21 November 2023
20:25 WIB
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Fin Harini
JAKARTA - Awita (28) memiliki mimpi untuk punya rumah sebelum menginjak usia kepala tiga. Hal itu kemudian diwujudkannya dengan mengambil Kredit Perumahan Rakyat (KPR) salah satu rumah subsidi di Kabupaten Bogor.
Ibu dari anak satu ini mengaku mengambil KPR dengan bunga fix 10 tahun dan tenor 10 tahun. Adapun, saat ini dirinya telah memasuki tahun ketiga.
Artinya, masih tersisa tujuh tahun lagi untuk benar-benar terlepas dari cicilan rutin per bulannya untuk rumah.
"Pengin punya rumah sendiri sebelum usia 30 tahun. Kalaupun nggak ditempatin ya buat aset aja atau warisan ke anak. Karena ambil KPR subsidi, cicilannya juga nggak begitu besar, jadi yakin buat ambil," kata Awita saat dihubungi Validnews, Selasa (21/11).
Selain itu, menurutnya, harga rumah dari tahun ke tahun makin melambung. Untuk itu, dia segera mengambil KPR sedini mungkin. "Biar nggak semakin mahal juga angsurannya," timpalnya.
Lain halnya dengan Feny (26) yang mengambil rumah subsidi di Kabupaten Bekasi. Kepada Validnews, Selasa (21/11), dia mengatakan telah mengambil KPR dengan bunga flat dan tenor 20 tahun.
Hingga saat ini, Feny telah melakukan cicilan selama dua tahun. Artinya, masih tersisa 18 tahun lagi untuk melunasi KPR.
Baca Juga: Ada KPR Sewa Tanah, Developer Diminta Lebih Terbuka
Di usianya nanti menginjak 44 tahun, Feny akan terlepas dari tanggungan mencicil rumah.
Feny menuturkan, ada beberapa alasan mengapa ia berani untuk mengambil KPR. Pertama, karena harga tanah makin tahun makin naik.
Kedua, lanjut dia, karena dia merasa perlu investasi. Sedangkan, investasi yang terbaik adalah emas dan properti.
"Untuk Gen Z kayak saya pasti kan maunya jajan terus, kalau kita nggak coba buat investasi nggak bakalan punya tabungan. Sedangkan investasi terbaik ada di emas dan properti karna tahun ke tahun harganya akan naik alias kalau pun turun nggak akan signifikan," jelas dia.
Alasan lainnya, dia mengaku, tidak memungkinkan untuk mengambil rumah secara cash atau tunai.
"Ya meskipun KPR itu persyaratannya ribet banget dan berbelit-belit. Tapi harga cicilan per bulannya murah jadi bisa nabung dari situ," imbuhnya.
Pertimbangan Memilih KPR
Awita dan Feny mengakui ada banyak persyaratan yang mesti dipenuhi untuk lolos mengambil rumah subsidi BTN. Beberapa dokumen yang diperlukan di antaranya fotocopy KTP suami/istri, fotocopy surat nikah, fotocopy Kartu Keluarga.
Kemudian, surat keterangan bekerja, slip gaji terbaru atau tiga bulan terakhir, rekening koran terbaru atau tiga bulan terakhir.
Lalu, fotocopy NPWP dan SPT PPh Pasal 21, pas photo warna terbaru pemohon dan suami/istri ukuran 3x4, surat keterangan suami/istri tidak bekerja dari kelurahan, serta materai Rp6.000 sebanyak kurang lebih 55 lembar.
Meski banyak persyaratan yang harus dipenuhi, keduanya menuturkan ada beberapa pertimbangan hingga akhirnya mantap memilih KPR di rumah subsidi sekarang.
Awita mengatakan, pertimbangan dia memilih KPR di rumah subsidi tersebut karena developer terpercaya. Ia juga melihat legalitas tanah. Jangan sampai tanahnya sengketa atau tidak jadi dibangun perumahannya.
"Waktu pas mau booking kavling, saya cari tahu dulu tuh developernya, PT-nya, terpercaya apa nggak. Semuanya benar-benar diperhatikan karena takutnya tanah sengketa atau pas sudah bayar nggak jadi dibangun tuh perumahan. Kan banyak yang kayak gitu," ujarnya.
Selain background developer yang terpercaya dan legalitas tanah yang meyakinkankan, Awita juga melihat jumlah rumah yang dibangun sudah banyak.
Dia memiliki prinsip agar jangan booking fee terlebih dahulu kalau belum ada rumah yang dibangun. Khawatirnya, perumahan tidak jadi dibangun karena satu dan lain hal, maka booking fee otomatis hangus.
Senada dengan Awita, Feny juga melakukan hal yang serupa. Dia mengambil rumah subsidi karena melihat sudah banyak yang menempati perumahan itu.
"Soalnya karena sudah banyak banget yang nempatin di perumahan itu. Dan itu perumahan yang bukan baru dibangun tapi sudah beberapa tahun gitu," ungkapnya.
Selain sudah banyak yang menempati, kata Feny, rumah subsidi yang diambilnya menawarkan cicilan yang murah dan dari segi bangunan juga sudah oke untuk rumah subsidi.
Baca Juga: KPR VS Sewa Rumah, Mana Lebih Baik?
Kasus KPR Sewa Tanah
Terkait kasus yang viral di media sosial mengenai konsumen KPR yang sudah mencicil puluhan tahun hingga lunas, tapi mereka masih harus membeli tanahnya karena developer masih menyewa tanah itu, Awita dan Feny mengaku tidak ambil pusing.
Karena keduanya mengaku telah memikirkan matang-matang sebelum melakukan KPR. Selain itu, keduanya juga mengaku telah riset dan melihat kontrak dengan teliti. Hasilnya, setelah lunas KPR akan mendapatkan SHM bukan hanya SHGB.
Pengamat Perbankan dan Praktisi Sistem Pembayaran Arianto Muditomo turut menyoroti kasus KPR pada bangunan di atas tanah sewa. Menurutnya, di Indonesia, dasar hukum bagi seorang pengembang atau developer untuk menjual bangunan yang dibangun di atas tanah sewa terletak pada perjanjian sewa antara pengembang dan pemilik tanah.
Hak developer untuk menjual bangunan yang dibangun di tanah sewa didasarkan pada persetujuan pemilik tanah sebagaimana diatur dalam perjanjian sewa antara pengembang dan pemilik tanah.
"Persetujuan ini harus mencakup klausa yang mengizinkan pengembang untuk menjual bangunan kepada pihak ketiga," terang lelaki yang akrab disapa Didiet kepada Validnews, Selasa (21/11).
Dia menjelaskan, pemilik tanah mungkin memerlukan persetujuan tertulis untuk penjualan. Dalam beberapa kasus, perjanjian tersebut mungkin mengatur hak pembelian pertama (Right of First Refusal - ROFR) untuk pemilik tanah.
Oleh karena itu, pemisahan kepemilikan tanah dan bangunan harus sesuai dengan peraturan hukum agraria dan perundang-undangan yang berlaku, dan ahli hukum properti direkomendasikan untuk memastikan kesesuaian dengan semua ketentuan hukum dan regulasi yang berlaku.
Sejalan dengan mitigasi dari sisi kepatuhan hukum tersebut, kata Didiet, bank sebagai penyedia fasilitas pembiayaan rumah dapat melindungi debiturnya dan memitigasi risiko kredit terkait developer yang menjual bangunan di atas tanah sewa dengan mengadopsi praktik-praktik risiko kredit yang bijaksana.
Hal ini termasuk analisis kredit yang teliti terhadap pengembang, pengecekan legalitas tanah dan perizinan, perjanjian konstruksi yang jelas, pembayaran bertahap berdasarkan progres proyek, pemantauan proyek secara rutin, meminta jaminan atau agunan, memastikan asuransi pembangunan, menyertakan ketentuan khusus dalam perjanjian pembiayaan, dan menetapkan ketentuan pembayaran kembali yang ketat.
"Langkah-langkah ini membantu bank meminimalkan risiko kredit dan menjaga keamanan pembiayaan, sekaligus melindungi kepentingan debiturnya dalam transaksi properti," tutur Didiet.