08 Juli 2025
17:50 WIB
Wamen ESDM Soal Tarif Resiprokal: Kita Harus Cool
RI bakal tetap merayu AS untuk menurunkan tarif resiprokal dengan peningkatan porsi impor LPG dan minyak mentah.
Penulis: Yoseph Krishna
Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung. Antara Foto/Hafidz Mubarak A
JAKARTA - Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung mengatakan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia harus tetap tenang di tengah kebijakan Presiden AS Donald Trump yang enggan menurunkan tarif resiprokal sebesar 32% untuk produk asal Nusantara.
Indonesia dikabarkan telah melayangkan angka US$15 miliar untuk pembelian komoditas energi yang terdiri dari Liquified Petroleum Gas (LPG) dan minyak mentah dari Negeri Paman Sam sebagai upaya menegosiasikan tarif resiprokal.
"Untuk beberapa negara kan sudah ditetapkan, sudah disampaikan sama beliau (Trump) sendiri, termasuk Indonesia. Jadi ya kita juga ini relatif harus cool juga menanggapi kondisi seperti ini," ucap Yuliot kepada awak media di Jakarta, Selasa (8/7).
Baca Juga: Tarif Resiprokal 32% Tak Berubah, Wamendag Roro Buka Suara
Sebagai informasi, Presiden Amerika Serikat Donald Trump secara resmi mengumumkan besaran tarif resiprokal untuk Indonesia tetap sebesar 32%, yang akan berlaku per 1 Agustus mendatang.
"Presiden Trump juga mengirim surat tarif ke banyak negara untuk memberi tahu mereka tentang tarif timbal balik baru, yang akan berlaku pada 1 Agustus," tertulis dalam keterangan resmi Gedung Putih, dikutip di Jakarta, Senin (7/7) waktu setempat.
Dalam pernyataan yang sama, Gedung Putih menjelaskan Trump mengambil tindakan dan menerapkan tarif berdasarkan informasi dan rekomendasi dari pejabat senior, termasuk informasi tentang status negosiasi perdagangan.
Meski telah melakukan negosiasi, rupanya neraca perdagangan AS tetap mengalami defisit yang belum dapat diatasi.
"Meskipun ada kemajuan yang signifikan dan bersejarah ini, defisit perdagangan AS tetap parah," tulis keterangan resmi.
Yuliot lebih lanjut menjelaskan Indonesia telah memetakan sejumlah komoditas energi yang menjadi kebutuhan dalam negeri dan bisa dipenuhi oleh Amerika Serikat, utamanya ialah LPG dan minyak mentah.
Sementara untuk Liquified Natural Gas (LNG), Yuliot menampik ada rencana impor dari AS mengingat pasokan komoditas itu masih melimpah di dalam negeri.
"Yang kita butuhkan itu LPG, bukan LNG. Untuk LNG kita cukup, justru kita ekspor kan," imbuhnya.
Baca Juga: Nego Tarif Dagang 32% Dengan AS Dilanjut, Menperin: Bukan Saatnya Panik
Sementara untuk bahan bakar minyak (BBM), pemerintah masih mengevaluasi dan menghitung potensi peningkatan produksi dari kilang-kilang di dalam negeri. Sehingga, produk itu menurutnya belum terlalu mendesak untuk didatangkan dari AS.
"Kita juga melihat kondisi yang ada, untuk BBM itu ada peningkatan produksi dalam negeri berapa ini untuk produksi kilang di dalam negeri, kemudian berapa yang harus kita impor," jelas Yuliot.
Secara garis besar, Wamen Yuliot mengungkapkan pihaknya masih menunggu keputusan lanjutan dari Presiden AS Donald Trump, mengingat ada rencana Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto yang akan bertolak langsung ke Amerika Serikat guna membahas tarif resiprokal.
"(Keputusan impor) Jadi ya kita tunggu dulu Pak Airlangga," pungkasnya.