sangat sulit bahkan bagi para pengamat regional yang paling berpengetahuan untuk membuat keputusan mengenai arah krisis saat ini, karena garis merah yang dapat membawa lebih banyak pemain ke medan perang sebagian besar masih tidak dapat dipahami,” kata analis RBC Capital Helima Croft.

Analis Goldman Sachs mempertahankan perkiraan harga minyak mentah Brent pada kuartal pertama 2024 sebesar US$95 per barel. 

Namun, dia menambahkan, ekspor Iran yang lebih rendah dapat menyebabkan harga dasar naik sebesar 5%.
 
Prospek permintaan minyak pun tidak menentu. Beberapa ekonom percaya bahwa The Fed menaikkan suku bunga untuk melawan inflasi, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan mengurangi permintaan minyak. Namun, para ekonom mengatakan, mereka memperkirakan inflasi yang tinggi akan terus membebani perekonomian dunia tahun depan.


KOMENTAR

Silahkan login untuk memberikan komentarLoginatauDaftar