16 Juni 2025
18:20 WIB
Utang Luar Negeri Membengkak, Ekonom: Perlu Perhatian Khusus
Penulis: Fitriana Monica Sari
Editor: Khairul Kahfi
Ilustrasi - Tumpukan uang dolar AS berada di gerai penukaran mata uang asing di Jakarta. Antara Foto/Muhammad Adimaja/foc/pri.
JAKARTA - Chief Economist Permata Bank Josua Pardede menilai, capaian Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2025 dengan dengan pertumbuhan 8,2% (yoy) menjadi US$431,5 miliar masih berada dalam batas aman secara ekonomi.
Kendati demikian, dirinya mengingatkan bahwa utang luar negeri Indonesia yang makin bengkak tetap perlu perhatian khusus.
"Pertumbuhan ini (utang luar negeri) sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan bulan sebelumnya yang tercatat US$430,4 miliar," kata Josua kepada Validnews, Jakarta, Senin (16/6).
Seperti diketahui, Bank Indonesia (BI) melaporkan, posisi Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia pada April 2025 mencapai sebesar US$431,5 miliar. Begitu pula, dengan posisi ULN pemerintah pada April 2025 yang turut tumbuh sebesar 10,4% (yoy) menjadi US$208,8 miliar.
Baca Juga: Naik Lagi, Utang Luar Negeri RI Per April 2025 Tembus US$431,5 Miliar
Dari sisi rasio, Josua melanjutkan, ULN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang umum digunakan sebagai indikator keberlanjutan utang, masih relatif terkendali.
"Pertumbuhan utang terutama didorong oleh faktor pelemahan nilai tukar dolar AS terhadap mayoritas mata uang global, yang berarti bahwa sebagian dari peningkatan nominal utang tersebut bersifat valuasi kurs daripada peningkatan riil dalam beban utang," jelas dia.
Secara rinci, dia menuturkan, ULN pemerintah naik sebesar 10,4% menjadi US$208,8 miliar, sebagian besar masih dialokasikan ke sektor-sektor produktif, seperti jasa kesehatan, administrasi pemerintahan, serta jasa pendidikan. Hal ini diharapkan mampu memberikan efek pengganda positif bagi ekonomi domestik.
Kemudian, ULN swasta tumbuh relatif lebih lambat sebesar 6,0% menunjukkan bahwa pertumbuhan utang korporasi lebih terkontrol, khususnya di sektor jasa keuangan dan sektor riil seperti manufaktur dan pertambangan.
Dilihat dari sisi struktur, komposisi ULN jangka panjang masih mendominasi dengan porsi mencapai hampir 80%, menunjukkan risiko likuiditas yang relatif terkendali dalam jangka pendek.
Bank Indonesia juga mencatat rasio Debt Service Ratio (DSR) masih berada pada level yang aman, mengindikasikan kemampuan pembayaran utang masih terjaga.
Meski demikian, kata Josua, tetap ada beberapa aspek risiko yang harus diperhatikan pemerintah dan Bank Indonesia, khususnya dalam menghadapi potensi volatilitas kurs rupiah serta kemungkinan peningkatan suku bunga global, yang bisa memperbesar biaya pembayaran utang di masa depan.
Oleh karena itu, menurutnya, kebijakan prudent dalam pengelolaan utang, peningkatan efisiensi belanja pemerintah, serta dorongan terhadap aktivitas ekspor dan investasi langsung asing perlu terus diperkuat guna menjaga stabilitas ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.
Baca Juga: Laporan Celios: Sejak Prabowo Menjabat, Utang Indonesia Makin Banyak
Terpisah, Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan, kenaikan ULN ini berkaitan dengan pemerintah menerbitkan utang baru secara agresif untuk bayar utang jatuh tempo.
"Bulan Juni ada Rp178 triliun utang jatuh tempo pemerintah, jadi bulan April ada frontloading utang dan terus berlanjut," terang Bhima kepada Validnews, Senin (16/6).
Bhima menilai, situasi ini bakal memperparah likuiditas sektor swasta dan perbankan. Lantaran, berebut dana dengan pemerintah. Imbasnya, suku bunga akan susah turun.
"Akibatnya apa? suku bunga susah turun, kalau pun turun transmisi ke bunga kredit bakal lama," imbuhnya.