21 Januari 2025
19:40 WIB
Laporan Celios: Sejak Prabowo Menjabat, Utang Indonesia Makin Banyak
Sejak Prabowo Subianto menjabat Presiden Indonesia, terjadi kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah tenor 10 tahun. Semakin besar imbal hasil, semakin besar biaya yang perlu pemerintah keluarkan.
Penulis: Nuzulia Nur Rahma
Editor: Khairul Kahfi
Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira dalam Peluncuran Rapor 100 Hari Kinerja Kabinet Prabowo-Gibran, Jakarta, Selasa (21/1). Dok tangkapan layar
JAKARTA - Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengungkapkan, sejak Prabowo Subianto menjabat sebagai Presiden Indonesia, terjadi kenaikan imbal hasil dari surat utang pemerintah untuk tenor 10 tahun.
"Sejak Pak Prabowo menjabat itu terjadi kenaikan imbal hasil dari surat utang pemerintah untuk tenor 10 tahun," kata Bhima dalam konferensi pers Peluncuran Rapor 100 Hari Kinerja Kabinet Prabowo-Gibran, Selasa (21/1).
Sebagai informasi, dalam konteks surat utang pemerintah atau SBN, imbal hasil (yield) merupakan keuntungan yang harus dibayarkan oleh penerbit utang yakni pemerintah kepada investor secara berkala hingga jatuh tempo. Semakin besar imbal hasil, semakin besar pula biaya yang perlu dikeluarkan pemerintah.
Kemenkeu via laporan APBN mencatat, posisi utang pemerintah per November 2024 naik menjadi Rp8.680,13 triliun, dengan rasionya terhadap PDB sebesar 39,20%. Jumlah ini terpantau naik dibanding per akhir Oktober 2024 yang mencapai Rp8.560,36 triliun dengan rasionya terhadap PDB sebesar 38,66%
Buat pengingat, Prabowo-Gibran dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden pada 21 Oktober 2024. Bhima mengatakan, jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya yang ada di Asia, khususnya di ASEAN, imbal hasil utang Indonesia menjadi salah satu yang tertinggi.
Baca Juga: Ekonom: Pembayaran Utang SBN Tiap Tahun Era Prabowo-Gibran Rp600-700 T
Sehingga jika imbal hasil SBN mencapai lebih dari 7%, akan berkorelasi dengan bunga utang pemerintah yang akan semakin berat.
"Tahun 2025 Pak Prabowo harus menghadapi utang jatuh tempo bunga utang Rp550 triliun, artinya ada sekitar Rp1.380 triliun yang harus dicari cara untuk dibayar, entah menerbitkan utang baru, dari pajak atau langkah lainnya penghematan belanja misalnya," terang dia.
Pihaknya pun mengidentifikasi, Celios mensinyalir, kenaikan imbal hasil surat utang pemerintah ini terpicu dari ketidakpastian kebijakan sehingga memicu risiko bagi pemegangnya.
Dia mencontohkan, risiko tersebut bisa muncul dari pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dihadapkan pada kondisi fiskal Indonesia saat ini yang cukup ketat.
"Pertama, misalnya dari program Makan Bergizi Gratis yang sudah sebelumnya banyak diingatkan, tidak hanya oleh CELIOS, tapi tentu banyak akademisi dan lembaga penelitian lain, bahwa ini ada implikasi serius terhadap (pelebaran) defisit APBN," tekannya.
Baca Juga: BI: Tumbuh 5,4%, ULN RI Per November Naik Jadi Rp6.948,92 T
Contoh lain, ketidakpastian kebijakan juga membuat perusahaan sekelas Apple Inc tidak kunjung mendaratkan realisasi investasi ke tanah air. Padahal, pemerintah begitu menginginkan realisasi investasi ini karena dapat memberikan dukungan pada peningkatan tenaga kerja sampai kesejahteraan.
Di sisi lain, ketidakpastian kebijakan juga muncul dari maju mundurnya penerapan kebijakan PPN 12% pada tahun ini. Bhima menyampaikan, meski PPN 12% dibatalkan, harga-harga barang sepanjang Januari sebagian sudah keduluan 'mengadopsi' PPN 12% .
"Begitu ada kebijakan restitusi untuk kelebihan bayar PPN 12%, itu pun ternyata prosesnya sangat rumit. Ini akan tercermin dalam risiko dari imbal hasil surat utang yang akan ditawarkan kepada para kreditur atau investor di market ataupun pasar," ucapnya.