12 September 2025
19:03 WIB
Wamen ESDM: Transisi Energi Jadi Biang Kerok Bisnis Kilang Minyak 'Rungkad'
Meski banyak kilang dunia tumbang di tengah transisi energi, RI bakal tetap mengoptimalkan kilang Pertamina karena tingginya konsumsi BBM dalam negeri.
Penulis: Yoseph Krishna
Editor: Fin Harini
Area Kilang Cilacap di Jawa Tengah. (ANTARA/HO-Kilang Cilacap)
JAKARTA - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengakui kampanye transisi energi global memberi pengaruh terhadap bisnis energi fosil, baik dari hulu, tengah, hingga ke hilir.
Agenda transisi energi pun disebutnya sebagai salah satu musabab tutupnya sejumlah kilang minyak dunia. Peralihan ke transportasi yang lebih ramah lingkungan, yakni kendaraan listrik, mengakibatkan produk bahan bakar minyak (BBM) olahan kilang perlahan-lahan kehilangan pasarnya.
Tak heran, banyak kilang di dunia yang tumbang satu per satu. Selain kilang minyak, SPBU juga turut menelan pil pahit atas agenda transisi energi.
"Jadi ini kita melihat karena ada perubahan penggunaan energi juga, mungkin itu dampaknya ada terhadap kilang-kilang secara global," imbuh Yuliot saat ditemui di kantornya, Jumat (12/9).
Baca Juga: Kilang Pertamina Internasional Akuisisi 14% Saham Patra SK
Tiongkok, sambung Yuliot, jadi contoh nyata pesatnya kampanye transisi energi. Populasi kendaraan listrik yang mengaspal di Negeri Bambu saat ini terus bertambah. Bahkan, sudah lebih dari 50% transportasi sudah menggunakan baterai, baik kendaraan pribadi, transportasi umum, maupun kendaraan alat berat.
"Kalau kita lihat dari SPBU yang ada di China, tutupnya sudah lebih dari 60% dari kondisi yang ada," kata dia.
Namun demikian, Yuliot tetap optimis kilang minyak di Indonesia masih punya secercah harapan. Pasalnya, konsumsi BBM Indonesia saat ini berada di kisaran 1,5 juta barel per hari.
Kebutuhan masyarakat akan BBM selama ini dipenuhi oleh produk kilang di dalam negeri maupun impor dari beberapa negara. Mengingat masih tingginya konsumsi BBM di Indonesia, pemerintah pun bakal tetap mengoptimalisasi kinerja kilang minyak di dalam negeri.
"Untuk kebutuhan BBM satu hari itu masih sekitar 1,5 juta barel, ini ada yang diolah di kilang dalam negeri, ada yang berasal dari impor. Jadi, ini kita lihat bagaimana optimalisasi kilang yang ada di dalam negeri," jabar Yuliot.
Sebelumnya, Wakil Direktur Utama PT Pertamina Oki Muraza menyebut pihaknya punya tantangan yang signifikan pada bisnis midstream. Perusahaan global pun disebut Oki punya tantangan serupa pada bisnis perkilangan.
Tantangan itu menjadi salah satu latar belakang menurunnya pendapatan PT Pertamina menjadi US$40,99 miliar pada Januari-Juli 2025 dari periode yang sama tahun sebelumnya di kisaran US$43,52 miliar.
"Beberapa perusahaan besar itu mengalami impairment dan kendala dalam mendapatkan profitability. Ini kita bisa lihat beberapa perusahaan, bp, TotalEnergies, dan seterusnya termasuk Chevron memang mendapat tantangan dari rendahnya harga minyak dan oversupply," jabar Oki dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR, Kamis (11/9).
Baca Juga: Bos Pertamina Bakal Gabungkan 3 Anak Usaha
Pasokan minyak olahan yang berlebih di kilang itu berakibat pada spread atau selisih harga masuk kilang dengan harga produk menjadi rendah dan menjadi tantangan tersendiri bagi PT Pertamina.
Kondisi serupa, sambung Oki, dirasakan oleh perusahaan energi lainnya, baik National Oil Company (NOC) maupun International Oil Company (IOC). Terbukti, ada banyak kilang di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia yang ditutup.
"Dan diperkirakan ada 17 kilang yang akan tutup menjelang tahun 2030. Ini tentu tantangan kita bersama dengan semangat untuk mengejar ketahanan energi, menciptakan lapangan pekerjaan, tentu kita semuanya akan merawat sebaik mungkin seluruh kilang yang kita miliki," pungkasnya.